Politisi Malaysia, Nurul Izzah Anwar
KUALA LUMPUR - Nurul Izzah Anwar, politisi Malaysia yang juga putri Anwar Ibrahim, menggambarkan pemilu 9 Mei lalu sebagai tsunami politik Malaysia. Menurutnya, pemilu bersejarah yang menumbangkan rezim Perdana Menteri Najib Razak itu mirip momen runtuhnya Tembok Berlin yang pernah terjadi di Eropa.
Runtuhnya Tembok Berlin merupakan peristiwa tumbangnya rezim komunis Jerman Timur yang disambut publik Jerman dan Eropa yang menghendaki era demokrasi.
Nurul Izzah yang saat ini menjadi aggota parlemen Permatang Pauh, Malaysia, senang dengan perubahan yang terjadi di negaranya. Terlebih, pemilu yang dimenangkan Mahathir Mohammad dari koalisi Pakatan Harapan menjadi jalan bagi pembebasan ayahnya, Anwar Ibrahim, dari penjara.
"Jalan di depan masih panjang dan kami harus bekerja keras secara kolektif untuk memperbaiki enam dekade korupsi dan tirani," katanya tentang masa depan Malaysia di bawah pemerintahan baru Pakatan Harapan.
Dia menambahkan dalam sebuah kolom di The Guardian, 15 Mei 2018, bahwa dengan rezim lama telah lengser, orang-orang jangan pernah takut lagi kepada pemerintah.
Putri cantik Anwar Ibrahim ini juga bercerita tentang Pakatan yang akhirnya dapat bergabung dengan Mahathir. Padahal, Mahathir merupakan sosok yang memecat ayahnya dan membuat ayahnya ditangkap pada tahun 1998.
Seperti diketahui kemenangan Pakatan Harapan atas koalisi Barisan Nasional pimpinan Najib Razak dalam pemilu 9 Mei membuat Mahathir kembali menjadi Perdana Menteri Malaysia.
Menurut Nurul Izzah, kubu politiknya bersatu dengan Mahathir karena memiliki tujuan yang sama, yakni untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan.
"Perdana Menteri Dr Mahathir sekarang memiliki kesempatan kedua yang langka untuk memperbaiki keadaan," kata Nurul Izzah.
Nurul Izzah berharap demokrasi yang kuat terjadi di Malaysia. Selain itu, dia juga berharap hak asasi manusia ditegakkan dengan toleransi nol terhadap korupsi.
"Kita perlu fokus pada reformasi pendidikan dan kesehatan serta memastikan bahwa kita membangun masyarakat yang terbuka, bersemangat, multikultural, toleran di mana kebenaran, keadilan, hak asasi manusia dan supremasi hukum ditegakkan untuk semua," paparnya.
"Kami ingin pemerintah didirikan berdasarkan prinsip dan kebijakan, bukan kepribadian," imbuh Nurul Izzah.
Berbicara tentang penangkapan ayahnya, Anwar Ibrahim, Nurul Izzah mengatakan bahwa dia berusia 18 tahun ketika dia melihat sang ayah dipecat dari posisinya sebagai Wakil Perdana Menteri dan dipenjara pada tahun 1998.
"Dia diculik dari rumah keluarga kami oleh pasukan keamanan, ditahan tanpa komunikasi selama sembilan hari dan dipukul sampai pingsan pada malam penangkapannya oleh Inspektur Jenderal Polisi," kata Nurul Izzah.
Nurul Izzah mengatakan selama tiga dekade terakhir di bawah pemerintahan Barisan Nasional, catatan hak asasi manusia Malaysia telah memburuk dengan tindakan keras terhadap aktivis hak asasi manusia Malaysia, kartunis, jurnalis dan politisi oposisi menjadi marak.
"Ayah saya sendiri dipecat karena sikap anti-korupsi dan reformisnya pada tahun 1998 dan dipenjara atas tuduhan palsu menyusul sidang yang sangat cacat, tidak hanya sekali tetapi dua kali,-dan secara kolektif menghabiskan 11 tahun hidupnya sebagai tahanan politik," kata Nurul Izzah.
Menyaksikan berbagai peristiwa terjadi di depan mata saat remaja membuatnya terpanggil untuk bergabung dengan gerakan reformasi untuk melawan pelecehan dan tirani di negaranya.
"Namun, korban sebenarnya dari turbulensi ini adalah orang-orang Malaysia," ujarnya, dengan menggambarkan meningkatnya biaya hidup, kurangnya pekerjaan, ketegangan rasial dan agama, dan migrasi massal ke luar negeri yang terjadi pada warga Malaysia.
Dalam kolomnya yang memilukan tersebut, Nurul Izzah mengatakan kondisi itu seperti Tembok Berlin di Malaysia yang akhirnya runtuh ketika orang-orang Malaysia membuat "tsunami politik" pada 9 Mei untuk memilih Barisan Nasional lengser dari kekuasaan Federal.
(mas/in)