Ilustrasi Perempuan Indonesia
Sejak ditemukan di Wuhan, Tiongkok, akhir Desember lalu, hingga Rabu (31/3/2020), virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab covid-19 kini menjangkiti 199 negara, dengan menginfeksi 810,127 orang dan membunuh 39.573 orang diantaranya.
Oleh: RINI MARDIKA, Sekretaris Jenderal Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
Di Indonesia, di hari yang sama, covid-19 sudah menjangkiti 1.528 orang dan membunuh 136 orang diantaranya. Virus yang sebelumnya hanya kita simak kengeriannya di negeri jauh, entah lewat layar kaca maupun media sosial, sekarang sudah ada di depan mata.
Daya sebar virus ini sangat cepat. Hampir menyerupai flu spanyol, yang menerjang dunia pada awal abad-20 dan menewaskan 50 juta umat manusia (termasuk 1,5 juta warga Hindia-Belanda).
Mengantisipasi itu, berbagai negara di dunia pun berjibaku dengan segala cara: mulai dari penjarakan sosial, penapisan, karantina, hingga lockdown. Tidak terkecuali dengan Indonesia, yang mengumumkan kasus pertama covid-19 pada tanggal 2 Maret lalu.
Di negara tercinta, pejabatnya sempat denial, bahkan menjadikan covid-19 sebagai bahan guyonan. Namun, setelah hari ke hari, satu demi satu orang terinfeksi, termasuk sejumlah pejabat, barulah negara ini kelabakan.
Pemerintah sendiri mengambil langkah penapisan dan pembatasan sosial. Presiden Joko Widodo pun sudah mengeluarkan imbauan: belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah.
Belakangan, pembatasan sosial ini ditingkatkan menjadi pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang esensinya pembatasan kegiatan: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Pada kenyataannya, pandemi ini tak hanya menyebabkan “darurat kesehatan”, tetapi juga “darurat sosial dan ekonomi”. Pembatasan sosial mengganggu rantai pasokan, dari produksi, distribusi, hingga penjualan.
Kebijakan pembatasan sosial juga membuat lesu aktivitas ekonomi dan perdagangan. Mereka yang menggantungkan penghasilannya pada interaksi dan keramaian, seperti pedagangan asongan, kaki lima, dan berdagang keliling, sangat terpukul.
Ditambah lagi, terganggungnya rantai pasokan dan efek panic buying di kalangan kelas menengah telah memicu kelangkaan dan kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama pangan dan obat-obatan.
Diperhadapkan pada dua situasi darurat itu, tidak semua orang punya kerentanan yang sama. Mereka yang berada di lapisan atas dan pekerja kantoran (upper dan middle class) bisa berdiam dan bekerja di rumah, dengan rekening yang lebih tebal dan gaji yang tetap terbayar.
Sementara lapisan bawah (aspiring middle class, vurnerable, dan poor), yang sebagian besar adalah pekerja pabrik dan pekerja informal, tetap harus bertarung dengan segala resiko di luar rumah. Berdiam di rumah berarti bersiap akan dampak darurat ekonomi: mati kelaparan.
Resiko Kesehatan
Pada aspek gender, kerentanan itu juga rupanya juga agak berbeda. Terdahap bahaya kesehatan oleh virus ini, baik laki-laki dan perempuan, sama-sama berpotensi terinfeksi.
Namun, data yang dikumpulkan oleh Global Health 50/50 di 25 negara menunjukkan, tingkat kematian akibat covid-19 lebih tinggi pada laki-laki ketimbang perempuan: Italia (71 persen), Tiongkok (64 persen), Belanda (66 persen), dan Spanyol (65 persen).
Menurut WHO, faktor gaya hidup, seperti merokok dan alkohol, berkontribusi pada kerentanan laki-laki mengalami kematian akibat covid-19. Di sisi lain, karena faktor hormon (ekstrogen) dan gen (kromoson X ganda), imunitas perempuan lebih kuat dibanding laki-laki.
Namun, bukan berarti perempuan tidak rentan. Ada kenyataan sosial yang membuat perempuan sangat rentan terinfeksi virus korona.
Pertama, mayoritas tenaga kesehatan di dunia ini, termasuk di Indonesia, adalah perempuan. Di dunia, berdasarkan data entitas PBB untuk kesetaraan gender, 67 persen tenaga kesehatan dunia adalah perempuan. Di Indonesia, angkanya tak jauh beda: 67,5 persen.
Dalam menghadapi pandemi, tenaga kesehatan merupakan pejuang di garis terdepan. Dan mayoritas mereka adalah perempuan. Itu pula yang menempatkan perempuan sangat rentan terinfeksi oleh covid-19.
Kedua, perempuan mendominasi pekerjaan pengasuhan dan perawatan, mulai dari mengasuh balita, merawat lansia, hingga merawat orang sakit.
Di negara kita, konstruksi sosial yang patriarkis menempatkan kerja pengasuhan anak, perawatan lansia, dan perawatan anggota keluarga yang sakit, di pundak perempuan sebagai bagian dari tugas domestik.
Perempuan yang melakukan kerja pengasuhan dan perawatan, baik karena kerja upahan maupun tugas domestik, sangat berpotensi terpapar virus. Apalagi, jika perempuan yang melakukan pekerjaan ini tidak dilengkapi alat pelindung diri (APD) dan perlindungan kesehatan yang memadai.
