Megawati Soekarnoputri (foto/ist)
Oleh : Anton DH Nugrahanto
Jakarta, 11 September 2017
Minggu minggu ini, di timeline banyak sekali orang membicarakan Bu Mega, awalnya dari tulisan Dandhy Dwi Laksono, seorang jurnalis paling berbakat di negeri ini, seorang dokumenter yang mampu menggambarkan kegelisahan rakyat Republik atas tanah tanah yang dikangkangi kaum Kapitalis dan yang kedua adalah tulisan jenaka Muhidin M Dahlan, seorang ahli arsip terbaik setelah HB Jassin, kedua orang ini berpandangan –menurut saya- Dandhy adalah seorang Anarko yang tak percaya soal “Negara” karena Negara hanya bagian dari rentangan Kapital, sementara Muhidin percaya sekali terhadap kekuatan “Negara” sebagai pelaksana atas fungsi fungsi sosial dan melihat fungsi Partai yang baik adalah yang punya kemampuan Massa dan Kader, tentunya PDIP kerap dipandang oleh dirinya sebagai “satu-satunya” Partai yang masih punya kultur massa dan kader dan secara implisit Muhidin sering menggambarkan PDIP sebagai Partai Massa yang perlu corong keren.
Pertama Dandhy mengajarkan publik soal bagaimana membuat film dokumenter dengan situasi membumi, tanpa sengaja Dandhy menawarkan karya karya Realisme Sosial, yang di masa Orde Baru dilindas habis dan dunia budaya dipaksa menjadi agen kebudayaan Salon, realisme sosial ala Dandhy ini luar biasa sekali dampaknya dalam memberikan sodoran pada publik, soal “kegelisahan kaum yang terpinggirkan”, layar tancap adalah “platform media” dalam mengeskalasi produksi dokumenternya dan disampaikan pada rakyat banyak.
Sementara Muhidin adalah ahli arsip semua soal, dari koran sampai rekaman digital utama sejarah pergolakan politik sepanjang 1960-an, ia simpan jadi tak heran bila tulisannya walau lucu, tapi serius soal data.
Megawati, adalah sejarah penuh kontroversi, ia jadi satu satunya sosok yang tersisa dari semua peristiwa penting di negeri ini dari jaman agresi militer pertama sampai jaman Jokowi. Sejak lahir ia seperti saksi sebuah Irama Revolusi yang bergolak. Sejarah kelahiran Bu Mega sendiri, diucapkan oleh Bung Karno dalam buku Cindy Adams :
"Di bulan Januari, anak perempuan saya lahir. Sebelum Fatmawati mengandung, ia pemah bermimpi diberikan seuntai kembang sepatu merah oleh ayah saya. lni berarti bahwa dia segera dikarunia seorang putri. Saya tak pemah melupakan bahwa pada tanggal 23 Januari (1947), istri saya baada di tempat tidur dan tidak dibawa ke rumah bersalin. Kamar disiapkan untuk melahirkan putriku. Namun, tiba-tiba lampu padam, gelap gulita, langit gelap sekali seolah ditelan awan gelap malam.
Mega gelap dan berat. Hujan turun menghantak langit-langit rumah, air hujan masuk melalui atap-atap rumah yang bocor, deras sekali. Air masuk menggenangi rumah. Dokter dan juru rawat memindahkan Fatmawati ke kamar tidumya. Dia basah kuyup, seperti juga perkakas dokter, kain sprei, pendeknya semua. Dalam kegelapan malam itu, cuma ada penerangan dari sebatang lilin. Putri kami lahir. Kami menamakannya Megawati. Mega berarti awan. " (Sukarno, Penjambung Lidah Rakyat Indonesia).
Sukarno hanya menceritakan Megawati dalam bukunya secara detail, apakah ini indera keenam Bung Karno bahwa melihat Mega sebagai puterinya yang akan selalu berada dalam pusaran arus kekuasaan selama puluhan tahun dan kisah soal awan adalah sebuah kalimat profetik melihat sejarah bangsanya dikemudian hari dan nasib Megawati yang naik turun itu.
