Gedung Bundar Jampidus Kejaksaan Agung
INDOPOST, JAKARTA – Dua kali mangkir dari panggilan,
Kejaksaan Agung berusaha menghadirkan Mantan Kepala Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Tumenggung pada panggilan ketiga.
“Tentu, sesuai dengan ketentuan perundangan, jika tidak hadir pada panggilan akan dilayangkan surat panggilan berikutnya,” kata Kapuspenkum Muhammad Rum saat dihubingi, di Jakarta, Sabtu (15/10).
Syafruddin Tumenggung adalah tersangka kasus penjualan hak tagih hutang (Cessie) PT Adyesta Ciptatama (AC) di Bank BTN pada BPPN kepada PT Victoria Securities International Corporation (VSIC).
Menurut Rum, pada panggilan kedua, Jumat pekan lalu, tersangka beralasan tengah menderita sakit, sesuai surat pemberitahuan kepada tim penyidik. “Pada panggilan pertama, Selasa pekan lalu, dia juga tidak hadir memenuhi panggilan,” ungkap Rum, Mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DKI Jakarta.
Sama-Sama Mangkir
Selain, Syafruddin, tim penyidik juga melayangkan surat panggilan kepada tiga tersangka lain, dalam perkara Cessie yang disebut juga sebutan perkara Victoria.”Ya, benar tiga tersangka lain pada Selasa dan Jumat, pekan lalu juga tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan sama sekali,” jelas Rum.
Ketiga tersangka itu, adalah, Haryanto Tanudjaja (Analis Kredit BPPN), Suzana Tanojoh (Komisaris PT Victoria Sekuritas Insonesia-VSI) dan Rita Rosela (Direktur PT VSI).
Haryanto sendiri sudah sejak penyelidikan tidak pernah memenuhi panggilan. Sedangkan, Rita dan Suzana sejak dicegah ke luar megeri, 13 Agustus 2015 sudah kabur ke luar negeri.
Sart lagi dalam kasus ini Mukmin Ali Gunawan masih saksi, kendati sudah diperpanjang pencegahannya enam bulan berikutnya, sejak Agustus 2016. Mukmin mengaku dia tidak ada kitan dengan PT VSI dan VSIC. Ketua Tim Penyidikan Firdaus Dewilmar (saat itu) menyebutkan pencegahan, karena Mukmin diduga terkait dengan kasus Cessie.
Dua pengurus VSI lain, yakni Aldo Yusuf Cahaya (Komisaris VSI) dan mantan pengurus VSI Lis Lilia Djamin sudah dicabut pencegahannya, setelah berakhir pencegahan yang dilakukan, sejak 13 Agustus 2015.
Konspirasi
Kasus berawal 19 tahun lalu, ketika PT AC milik Johnny Wijaya minjam keredit ke Bank BTN sebesaer Rp469 miliar untuk membangun perumahan di atas lahan 1.200 hektar, di Karawang. Namun praktinya, BTN hanya mengucurkan kredit Rp176, 56 miliar.
Setahun berlalu, 1998 terjadi krisis moneter dan BTN masuk perawatan BPPN. Krisis selesai, PT AC ingin lunasi kewajiban, tapi membengkak, sebab disertai bunga sehingga menjadi Rp247, 9 miliar.
Lalu, BPPN gelar lelang aset AC dan dimenangkan taipan Prajogo Pangestu melalui PT First Kapital Rp69 miliar. Konglomerat ini, belakangan membatalkan pembelian dengan dalih dokumen aset tidak lengkap.
Lelang digelar, PT VSI sebagai satu-satunya peserta sukses raup aset AC dengan harga sangat murah Rp26 miliar. Tahu asetnya dijual murah, Johnny Widjaja kirim surat ke VSI dan bersedia melunasi hutang Rp266,4 miliar tunai, tapi ditolak. Victoria bersedia melepas dengan harga Rp2 triliun. Johnny melaporkan kasus itu ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKi, tapi tak urung tuntas.
Sampai, akhirnya April 2015 diambil-alih oleh Kejaksaan Agung dan dinaikan ke penyidikan, tapi bersifat umum. Akhir September diterbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) khusus dan ditetapkan empat tersangka.