Di luar negeri, ada beberapa kasus buruh migran perempuan yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT) justru terpapar covid-19 dari majikannya yang baru saja melakukan kunjungan luar negeri. Sedihnya lagi, buruh migran ini tidak ter-cover oleh perlindungan sosial di tempat negaranya bekerja, seperti jaminan kesehatan dan tunjangan cuti sakit.
Dampak Sosial-Ekonomi
Kehidupan sosial dan ekonomi juga sangat terdampak oleh pandemi korona. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) sudah memberi peringatan bahwa dunia akan memasuki resesi ekonomi.
Tidak terkecuali Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan berat hati memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terjun bebas ke pertumbuhan negative: -0,4 persen.
Sekarang, kita sudah merasakannya, mulai dari lesunya ekonomi hingga kenaikan harga kebutuhan pokok. Banyak unit usaha yang gulung tikar.
Bersamaan dengan itu, karena konstruksi sosial yang masih patriarkis, perempuan sangat rentan mengalami pukulan paling berat.
Pertama, pandemi ini paling memukul para pelaku ekonomi informal. Di sisi lain, sebagian besar pelaku ekonomi informal adalah perempuan.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, sebanyak 70 persen dari tenaga kerja perempuan di Indonesia itu bekerja di sektor informal. Kemudian lagi, 60 persen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dijalankan oleh perempuan.
Kolapsnya ekonomi informal akibat pandemi akan sangat memukul perempuan, baik sebagai pekerja sektor informal maupun sebagai pelaku usaha UMKM.
Kedua, perempuan berpotensi mengalami beban berlipat-ganda akibat kebijakan bekerja di rumah dan belajar di rumah.
Ini disebabkan oleh masih kuatnya konstruksi sosial patriarkal, yang membebankan tugas mengurus rumah tangga (domestik) sebagai kewajiban pemerintah.
Karena konstruksi sosial itu, perempuan yang bekerja di rumah (work from home) bisa dibebani tugas berlipat: mengurus rumah tangga dan mengurus anak.
Pada ibu rumah tangga kelas atas dan menengah, beban itu mungkin tak berada di pundaknya, tetapi dilemparkan pada perempuan lain, yaitu asisten rumah tangganya.
Begitu juga ketika 300 juta pelajar di seluruh dunia terdampak oleh peliburan sekolah, lalu diganti belajar di rumah (study from home), perempuan bisa mendapat tambahan kerja: mendampingi anak-anak belajar.
Ketiga, kebijakan karantina atau isolasi rumah berpotensi memicu ledakan kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa laporan menunjukkan, kasus KDRT melonjak tajam di sejumlah negara, baik di Tiongkok, Australia, maupun Eropa, sejak kebijakan pembatasan sosial di tengah pandemi.
Di Indonesia, yang konstruksi sosial patriarkisnya jauh lebih kuat, potensi KDRT itu lebih tinggi. Hanya saja, kita belum punya data resmi.
Ketiga, beban ekonomi yang dipicu oleh krisis ekonomi seringkali berakhir di pundak perempuan.
Di satu sisi, pandemi menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Di sisi yang lain, pandemi juga memicu kelangkaan dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Muara dari dua masalah ini adalah dapur, sebuah arena yang oleh masyarakat patriarkal dianggap sebagai tanggung jawab perempuan. Perempuan dipaksa memutar otak untuk memastikan dapur tetap “ngebul”.
Karena itu, di tengah pandemi, tekanan ekonomi itu bisa berujung pada beban psikologis yang berlipat-ganda pada perempuan, terutama lapisan bawah.
Sedikit Solusi
Masalahnya lagi, dengan representasi yang lebih kecil di politik, baik eksekutif maupun legislatif, ruang bagi perempuan untuk memperjuangkan kebijakan yang menyasar kerentanan itu juga lebih sempit.
Namun, bukan berarti kita harus pasrah atas keadaan. Kita harus bersuara dengan segala macam cara, agar pendekatan pemerintah dalam menghadapi pandemi korona ini lebih sensitif pada kerentanan yang berbasis gender.
Pertama, kita harus memastikan negara menyediakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar untuk semua tenaga kesehatan di garis depan. Ini termasuk ketersediaan kebutuhan khusus bagi perempuan, seperti pembalut atau tampon yang higienis, di sela-sela pekerjaan berat mereka. Juga kepastian jaminan kesehatan dan sosial.
Kedua, kebijakan stimulus yang spesifik bagi perempuan pekerja informal, terutama perempuan yang berperan sebagai orang tua tunggal sekaligus kepala rumah tangga. Juga bantuan khusus terhadap ibu hamil dan yang punya balita.
Ketiga, selain kebijakan pelonggaran kredit, pelaku usaha perempuan di UMKM juga harus difasilitas untuk bisa bangkit kembali pasca krisis ini. Untuk itu, pemerintah perlu merancang bank khusus, seperti bank perempuan, untuk menyalurkan kredit usaha bagi perempuan.
Keempat, ada pemantauan khusus, termasuk hotline khusus, untuk menerima pengaduan terkait kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk kekerasan terhadap perempuan lainnya.
********
0 Reviews:
Post a Comment