Cerita tentang Megawati dan soal soal mistik dijelaskan baik oleh Rosihan Anwar saat berkisah soal Soebadio atau dikenal Oom Kiyuk. Walaupun Badio ini orang PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan bagian dari ‘Sjahrir Boys’, yang partainya selalu berlawanan dengan Bung Karno di masa Demokrasi Terpimpin, tapi Badio dekat sekali dengan Bung Karno, dan juga dekat dengan Megawati. Saat tekanan Rezim Suharto begitu kerasnya, Badio yang rumahnya di Jalan Guntur itu, kerap jadi tempat curhat Megawati, dan apa kata Badio pertama kali setiap saat ketemu Megawati “Bapak pesan apa?”, Badio mengerti bahwa Mega selalu berhubungan dengan Bung Karno dalam dimensi yang luar getar garputala nalar. Kerap bertemu dengan Bung Karno dalam dunia yang tak kita pahami.
Badio yang PSI dan dikenal amat rasional bisa saja menggunakan cara cara dimensi batin, dalam membangun hubungan dengan Megawati, dan ini adalah watak dasar orang Indonesia, yang percaya ada dimensi lain yang tidak bisa dijelaskan secara nalar. Tapi tentunya dalam bercerita soal figur, data data valid harus ada, kronologi dinamika yang melatarinya jelas menjadi alat dalam menjelaskan posisi seseorang, tak lepas dari persoalan Megawati ini dalam konteks dinamika politik bangsa kita.
Dandhy sendiri membandingkan Megawati sebagai Suu Kyi pejuang Demokrasi. Menjadi bagian dari sisi romantik dan itu sangat benar, getaran romantika Suu Kyi sendiri di jamannya mampu membuat banyak orang terpesona sampai di Indonesia, mungkin jutaan orang di Indonesia masih ingat bagaimana Suu Kyi melambaikan tangan di depan tembok besar, memanjat dari ruang isolirnya dan wajahnya yang runcing cantik seperti “masa depan Burma”. Kita juga masih ingat di foto foto jurnalistik yang tersebar di banyak koran dan majalah, soal mahasiswa mahasiswa Burma yang bentrok dengan tentara dan memakai sarung. Gerakan mahasiswa kerap dijadikan bahan referensi keberanian politik pemuda pemuda di jaman Orde Baru untuk tegak melawan tiran. Semua kejadian terkait, semua ada dialektikanya.
Protes Dandhy pada Megawati dan Suu Kyi, dalam drama kemanusiaan justru tanpa sadar membuka ruang pertanyaan baru. Soal Militeristik yang begitu mempengaruhi kekuasaan, pertanyaan disini adalah “Apakah Mega dan Suu Kyi” punya alasan yang sama dalam persoalan ‘rentang kendali’ militer. Disinilah kemudian menjadi kontroversi ketika Dandhy menggugat Megawati, dan pihak onderbouw PDIP menggugat tulisan itu.
Justru pertanyaan itu secara tak langsung dijawab oleh Muhidin. “Bu Mega tak perlu dibela” ini betul, tapi justru onderbouw Partai mengajak lebih jauh ke persoalan yang lebih serius, atas dasar tudingan Dandhy. “Siapa yang bermain dan ngerjain Bu Mega jelang Pemilu 2004?” ini akan jadi pertanyaan menarik karena secara tak sengaja nanti akan membuka rencana soal bagaimana menyingkirkan Megawati secara politik lewat Pemilu 2004.
Karena tulisan sudah digulirkan dengan cara cara ciamik Dandhy dengan data yang kuat, maka pihak Repdem Jatim juga ajukan gugatan dengan pertanyaan itu. Ajuan data bisa saja melakukan sorotan atas framing tertentu sehingga menggiring Megawati seakan akan lemah di depan para Jenderalnya. Ini sama saja menjadi gerutu paling kuat ketika Megawati sebagai Presiden RI, mengijinkan Sutiyoso menjabat kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta, padahal banyak pihak menduga Sutiyoso terlibat dalam Kudatuli 1996. Politik sendiri adalah sebuah dinamika, yang tidak bisa divonis dalam sorotan tunggal lalu dibuatkan opini. Bila tulisan Dandhy itu sebagai sebuah ajuan data yang dimungkinkan menjadi suatu karya akademis, tentunya harus juga mencari dialektika apa yang terjadi pada tahun 1999-2001, lalu apa yang terjadi jelang “tahun politik 2004”. Kalaupun pertanyaan ini kemudian menjadi sebuah persoalan holistik, maka bisa saja ini berujung pada “Siapa yang ngerjain Bu Mega jelang tahun politik 2004?” sehingga namanya tidak populer yang berimbas pada Pemilu 2004. Paling asyik lagi kalau Litbang PDIP berani buka soal kecurangan Pemilu 2004 dengan data data kuat, ini akan menjelaskan semua persoalan persoalan di awal tahun 2000. Dan bisa jadi alat dialektika dalam membahas tulisan Dandhy secara serius.
