Bung Hatta
Penulis: Rinto NamangJakarta, 07 Maret 2016Margasiswa 1 Menteng-Jakarta PusatSetiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Kiranya ungkapan ini tidak berlebihan jika kita melihat banyak pemimpin besar dan berpengaruh yang lahir di zamannya sekaligus membentuk zamannya. Keduanya saling mempengaruhi dan membentuk pola pikir masing-masing. Ada Mahatma Gandhi di India yang hidup dalam zaman penjajahan, dipengaruhi oleh realitas keterjajahan, dan pada gilirannya berangkat dari keprihatinan itu memerdekakan India dari penjajahan.
Di Indonesia kita punya dwitunggal Soekarno-Hatta yang memproklamerkan Indonesia merdeka. Pemikiran-pemikiran mereka menjadi sesuatu yang ‘berdaya magis’ mempengaruhi dan mengubah mentalitas bangsa bahkan dunia.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba melihat secuil sisi kenegarawanan Bung Hatta di dalam sejarah pergulatannya sekaligus sebagai seorang cendikiawan ulung dan seorang negarawan. Bagaimana beliau memadupadankan segi intelektualnya sebagai seorang cendikiawan di dalam lingkaran kekuasaan. Apakah ia cenderung oportunis-pragmatis demi menjaga status quo sebagai penguasa ataukah ia adalah politisi yang sangat mengutamakan soal nilai?
*****
Drs. Mohammad Hatta adalah satu dari dwitunggal proklamator negara Republik Indonesia; satu dari sekian banyak tokoh intelektual yang terjun dalam dunia politik demi kepentingan yang lebih besar: INDONESIA MERDEKA! Sebagai cendikiawan Bung Hatta tentunya punya perspektif berbeda dalam melihat realitas masyarakatnya. Bung Hatta merasa berkepentingan untuk memikirkan secara rasional dan obyektif tentang masyarakat Indonesia, tentang kemanusiaan pada umumnya agar hidup lebih baik (Alfian: 1983, p.141). Dan, tidak jarang, hal itu menempatkan dia pada posisi yang berbeda dan bahkan mungkin berlawanan dengan kebijakan politik suatu rezim yang berkuasa.
Bung Hatta adalah salah satu dari segelintir orang itu. Sebagai cendikiawan, ia sekaligus berjarak dan tertarik kepada kekuasaan politik. Ia berjarak agar dengannya ia bisa secara kritis melihat dan mempertimbangkan setiap kebijakan yang diambil, apakah menguntungkan rakyat atau tidak sama sekali. Ia tertarik kepada kekuasaan politik karena dengannya ia bisa merealisasikan ide-ide besarnya tentang Indonesia merdeka dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.
Sebagai cendikiawan yang juga penguasa (wakil presiden) Bung Hatta mengalami dilemma moral. Di satu sisi, secara internal, ia berupaya menjinakkan kekuasaan agar dari padanya ia bisa merealisasikan gagasan-gagasan besarnya. Sayangnya ia gagal, ia berhadapan dan bahkan berbenturan dengan tembok karena pemegang tampuk kekuasaan bersifat ‘eksklusif’. Di sisi lain, sebagai bagian dari kekuasaan, secara eksternal, berhadapan dengan masyarakatnya, ia harus menyuarakan dan membenarkan kebijakan tersebut.
Jadi, apa yang diutarakan kepada masyarakatnya seringkali bertentangan dengan keyakinan intuitifnya tentang apa yang baik dan rasional bagi seluruh bangsa. Ini tentu bukan perkara gampangan, hal ini seringkali membawa Bung Hatta, dan juga para cendikiawan yang penguasa sezamannya, masuk ke dalam lingkaran frustasi hebat.
Bung Hatta bukanlah tipe cendikiawan-politisi yang cenderung permisif mengorbankan apa-apa yang dianggapnya benar demi kepentingan tetap berkuasa di dalam pemerintahan. Ia bukan tipe “asal bapak senang”. Sejarah mencatat bahwa dwitunggal proklamator Indonesia Soekarno-Hatta, memiliki banyak sekali perbedaan fundamental terkait kebijakan-kebijakan politik.
