Dari kiri Sebastian Salang dari Formappi, Ray Rangkuti dari LIMA, Rumadi dari PBNU dan Iryanto Djou dari Aspirasi Indonesia dalam diskusi Tolak SARA dalam Pilkada di Kedai Kopi Deli Jakarta belum lama ini.
INDOPOST, JAKARTA - Makin masifnya gerakan penolakan terhadap Ahok oleh sekelompok ormas membuat situasi Jakarta belakangan makin tegang setelah MUI mengeluarkan fatwa resmi terkait kasus penistaan agama yang dituduhkan ke calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Situasi ini pula tergambar sedikit mencekam setelah marak beredarnya foto-foto serta pesan-pesan broadcasting yang isinya berupa seruan dan hujatan melalui sosial media.
Menanggapi situasi ini, Juru Bicara Aspirasi Indonesia Dr. Ing Ignatius Iryanto Djou SF, MEng. Sc menyayangkan munculnya gerakan tersebut. Dirinya mempertanyakan sikap-sikap para politisi dan tokoh-tokoh agama yang tidak lagi menjaga ruh demokrasi dan pancasila sebagai konsensus nasional.
"Saya pribadi masih sangat yakin bahwa Ahok adalah salah satu gubernur terbaik yang pernah memimpin DKI dan karena itu beliau layak melanjutkan kepemimpinannya di DKI. Walaupun demikian saya menyesali lepasnya ucapannya yang dapat dipahami sebagai ikut menafsirkan ayat-ayat dalam Al Qur'an. Itu adalah hal yang tidak pantas dilakukan, walaupun saya yakin bahwa tidak ada keinginan sekecil apapun dari beliau untuk menista agama Islam dengan kitab sucinya. Karena itu, saya tetap berpendapat hal itu adalah sebuah kekhilafan walaupun faktanya banyak pihak termasuk ulama dan akademisi muslim membelanya. Lega sekali bahwa Ahok kemudian meminta maaf pada seluruh saudara-saudara muslim akan hal itu," kata Iryanto.
Namun menurut Iryanto, munculnya sikap dan seruan resmi dari MUI di ruang publik dengan isi yang mengharuskan umat muslim mengacu pada ayat-ayat dalam kitab suci untuk memilih pemimpin publik merupakan warning serius terhadap konsensus nasional akan negara kebangsaan RI. Hal ini juga diperparah dengan kasus penolakan MUI Banten terhadap calon Kapolda Banten hanya karena berbeda keyakinan. "Acuan keadaban publik dan tata kelola publik di negeri ini tidak lagi mengacu pada hukum publik tapi diwajibkan mengacu pada hukum private, hukum agama. Ini tantangan sekaligus ujian serius bagi negara," ungkap mantan Aktivis Mahasiswa Berlin tersebut.
"Jika seluruh politisi dan kaum intelektual negeri ini menganggap itu adalah hal yang benar dan wajar, saya mengatakan semua kita adalah nasionalis munafik yang plin plan. Usaha untuk membangun negeri ini tidak akan pernah berhasil secara optimal karena kita selalu kembali ke titik nol dalam soal ini. Ini hambatan yang sangat fundamental sama buruknya dengan persoalan korupsi di negeri ini," tegasnya kepada The Indonesian Post, Kamis, (13/10/2016)
Dikatakannya, "jika itu memang fakta dan realita sosial dan politik yang kita lihat hari ini, masih perlukah kita bicara soal loyalitas pada negara kebangsaan NKRI dengan dasar negara pancasila? Apakah ini negara yang kita inginkan bersama, yang untuknya kita setia dengan taruhan jiwa dan raga karena eratnya tangan tangan kita yang saling bergandengan? Mari kita renungkan," tutup Iryanto.
(mb/indo)