(ahi/indo)
“Tentu, sesuai dengan ketentuan perundangan, jika tidak hadir pada panggilan akan dilayangkan surat panggilan berikutnya,” kata Kapuspenkum Muhammad Rum saat dihubingi, di Jakarta, Sabtu (15/10).
Syafruddin Tumenggung adalah tersangka kasus penjualan hak tagih hutang (Cessie) PT Adyesta Ciptatama (AC) di Bank BTN pada BPPN kepada PT Victoria Securities International Corporation (VSIC).
Menurut Rum, pada panggilan kedua, Jumat pekan lalu, tersangka beralasan tengah menderita sakit, sesuai surat pemberitahuan kepada tim penyidik. “Pada panggilan pertama, Selasa pekan lalu, dia juga tidak hadir memenuhi panggilan,” ungkap Rum, Mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DKI Jakarta.
Sama-Sama Mangkir
Selain, Syafruddin, tim penyidik juga melayangkan surat panggilan kepada tiga tersangka lain, dalam perkara Cessie yang disebut juga sebutan perkara Victoria.”Ya, benar tiga tersangka lain pada Selasa dan Jumat, pekan lalu juga tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan sama sekali,” jelas Rum.
Ketiga tersangka itu, adalah, Haryanto Tanudjaja (Analis Kredit BPPN), Suzana Tanojoh (Komisaris PT Victoria Sekuritas Insonesia-VSI) dan Rita Rosela (Direktur PT VSI).
Haryanto sendiri sudah sejak penyelidikan tidak pernah memenuhi panggilan. Sedangkan, Rita dan Suzana sejak dicegah ke luar megeri, 13 Agustus 2015 sudah kabur ke luar negeri.
Sart lagi dalam kasus ini Mukmin Ali Gunawan masih saksi, kendati sudah diperpanjang pencegahannya enam bulan berikutnya, sejak Agustus 2016. Mukmin mengaku dia tidak ada kitan dengan PT VSI dan VSIC. Ketua Tim Penyidikan Firdaus Dewilmar (saat itu) menyebutkan pencegahan, karena Mukmin diduga terkait dengan kasus Cessie.
Dua pengurus VSI lain, yakni Aldo Yusuf Cahaya (Komisaris VSI) dan mantan pengurus VSI Lis Lilia Djamin sudah dicabut pencegahannya, setelah berakhir pencegahan yang dilakukan, sejak 13 Agustus 2015.
Konspirasi
Kasus berawal 19 tahun lalu, ketika PT AC milik Johnny Wijaya minjam keredit ke Bank BTN sebesaer Rp469 miliar untuk membangun perumahan di atas lahan 1.200 hektar, di Karawang. Namun praktinya, BTN hanya mengucurkan kredit Rp176, 56 miliar.
Setahun berlalu, 1998 terjadi krisis moneter dan BTN masuk perawatan BPPN. Krisis selesai, PT AC ingin lunasi kewajiban, tapi membengkak, sebab disertai bunga sehingga menjadi Rp247, 9 miliar.
Lalu, BPPN gelar lelang aset AC dan dimenangkan taipan Prajogo Pangestu melalui PT First Kapital Rp69 miliar. Konglomerat ini, belakangan membatalkan pembelian dengan dalih dokumen aset tidak lengkap.
Lelang digelar, PT VSI sebagai satu-satunya peserta sukses raup aset AC dengan harga sangat murah Rp26 miliar. Tahu asetnya dijual murah, Johnny Widjaja kirim surat ke VSI dan bersedia melunasi hutang Rp266,4 miliar tunai, tapi ditolak. Victoria bersedia melepas dengan harga Rp2 triliun. Johnny melaporkan kasus itu ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKi, tapi tak urung tuntas.
Sampai, akhirnya April 2015 diambil-alih oleh Kejaksaan Agung dan dinaikan ke penyidikan, tapi bersifat umum. Akhir September diterbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) khusus dan ditetapkan empat tersangka.
(ahi/indo)