Ilustrasi
Penulis: Rinto NamangJakarta, 07 Maret 2016
Margasiswa 1 Menteng-Jakarta Pusat
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh berita korupsi yang menimpa bupati Barru, Sulawesi Selatan, Andi Idris Syukur, yang belum sepekan dilantik menjadi bupati untuk periode kedua (Kompas, 23/02/2016). Syukur dijadikan tersangka atas dugaan korupsi gratifikasi proyek Pelabuhan Garongkong, Barru, ketika menjabat kepala daerah periode pertama.
Fenomena korupsi bukan barang baru di Indonesia. Mulai dari anggota dewan yang terhormat, pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah terjerat kasus korupsi. Korupsi telah ‘membudaya’ dan tiba gilirannya menjadi suatu kejahatan yang banal. Betapa tidak kejahatan itu dipraktekkan oleh mereka yang mengemban tanggung jawab publik demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Korupsi yang dilakukan oleh Andi Idris Syukur merupakan cerminan betapa ambruknya moralitas politisi kita dewasa ini. Para politisi korup menganggap bahwa menjadi politisi berarati bekerja untuk mengisi rekening pribadi sebanyak-banyaknya, setelah itu baru mengurusi kepentingan rakyat. Pandangan demikian justru menyebabkan jurang kemiskinan semakin menganga.
Politisi seharusnya menjadi contoh yang baik bagi warga negara lainnya dalam laku hidup sehari-hari karena mereka adalah orang-orang pilihan. Mereka (seharusnya) adalah orang-orang terbaik di antara masyarakatnya yang sadar dan prihatin akan kondisi masyarakatnya hari ini. Mereka adalah orang-orang yang melihat kemungkinan untuk membawa perubahan di tengah persoalan-persoalan kebangsaan yang terjadi belakangan ini.
Makna Politik
Politik bukan mutlak sebagai sesuatu yang kotor dan najis sebagaimana dipraktekkan oleh Andi Idris Syukur dan politisi-politisi korup lainnya, bukan pula sudah selalu pasti baik. Politik dapat membawa sebuah negara berkembang maju dalam pelbagai bidang di satu sisi, dan di sisi lain, tidak jarang terjadi, politik menyebabkan perang berkecamuk, kemiskinan merajalela, korupsi, dan pelbagai bentuk kesengsaraan.
Berkata Platon (427-347 SM), “Politics is the art of caring for souls, meaning that the duty of political rulers is to cultivate moral virtue or excellence in their citizens. Baginya politik adalah seni merawat jiwa. Pandangan ini lahir dari intuisi Platon yang meyakini bahwa individu yang baik turut membentuk suatu masyarakat atau negara yang baik pula. Sudah selalu ada hubungan resiprok antara individu dan masyarakat. Menurutnya, masyarakat (negara) adalah gambaran luas dari pada jiwa manusia.
Individu yang baik berarti individu yang memiliki keseimbangan di dalam jiwanya. Keseimbangan itu didasari pada kebajikan-kebajikan moral (arĂȘte), kebaikan. Dengan kata lain, individu yang baik adalah individu yang memiliki kebajikan-kebajikan di dalam dirinya. Dan, nilai-nilai kebajikan itu harus diejawantahkan di dalam kehidupan praktis, kehidupan berpolitik, agar menjadi inspirasi bagi masyarakat.
Intuisi Platon di atas relevan terutama dalam konteks Indonesia dewasa ini. Para politisi seharusnya memiliki fungsi mulia menanamkan nilai-nilai kebajikan ke dalam diri masyarakat melalui laku hidup dan kebijakannya, namun dalam kenyataannyahal itu tidak kita temukan. Kebaikan, kejujuran, keadilan, keugaharian, keberanian, dan sebagainya terasa jauh dan berat untuk digali sehingga yang terjadi adalah merajalelanya kejahatan.
Politisi Sebagai Pendidik Warga
Pelbagai bentuk kejahatan moral seperti korupsi merupakan indikasi dari absennya nilai-nilai politik yang sakral. Penelusuran akan absennya nilai-nilai itu dapat kita temukan di dalam diri politisi yang sibuk dengan pertarungan sempit kepentingan pribadi dan golongan. Keadilan sosial, sebagaimana merupakan cita-cita luhur berdirinya negara ini, terabaikan; syukur kalau masih sempat dipikirkan.
Tugas politisi pertama dan terutama adalah mendidik warga. Politisi adalah orang-orang pilihan di antara yang terbaik karena dianggap mampu menanamkan nilai-nilai kebajikan kepada segenap warga negara. Hal ini mengingat kesucian politik terletak pada nilai kebajikannya.
Esensi politik yang sedemikian mulia ini menuntut setiap politisi untuk sudah selalu membekali diri dengan kemampuan intelektual yang mumpuni. Kapasitas intelektual yang mumpuni dimaksudkan agar mereka mampu menerjemahkan setiap nilai kebajikan yang ada kepada masyarakat.
Kemampuan intelektual berguna agar mereka tidak terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan sempit pribadi dan golongan, melainkan mampu melihat setiap kemungkinan untuk memperjuangkan hak-hak warga negara. Memahami kenyataan hidup setiap warga negara sedemikian sehingga mampu menghadirkan keadilan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, keluhuran politik ini seakan hilang di tengah arus demokrasi dengan sistem multipartai. Banyak politisi gadungan lahir dari rahim partai—yang adalah salah satu pilar demokrasi—yang mana hanya mengedepankan soal popularitas dan mengabaikan soal nilai. Oleh karena itu, tidak jarang kita jumpai konflik antar elite politik yang pada gilirannya semakin menyengsarakan rakyat. Kemiskinan dan segala bentuk kemelaratan sosial merupakan akibat dari kebodohan dan kebiadaban para politisi yang lupa diri!
Di Indonesia misalnya, ada beberapa partai politik yang gemar mengusung kader-kadernya dari kalangan artis, yang notabene tidak memiliki basis pengetahuan yang memadai tentang politik, tentang masyarakat, tentang negara. Panggung politik tidak lain dari pada sekedar panggung pencitraan; rakyat disuguhkan hiburan dan bukan edukasi politik!
Bagaimana mengharapkan keberhasilan program ‘revolusi mental’ jika kalangan atas selalu menampilkan tontonan yang jahat dan tidak mendidik? Penulis yakin bahwa transformasi sosial hanya datang dari politisi (pemimpin) yang cakap dan bijaksana. Di luar itu kita hanya akan menghadapi banjir dan air bah.
Proses perubahan memang diharapkan datang dari kalangan elite politik. Namun, dalam kenyataannya, banyak politisi kita terjebak dalam pertarungan kepentingan sempit, saling menjatuhkan dalam persaingan penuh intrik, dan korupsi yang menyebabkan kemiskinan di mana-mana.
Oleh karena itu, sangat dinantikan tampilnya seorang pemimpin yang mampu melakukan perubahan sosial dengan visi ideal jauh ke depan. Pemimpin yang demikian tentu tidak bisa lahir dari kalangan elite politik yang telah terjebak di dalam relasi politik sempit penuh intrik.
Pemimpin yang demikian hanya bisa dilahirkan dari kedalaman dan keseriusan pendidikan; bagaimana kita membentuk jiwa calon pemimpin dan negarawan menjadi jiwa yang elok dan baik, sehingga tiba gilirannya mereka menjadi sosok pemimpin yang bijaksana. Sosok pemimpin yang bijaksana inilah yang diharapkan bisa mentransformasi masyarakat menjadi bangsa yang bijak, bangsa yang sungguh-sungguh adil dan makmur.
Red/Indopost

0 Reviews:
Post a Comment