Aksi Bela Islam Jilid III (Aksi 212) Digelar 2 Desember di Monas - (Foto/Ist)
Doa bersama atau
aksi super damai adalah kosakata yang terakhir diperkenalkan ke publik
seiring mendekatnya ke waktu pelaksanannya, yakni Jumat, 2 Desember
2016, yang dianalogikan sebagai 212. Betapapun, tidak ada jaminan atau
penjamin, demo 2 Desember 2016 (212), doa bersama atau aksi super damai
itu bakal rusuh atau damai. Terbukti, demo 4 November 2016 (411) dijamin
damai, toh berakhir rusuh. Sekarang, siapa yang berani menjamin, bahwa
demo 212 dalam kemasan doa bersama atau aksi super damai tersebut
benar-benar bakal damai?
Penjamin mestinya bukan hanya ngomong.
Tapi pasang badan. Seperti halnya penjamin kredit bank. Bentuknya
personal guarantee. Jika rusuh (aksi berlangsung dari pkl 08.00 WIB
hingga 13.00 WIB) maka sang penjamin langsung dibui. Hanya pemberani jadi penjamin. Berani
dan kapabel. Punya kemampuan mengendalikan massa. Punya nyali
bertanggung-jawab. Sebab, kebebasan melekat tanggung-jawab. Kebebasan
absoulute, kebebasan tanpa batas, adalah liar.
Analoginya begini
Cowok mengajak hang-out kekasihnya. Ortu
gadis melepas, karena personal guarantee. Dijamin aman. Si cewek tidak
boleh lecet sedikit pun. Seandainya, di jalan gadis diciderai sekelompok
pemuda, pasti cowok pasang badan. Membela. Sampai titik darah
penghabisan. Bayangkan, seandainya si cewek di jalan
diperkosa orang. Lantas, cowok ngomong begini: “Bukan salah saya, Pak…
Sekelompok penjahat memperkosa dia. Bukan saya, bukan teman saya. Tapi
ada yang menunggangi.”
Atau cowok mengatakan begini: “Mestinya
polisi bertanggung-jawab, dong. Polisi dibayar negara, dibayar uang
rakyat, termasuk uang saya
Logis-kah si cowok berkata begitu?
Jadi… rusuh di demo 411 lalu, para
koordinator demo dilarang mengatakan: “Pelakunya bukan kelompok kami.
Bukan orang kami. Itu penjahat. Polisi harus bertanggung-jawab...”
Apalagi, ada yang bilang, aksi 212 ini
berpotensi jauh lebih besar dari demo 411. Tentu dari segi jumlah
peserta, disebut-sebut bisa lebih dari 200.000-an orang, terutama umat
islam, elemen pendukung Gerakan Nasional Penegak Fatwa MUI (GNFMUI).
Kecenderungan jumlah massa peserta yang
meningkat sekaligus meninggikan eskalasi atau suhu politik, walau aparat
berwenang kemudian menambahkan frasa "super" di depan damai sehingga
jadilah aksi 212 ini disebut doa bersama super damai.
Seandainya rusuh lagi? Orang lalu mengatakan (lagi): “Ya… tanggung-jawab polisi-lah, atau aparat keamananlah….”
Nah… legislatif perumus undang-undang
sebaiknya menganalisis logika ini. Para koordinator demo harusnya
personal guarantee. Mereka mendaftar rencana demo ke kantor polisi. Jika
rusuh (di sudut kota sekali pun, melewati pkl 13.00 WIB di hari
tersebut), koordinator langsung-seketika ditangkap. Dibui.
Apakah undang-undang begitu membelenggu
demokrasi? Bukankah demokrasi melekat tanggung-jawab? Atau, mungkin-kah
kita memilih kebebasan absolut? Padahal, tidak ada kebebasan absolut. Di
dunia dan akhirat. Dengan pasal begitu, koordinator
benar-benar gagah. Mengerahkan anak-buah mengamankan seluruh kota. Tak
satu pun lemparan (meski dengan botol plastic sekali pun) ke polisi.
Apalagi, sampai ada toko dijarah. Pelakunya harus ditumpas oleh
koordinator CS. Bukan oleh polisi.
Sebab, perilaku massa di Indonesia ini
spesifik. Beda dengan di negara-negara demokrasi lain. Jangan bandingkan
dengan negara-negara Barat. Jauh… Dibandingkan Malaysia pun, ketertiban
sosial kita kalah telak. Demo-demo disana tidak diikuti penjarahan. Di Bangladesh (negara lebih miskin
banding Indonesia) terjadi demo hebat, Sabtu, 26 November 2016 kemarin .
Dua juta massa demo, memprotes represif militer Myanmar terhadap
Rohingya. Tapi, tak satu pun toko dijarah.
Maka, bukan soal warga miskin, sehingga menjarah. Melainkan, Indonesia memang spesifik. Mungkin, Soeharto (Presiden RI kedua)
paham tipologi kita. Tidak ada demo di zaman dia. Jangankan demo. Baru
berencana demo, sudah ditamatkan. Ini bukan bandingan equal. Orde Baru
otoriter, kini demokratis. Kita juga tidak ingin mundur ke era dulu. Kendati, pendemo yang kini berusia 30 tahun ke bawah, dipersilakan menengok sejarah kita.
Soeharto Bilang: “Tak Gebuk…”.
(prj/indo)