Thursday, March 10, 2016
(ilustrasi)
Oleh Eugen Sardono, SMM
Penulis adalah Montfortan. Kini, belajar Filsafat di STF Widya Sasana Malang
Suatu percakapan tentang roh kebudayaan di dalam perkumpulan “Makan-Makan”. Bukan itu yang menjadi fokus diskursus. Fokus diskursus adalah jiwa kebudayaan. Seorang pastur menceritakan, keluarganya adalah keluarga kurang beruntung dalam konsep budaya kala itu. Banyak saudara-saudari mereka yang meninggal. Ia pun melanjutkan kisahnya yang terpotong. Tidak saja ayahnya mengalami nasib seperti itu, tetapi juga saudara kandung ayahnya.
Di tengah karut-marut situasi, keluarganya mencari solusi, apa yang melatarbelakangi semua itu? Apa yang harus dilakukan? Bukankah keluarganya sama dengan keluarga yang lain. Segala hal pasti ada penyebabnya. Keluarga itu digiring mencari causa prima (penyebab utama) atau radix dari persoalan. Nah, ini adalah masuk dalam pergumulan filsfat.
Ada seorang yang dianggap primus interpares untuk mengadakan acara adat. Acara oke dara da’at (membuang darah tidak baik). Acara ini dilakukan di Manggarai (NTT). Acara bertujuan memulihkan, mengobati, dan melepaskan lilitan tali yang mengikat keluarga itu. Dengan acara itu, diharapkan mengembalikan stigma keluarga kurang beruntung. Keluarga itu adalah keluarga yang sakit. Syukurlah, ada usaha mencari dokter dan obat yang ampuh menyembuhkannya. Sekarang, back to culuture!
Setelah acara diadakan, semuanya beres. Keluarga pastur tersebut diselamatkan. Acara adat itu seperti dokter yang mampu mengoperasi kelahiran dari seorang ibu yang sedang kritis. Alhasil, saudara-sadaranya selamat. Acara adat itu menyuburkan kembali keluarga yang ditimpa nasib malang.
Jiwa Kebudayaan
Lantas, kita bertanya, kekuatan apa yang bias menyembuhkan? Apa yang membuat keluarga tadi sembuh dari sakit? Kiranya penting melihat nilai kebudayaan yang hidup dalam masyarakat tradisional. Amat disayangkan, kebudayaan yang bertumbuh subur dalam masyarakat tradisional kehilangat sengatnya.
Muncul desakralisasi kebudayaan, kebudayaan yang memandang batu, pohon, dan alam ciptaan lain “ada” yang sacral malah dilihat sebagai sebuah mitos. Seruan pun mencuat ke permukaan, itu semua hanyalah mitos. Mitos merupakan kepercayaan yang lahir dari orang yang tidak berpendidikan. Mitos kebudayaan out of date. Hancur. Tanpa bekas.
Lalu, muncullah perspektif baru, jiwa kebudayaan adalah rasionalitas. Lahirnya rasionalitas mendepak relasionalitas (antara manusia dan lingkungan). Rasio berinkarnasi dalam rupa IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Jiwa dari kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tak urung, alam ciptaan dirampas. Pertambangan dibuka di mana-mana. Lahan persawahan disulap menjadi arena perkotaan. Gunung dialihfungsikan menjadi tempat rekreasi. Pemukiman warga dijadikan tempat hiburan umum.
Kehilangan Relasionalitas
Kehidupan masyarakat modern mengganti kebudayaan masyarakat tradisional dengan IPTEK. Jiwa kehidupan adalah rasionalitas. Contoh-contoh di atas (lingkungan yang hamper kehilangan roh) merupakan pendisreditkan relasionalitas. Budaya itu kuno. Sekarang bukan zamannya memercayai mitos. Sekarang, orang berdevosi kepada IPTEk. Orang dulu berdevosi pohon, batu, dan benda-benda yang dianggap keramat. Relasi dengan alam dan sesama menjadi rusak. Relasi dengan yang lain berantakkan. Orang kecil selalu dijadikan tumbal. Tumbal pembangunan. Tumbal kekuasaan.
Secara saksama, kita bisa membangun tesis, perkembangan rasionalitas manusia sekarang sedang berkembang mencapai taraf tertinggi. Namun, de facto, justru relasionalitas kerdil.
Menyelamatkan Generasi Muda
Generasi sekarang adalah generasi yang gagap terhadap budaya. Generasi yang hilang akar dan hanya mengenal pohon dan daunnya kebudayaan. Orang tidak mengenal dari akarnya. Sehingga pembicaraan tentang kebudayaan semacam hal basi. Ini adalah gejala yang dalam suatu kesempatan akan menjadi bom waktu. Menjadi sebuah generasi yang kehilangan arah. Sebentar lagi bom itu akan meladak jika orang lamban dalam mencegahnya. Apa manfaat pendidikan bagi generasi muda? Orang Yunani terkenal sebagai bangsa yang cerdas karena keilahian menggunakan daya nalar. Mereka berhasil mendobrak mitos ke alam pengetahuan. Daya pengetahuan mempertanyakan semua apa yang sudah ada, bahkan jika hal itu dianggap sudah benar sekali pun. Salah satu catatan sejarah Galileo Galilei berhasil menemukan kebenaran bahwa “ Matahari menjadi pusat tata surya, bukan bumi’. Ia melumpuhkan teori yang mengatakan bumi menjadi pusat tata surya. Keberhasilannya berawal dari keingintahuan dan selalu mempertanyakan apa yang ada. Masyarakat yang tidak berpendidkan adalah masyarakat yang hidup dalam penjara. Arah gerak, pola pikir, pola laku diatur oleh pihak yang berkuasa. Para jelata karena kedudukannya memang harus menerima titah dari yang lebih berkuasa.
Mengapa semuanya terjadi? Karena pendidikan mereka sangat rendah. Mereka menerima peraturan atau kebijakan dari pihak yang bertitah tanpa mempertanyakan apalagi mengeritik. Dalam kehidupan kadang kita melihat ada orang melahirkan “anomi” terhadap sebuah masalah. Sikap ini terus mencuat ke permukaan dan tetap hidup dalam budaya masyarakat umum. Sesungguhnya, sikap ini lahir bukan karena orang tidak mau berbicara, melainkan tidak tahu harus berbicara apa. Pendidikan paling tidak berorientasi dua substansi yaitu alam dan manusia. Thales orang pertama yang mempertanyakan apa yang menjadi prinsip dari ada yang ada di kosmos. Alam tidak diterima begitu saja, tetapi ditelusuri asas dasarnya. Adakah kenyataan ada yang tidak ada asas ada? Inilah persoalan yang terus digumuli dalam. Pergumulan antarmanusia dan alam melahirkan kebudayaan. Kebudayaan menciptakan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan mengajarkan Pengetahuan. Kini, pengetahuan terinkarnasi dalam terknologi. Teknologi sesungguhnya jawaban manusia dari kekuarangan Sumber Daya Alam. Teknologi bisa menunjang kehidupannya. Teknologi itu sendiri adalah produk Sumber Daya Manusia.
Tidak cukup demikian, kiranya genarasi muda mampu membaca tanda-tanda zaman mulai dari kolam hidup keseharian. Footnote ilmu pengetahuan kembali ke kebudayaan local yang diwaris masyarakat dahulu, bukan sebaliknya! Sehingga pengetahuan menjadi cerminan realitas.
Red/Indopost
Related Posts
- Facebook Comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Reviews:
Post a Comment