Di lain pihak Muhidin juga menuding Repdem Jawa Timur, sebagai “cari muka” kepada Bu Mega, nah ini jadi menarik. Saat Megawati dituding secara plintiran dalam pidatonya soal “ mereka yang mengetahui soal surga dan neraka” yang secara spekulasi dijadikan opini politik, seluruh kader PDIP bergerak, semua sontak berdiri dan melakukan pembelaan politik. Jadi ketika ada tudingan bahwa kader kader PDIP cari muka atas pembelaan ketua umum partainya, maka ini harus dilihat dari sisi Psikologis Partai. Setiap organ, komunitas, entitas punya masukan Psikologis yang unik. Megawati sendiri adalah “Bagian Dari Sejarah Partai”. Pola Demokrasi dalam PDI Perjuangan juga jangan dimengerti sebagai “Demokrasi Liberal” ala barat yang dikenal kelas menengah, Demokrasi dalam PDI Perjuangan sendiri adalah “Demokrasi Terpimpin”, semua didasarkan pada proses Musyawarah Mufakat, adanya gesekan gesekan dibawah kemudian setelah matang, diajukan pada pimpinan. Karena itulah cara menertibkan “jalannya Revolusi” yang belum selesai ini. Cara Cara Sukarno dalam menentukan Demokrasi-nya tentu tidak dipahami dalam Pola Demokrasi Liberal saat ini. Ini kerap juga jadi serangan bagi mereka yang merasa menjadi bagian insan demokrasi bergaya barat. Namun apapun ini dinamika untuk menemukan Dialektika Indonesia kita.
Megawati adalah tokoh sejarah yang paling sulit dimengerti, paling sering disalah artikan, seluruh jalan hidupnya adalah tudingan dan bully kelas menengah yang geram terhadap sikap diam-nya itu. Bagi kebanyakan orang Indonesia, sikap diam adalah ‘mencurigakan’ bukan ‘tindakan’, padahal ‘diam adalah tindakan’, dan salah satu kemampuan politik Megawati paling kuat adalah “Kesabaran Revolusioner” idiom ini amat dikenal di kalangan kader PDIP, sebuah kredo dalam perjuangan politik selain “Satya evam Jayate” yang artinya “Hanya Kebenaran Yang Menang”. Inilah kenapa Megawati selalu memberikan ruang dan waktu bagaimana semua kondisi berjalan dan bekerja. Ia amat senang dengan konsepsi “menit menit terakhir”.
Menyerang Megawati dan mengejeknya seperti kepuasan tersendiri bagi kelas menengah, tapi bagi pendukungnya dan mungkin simpatisannya, mengenang Megawati adalah soal emosional. Megawati masih dianggap sebagai bagian kenangan paling kuat soal Sukarno, Megawati masih bagian dari penceritaan perlawanan perlawanan terhadap tiran Orde Baru yang diceritakan dari kakek ke cucu, dari bapak ke anak. Megawati adalah kenangan keberanian keberanian politik melawan Suharto di jalan jalan, di kampung kampun dan di pertemuan pertemuan rahasia politik para aktivis, klandestin. Ketika Megawati dicemooh oleh mereka yang merasa bagian dari kebebasan berpendapat, apakah mereka tak pernah melihat rakyat yang berbondong bondong datang ke kongres kongres PDIP, melihat rakyat berlarian saat Megawati memulai pidatonya dan masih berteriak “Mega...Mega...Mega” dan popularitas Megawati itu beberapa saat lalu menular ke Jokowi, saat di Warteg Pulomas tahun 2013 saat itu Megawati dan Jokowi sedang makan siang, anak anak muda berlarian dan menonton mereka sambil bicara “ada Mega, ada Jokowi...” rakyat langsung berkerumun nonton mereka berdua. Ditengah rekayasa popularitas dalam berpolitik, Mega dan Jokowi sepertinya punya popularitas yang otentik.