Jika yang pertama cenderung revolusioner dalam memperjuangkan Indonesia merdeka, kemerdekaan dipandang sebagai “jembatan emas” menuju kesejahteraan yang seadil-adilnya, sesejahtera-sejahteranya (Pidato Bung Karno 1 Juni 1945); maka yang kedua lebih kepada tokoh evolusioner yang memandang perkembangan masyarakat memerlukan perencanaan yang rasional dan oleh karena itu memilih jalan pertumbuhan yang tahap-bertahap tapi nyata (Alfian: 1983, p.144).
Herbert Feith di dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, membuat sebuah analisis tentang perbedaan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Jika yang pertama disebut sebagai seorang “pencipta solidaritas” (solidaritymaker), sebagai pembangkit semangar rakyat untuk bersama-sama menggapai cita-cita bangsa, maka Bung Hatta adalah seorang pemimpin bertipe “administrator” yang mementingkan cara rasional dalam membangun bangsa dan negara. Pembedaan ini tidak serta merta meninggikan yang satu dan merendahkan yang lain, melainkan mencoba menyatupadukan dua karakter berbeda dalam mencapai cita-cita Indonesia merdeka.
*****
Keresahan intelektual Bung Hatta terhadap kebijakan Bung Karno akhirnya memuncak dalam sebuah keputusan untuk keluar dari pemerintahan. Bung Hatta merasa tidak sanggup lagi menembus tembok eksklusivisme pemikiran Bung Karno yang menutup diri dari suara-suara di luar dirinya sekalipun benar adanya terutama tentang Demokrasi Terpimpin. Sejak mengundurkan diri dari lingkaran kekuasaan, Bung Hatta gencar mengkritik kebijakan Bung Karno yang menurutnya semakin jauh dari nilai-nilai demokratis.
Menurut Bung Hatta, sebagaimana ia tuliskan di dalam “Demokrasi Kita”, Demokrasi Terpimpin a laBung Karno, alih-alih membikin Indonesia menjadi negara demokratis justru tidak demokratis, diktaturial, dalam pelaksanaannya. “Demokrasi Terpimpin Soekarno menjadi suatu diktatur yang didukung oleh golongan-golongan tertentu”, tegasnya.
Ada hal yang menarik dari tindakan Bung Hatta. Pertama, ketidaksepahaman antara dirinya dengan orang nomor satu di republik ini, atas nama kebenaran, membuat dirinya mengundurkan diri dari kekuasaan. Tidak semua orang berani mengambil keputusan yang sulit tersebut. Dewasa ini para penguasa justru lebih bersifat oportunis, tahu bahwa ada yang salah tetapi memilih diam demi menjaga langgengnya jabatan. Ia adalah seorang demokrat sejati, hadir sebagai pemberi warna berbeda dalam cara pikirnya yang moderat. Kedua, keberanian untuk mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden semakin menegaskan bahwa ia adalah seorang cendikiawan tulen yang memegang prinsip-prinsip kebenaran secara teguh.
Bagi siapapun, keputusan untuk keluar dari lingkaran kekuasaan bukanlah sebuah keputusan yang mudah dan enak. Fikiran kritisnya sebagai seorang cendikiawanlah yang memaksa dirinya untuk keluar dari lingkaran kekuasaan. Ia merasa lebih terhormat sebagai warga negara biasa yang jujur, hidup sederhana tetapi bermartabat karena mempertahankan kebenaran.
Keluar dari lingkaran kekuasaan karena berbeda pendapat tidak lantas membuat ia mereaksi secara emosional. Ada orang yang karena alasan ketidasepahaman akhirnya keluar dan melakukan tindakan separatisme. Bung Hatta memilih keluar seraya terus menyampaikan gagasan-gagasannya tentang kebenaran, tentang demokrasi lewat tulisan, lewat kritik-kritiknya yang rasional dan obyektif.
Bung Hatta, dan semua rekan seperjuangannya, sadar bahwa menjadi pemimpin adalah sebuah panggilan jiwa. Menjadi pemimpin merupakan suatu panggilan suci yang datangnya dari keprihatinan akan situasi masyarakatnya. Ada sebuah “paksaan” yang membuat seseorang, mau tidak mau, harus menjadi pemimpin sebab jika tidak situasi akan semakin kacau balau karena aka nada orang jahat yang memimpin.
Red/Indopost
0 Reviews:
Post a Comment