Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PP PMKRI), Angelo Wake Kako
INDOPOST, JAKARTA - Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI), Angelo Wake Kako menyatakan bahwa implementasi keberagaman sebagai sebuah syarat mutlak dalam hidup bernegara saat ini semakin diabaikan. Hal tersebut menyebabkan tindakan-tindakan teror bertebaran di mana-mana, munculnya pelanggaran HAM, dan kekerasan atas nama primordialisme.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi narasumber dalam seminar nasional bertajuk "Membangun Komitmen Pemuda-Mahasiswa Dalam Menjaga Kebhinekaan Untuk Memperteguh Kemajemukan Bangsa" yang diselenggarakan di Hotel Kartika Chandra, Jln. Gatot Subroto, No. 18 Jakarta Pusat, Senin, (10/10/2016).
Menurut Angelo, sebagai sebuah negara merdeka, lengkap dengan hukum dan
aparaturnya, pemerintah Indonesia ternyata gagal mengantisipasi
kekerasan dan teror yang terjadi. Hadirnya teror dari sekelompok orang
terhadap kelompok yang lain merupakan sebuah penyimpangan konstitusional
yang menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul, berserikat, dan
beragama warga negara Indonesia.
“Negara dengan aparat penegak hukumnya tampak tidak tegas bahkan juga abai untuk mengantisipasi penyimpangan konstitusional dan menindak tegas kelompok-kelompok yang berseberangan", ungkapnya.
Selain itu, Ia mengatakan, kesadaran akan kebhinekaan kian memudar dari kehidupan berbangsa saat ini. Jika dahulu para pendiri bangsa menjadikan perbedaan dan keragaman sebagai fondasi kokoh negara Indonesia, maka pada saat ini perbedaan dijadikan sebagai sarana pemecah-belah bangsa.
“Perbedaan dianggap sebagai masalah sedemikian sehingga harus dimusnahkan. Padahal, menurut Drijarkara, perikemanusiaan harus dilaksanakan dalam memasyarakat. Aku manusia niscaya memasyarakat. Supaya memasyarakat itu terjamin dan betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya”, tegas Angelo.
Pada kesempatan itu ia mengajak para pemuda Indonesia untuk menjadi motor penggerak dengan berkaca kepada sejarah bangsa dan menjadikannya sebagai referensi utama setiap insan pemuda-mahasiswa dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.
“Anak muda-mahasiswa jangan tinggal diam, harus lebih kritis melihat setiap fenomena yang terjadi di bangsa ini dari kacamata intelektual-ilmiah, bukan sebaliknya memandang setiap persoalan dengan kacamata primordial yang tidak jarang menyulut konflik horizontal", tegasnya.
(rinto namang/indo)
“Negara dengan aparat penegak hukumnya tampak tidak tegas bahkan juga abai untuk mengantisipasi penyimpangan konstitusional dan menindak tegas kelompok-kelompok yang berseberangan", ungkapnya.
Selain itu, Ia mengatakan, kesadaran akan kebhinekaan kian memudar dari kehidupan berbangsa saat ini. Jika dahulu para pendiri bangsa menjadikan perbedaan dan keragaman sebagai fondasi kokoh negara Indonesia, maka pada saat ini perbedaan dijadikan sebagai sarana pemecah-belah bangsa.
“Perbedaan dianggap sebagai masalah sedemikian sehingga harus dimusnahkan. Padahal, menurut Drijarkara, perikemanusiaan harus dilaksanakan dalam memasyarakat. Aku manusia niscaya memasyarakat. Supaya memasyarakat itu terjamin dan betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya”, tegas Angelo.
Pada kesempatan itu ia mengajak para pemuda Indonesia untuk menjadi motor penggerak dengan berkaca kepada sejarah bangsa dan menjadikannya sebagai referensi utama setiap insan pemuda-mahasiswa dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.
“Anak muda-mahasiswa jangan tinggal diam, harus lebih kritis melihat setiap fenomena yang terjadi di bangsa ini dari kacamata intelektual-ilmiah, bukan sebaliknya memandang setiap persoalan dengan kacamata primordial yang tidak jarang menyulut konflik horizontal", tegasnya.
(rinto namang/indo)