ilustrasi
Oleh: Supriyanto Martosuwito
Setidaknya ada dua acara diskusi mengatas-namakan kampus dan akademisi batal terselenggara yang bertema dan bertujuan menurunkan Presiden Ir. Joko Widodo. Diskusi itu merupakan bagian dari upaya “kudeta merangkak” yang gagal.
Sebelumnya, kelompok 212 juga melakukan modus serupa di Monas dan kandas juga, pada 2 Desember 2016 lalu. Mula mula kelompok 212 mengincar Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama – agar turun dari jabatannya dan diadili sebagai “penista agama”. Lama lama gerakan massa merembet ke Istana Negara dan hendak menurunkan Jokowi.
Berharap Istana Negara menutup diri – agar gelombang demo berikutnya lebih besar dan merangsek istana – ternyata Jokowi tidak takut. Bahkan mendatangi pendemonya di pangungnya – meski para pengawal dan penasehat keamanan mengkhawatirkan keselamatannya. Jokowi unjuk nyali. Akhirnya upaya “kudeta merangkak” kandas. Bubar dan cair dengan sendirinya.
Demikian pula yang pekan lalu dirintis para mahasiswa, alumni dan guru besar yang nota bene kampus tempat Jokowi memperoleh gelar insinyur. Dengan bungkusan “diskusi ilmiah” tapi sama sama memprovokasi mahasiswa dan masyarakat, diskusi itu mudah ditafsirkan untuk “mengkondisikan” langkah langkah menurunkan presiden Jokowi.
Yang pertama diskusi virtual yang rencananya digelar 29 Mei 2020 oleh Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM – dengan tajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”
Diskusi bertajuk provokatif itu segera memancing polemik dan menjadi viral di medsos. Akhirnya diskusi urung dilaksanakan lantaran menuai protes dan perlawanan berbagai pihak.
Kini penyelenggara yang kecewa – didukung media mainstream dan media abal abal pro kadrun – menggalang opini adanya teror terhadap panitia penyenggara.
Tak berhenti di situ. Kemudian disusul diskusi virtual lain, 1 Juni 2020, dengan tajuk “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19”, yang menghadirkan mantan Ketum Muhamadiyah yang sempat dijagokan cadi cawapres Jokowi tapi tak terpilih sehingga depresi dan frustrasi. Didukung oleh pakar hukum yang kini ngamen jadi Youtuber setelah dipecat dari Komisaris di BUMN.
Di tengah keprihatian bangsa dan ekonomi melemah (secara global) akibat merebaknya virus Corona, momentum kritis ini justru dimanfaatkan sebaik baiknya oleh segelintir elemen bangsa yang ngebet berkuasa untuk menggoyang pemerintah pusat. Jargon yang kini gencar beredar dan dikampanyekan di medsos adalah “Kami tidak butuh ‘New Normal’ kami perlu ‘New President'”
Modus “kedeta merangkak” sebelumnya dilakukan oleh Suharto dan sukses. “Kudeta merangkak” ala Suharto adalah sebutan yang biasa dikemukakan para akademisi dan pakar sejarah terkait dengan turunnya Sukarno dan naiknya Suharto pada krisis politik tahun 1965.
Tidak seperti model kudeta pada umumnya, seperti di Thailand, Filipina, atau negara-negara Amerika Latin, dimana kudeta hanya berlangsung dalam hitungan hari, bahkan jam – layaknya operasi cepat khas militer – kudeta versi Soeharto, dilakukan secara bertahap, dengan durasi hampir setengah tahun, terhitung sejak 1 Oktober 1965, dan mencapai puncaknya saat turunnya Supersemar Maret 1966 . Hal itu dipaparkan pengamat militer Aris Santoso, kepada Deutsce Welle.
Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno dan menerapkan Suharto sebagai Presiden RI yang baru.
Konsep ”kudeta merangkak” diadopsi dari taktik satuan infanteri dalam operasi lawan gerilya. Dalam operasi lawan gerilya, pihak yang menguasai ketinggian (seperti perbukitan), dianggap lebih unggul.
Itu sebabnya dalam operasi tempur, pasukan infanteri selalu berusaha merebut posisi ketinggian. Ketika posisi ketinggian sedang dalam penguasaan pihak lawan, maka harus direbut dengan cara “merangkak”. Maksudnya naik perlahan, bertahap, dengan cara menyusup, bukan melalui serbuan frontal.
Berdasarkan Pasal 7A Undang-undang Dasar atau UUD 1945, Presiden RI bisa dimakzulkan jika terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau melakukan perbuatan tercela.
Proses pemakzulan itu melibatkan tiga lembaga. Yakni, MPR, DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK). Seorang presiden sulit dimakzulkan hanya karena alasan kebijakan penanganan pandemi virus corona. Meski demikian segala cara terus dicari dan diupayakan. Antara lain lewat bungkusan “diskusi ilmiah” dan menghadirkan akademisi dan pakar.
0 Reviews:
Post a Comment