Jadi benar kata Muhidin, “Megawati tidak perlu dibela”. Karena sejarah Megawati adalah kronik politik paling lengkap dan data akan membela dengan sendirinya, dari ia sendiri maju ke lapangan yang sepi, dimana rakyat masih mengintip-intip Mega dan PDI karena takut tekanan penguasa saat itu, Megawati yang sederhana itu bersuara “Ayo saya yakin kalian ada, berani sini... kita bicara” lalu rakyat berhamburan ke lapangan dan berteriak “Hidup Mega...Hidup PDI”... di satu jaman yang penuh romantika itu keberanian Megawati-lah yang membuat seluruh rakyat bergerak dan berteriak “Kandange Banteng, Lurahe Banteng...” di kantong kantong kekuasaan Golkar sampai ia menjadi Presiden RI.
PDI juga mengenalkan mobilitas karir, seorang office boy di sebuah kantor kabupaten, kemudian malah jadi Wakil Bupati dan menempati meja yang tiap hari ia lap dengan kain. Megawati datang ke pelosok pelosok anak ranting, membangun Partai dari cabang terbawah, dengan ikatan emosional dari ujung ke ujung Nusantara ini. Inilah kenapa kader kader PDIP dikenal militan dalam membela kehormatan Partainya. Walaupun sekarang sepertinya tugas Partai dan kaderisasi untuk menihilkan politik dinasti yang tak sehat di daerah daerah dan membangun sekolah sekolah Partai yang berarti juga “Sekolah Kepemimpinan Paling Bawah”, gerakan Sekolah Partai ini bila dilaksanakan secara efektif dan tertib tujuan maka akan secara revolusioner mengubah wajah perpolitikkan di Indonesia.
Megawati adalah seorang perempuan, di sebuah negeri dimana Perempuan kerap hanya jadi objek atas kekuatan kekuatan patriarki. Megawati mampu berdiri dan mengajarkan soal kehidupan, dia mampu membentuk Partai paling kuat sepanjang sejarah Republik ini berdiri.
Tulisan Dandhy ini memang bagus sekaligus membuka kesadaran, siapa sesungguhnya Megawati sekaligus tanpa sengaja membongkar siapa yang mengerjai Megawati di masa kekuasaannya yang singkat itu.
Megawati politisi paling kuat sekarang dan semua harus dibuka data datanya, agar jangan sampai sejarah menjadi bungkam karena opini opini di satu pihak menyerang Megawati dengan emosional dan disatu pihak dibela tanpa data, jadi ada baiknya juga Repdem Jawa Timur dan Dandhy saling berhadapan lalu saling membuka untuk membuka sejarah yang benar.
Ketika Abu Bakar Ba’asyir akan diciduk pihak asing, Megawati marah besar dan bilang Abu Bakar Ba’asyir adalah WNI, dan diselesaikan di Indonesia. Begitu juga soal Ahok, ketika begitu bergejolaknya penolakan pada Ahok, namun di Bedugul Bali, Megawati tetap memilih Ahok seraya berkata “Aku semua warga Indonesia berhak atas haknya dalam berpolitik” pandangan politik Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi titik pandang paling dasar Megawati, tapi ini kadang jadi cemooh bagi banyak pihak untuk mengejek Megawati baik dengan guyonan maupun dengan kata kata kasar...
Juga bagaimana soal Jokowi yang dianggap melakukan penangkapan penangkapan di Papua, dibuka saja dan dipaparkan ke publik kenapa mereka ditangkapi dan apa alasan Pemerintahan Jokowi soal itu. Bagaimana Jokowi siang malam memikirkan Papua menjadi bagian yang adil dalam sejarah Pembangunan di Indonesia setelah Papua lama terlepas dari kendali ekonomi Pemerintah, Jokowi bersumpah harga-harga barang di Papua sama dengan di bagian Indonesia lainnya, Jokowi membuka ruang ruang ekonomi baru di Papua, dicintai rakyat Papua, ya tinggal dibuktikan saja. Ini juga untuk mengajarkan pada publik untuk menyodorkan data yang adil dan penuh dialektika serta dinamika dalam melihat persoalan...
Janganlah kita juga paranoid terhadap sejarah, takut pada masa silam. Karena cara yang paling baik mendidik generasi muda adalah “jujur pada sejarah masa lalu...”
****************