Perang Retorika dan Konspirasi: Kala AS dan China Tunggangi Corona
Amerika Serikat dan China, dua negara paling kuat di dunia, telah terlibat dalam perang retorika dan teori konspirasi atas pandemi COVID-19.
Tiga bulan setelah pemisahan di Carolina Selatan, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat William H. Seward mencetuskan strategi yang ia percaya akan mencegah perang saudara. Pada 31 Maret 1861 pagi, Seward mengetahui pasukan Spanyol telah menduduki Santo Domingo, sedang armada Prancis berlayar menuju Haiti. Seward mengambil kesempatan itu, menulis surat panjang dan bertele-tele kepada Abraham Lincoln. “Saya akan meminta penjelasan dari Spanyol dan Prancis, secara jelas, sekaligus,” tulis Seward, “jika penjelasan yang memuaskan tidak diterima dari Spanyol dan Prancis, saya akan menggelar sidang Kongres dan menyatakan perang melawan mereka.”
Seward yakin rencananya akan mengalihkan perhatian publik dari masalah perbudakan, menggoda para pemilik budak selatan dengan akuisisi baru di Karibia, dan memberikan perekat patriotik untuk menyegel kembali bangsa yang terpecah belah. Seward menambahkan, dia akan dengan senang hati mengangkat beban penerapan strategi ini dari pundak Lincoln. Menganggap menteri luar negerinya masih kesal karena gagal jadi presiden, Lincoln pun menolaknya dengan halus.
Amerika Serikat hanya bisa bertempur “dalam satu perang pada satu waktu”, tegas Lincoln, sementara perang melawan Prancis atau Spanyol ialah perang yang tidak perlu. Mengenai masalah perang dan perdamaian, Lincoln menambahkan, dia mampu membuat keputusan itu sendiri. Merasa kecewa, Seward mengubur proposalnya dalam-dalam dan tidak pernah lagi menyebutkannya kembali.
Faktanya, “obat mujarab perang asing” ala Seward saat ini sama sekali bukan hal konyol. Lagi pula, Amerika Serikat telah bertempur dalam dua perang sebelumnya dengan alasan yang sama-sama lemah, meski ternyata berjalan cukup baik. Perang 1812, meski tidak dirancang dengan baik, diikuti oleh rasa baru patriotisme Amerika. Sementara itu, Perang Meksiko, meski memecah belah, telah menghasilkan akuisisi Texas. Gagasan Amerika Serikat tidak pergi ke luar negeri demi “mencari monster untuk dikalahkan” telah terbukti prematur. AS tidak hanya secara teratur mencari musuh, tetapi juga secara eksplisit mengalihkan perhatian dari kegagalannya sendiri.
Tampaknya itulah yang terjadi sekarang dalam kasus pandemi COVID-19 dan China. Ketika wabah penyakit telah menyebar, para pejabat senior pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah berusaha mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan mereka sendiri dengan menyarankan penyakit itu sengaja dibiakkan oleh China yang jahat.
Permainan saling tuding dimulai pada akhir Januari 2020, segera setelah virus corona baru muncul di Amerika Serikat. Mantan pejabat militer Israel Dany Shoham menuturkan kepada The Washington Times mengenai “analis perang biologis Israel”, yang mengklaim virus itu berasal dari Institut Virologi Wuhan, laboratorium yang terhubung dengan “program senjata biologis rahasia China”.
Pada 16 Februari, Senator Tom Cotton (Republik-Arkansas) memperkuat teori Shoham dengan mengatakan kurangnya transparansi China tentang wabah virus menunjukkan penyakit itu direkayasa. Pada 20 Februari, komentator sayap kanan Steve Bannon memperkuat klaim itu di G News, situs yang didanai oleh donaturnya dan pelarian China Guo Wengui, yang menegaskan “virus setan” dibuat oleh Partai Komunis China. Dua hari kemudian, klaim itu ditampilkan di halaman depan The New York Post. Dua hari setelahnya, pembawa acara radio sayap kanan garis keras Rush Limbaugh menyebut virus itu “mungkin” merupakan “percobaan laboratorium Chicom (komunis China)”.
Dari sana, narasi “China bertanggung jawab terhadap pandemi” menjadi fitur lengkap dari sayap kanan Washington. Para pejabat pemerintah AS mulai menyebut penyakit itu sebagai “virus China”. Dewan Keamanan Nasional (NSC) mengedarkan arahan internal yang menyebutnya “virus Wuhan”. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mencoba meyakinkan negara-negara G7 untuk menggunakan istilah itu dalam komunike resminya. Salah satu Pejabat Gedung Putih menggambarkan pandemi sebagai “kung flu”. Penggunaan istilah itu menyiratkan virus corona baru bukanlah virus yang berkembang alami, tetapi racun biologis yang disebarkan pemerintah China.
Namun, sangatlah mengejutkan ketika China menjadi objek terbaru dalam permainan saling menyalahkan di Washington, karena Trump sendiri telah menghabiskan banyak waktu memuji upaya China untuk mengatasi wabah penyakit. China awalnya ia gambarkan bersikap “profesional” dan sangat mampu”. Namun, pada pertengahan Maret 2020, pemerintahan Trump dan Trump sendiri menyebut pandemi COVID-19 sebagai “virus China”. Penasihat Keamanan Nasional AS Robert O’Brien menegaskan pada 11 Maret, upaya China menutup-nutupi penyakit telah menyebabkan banyak kematian.
Pada saat itu, China sudah menyerang balik. Ketika Amerika Serikat melarang para wisatawan yang datang dari China pada 31 Januari, pemerintah China mengecam keputusan tersebut, yang digambarkan sebagai “tidak berdasarkan fakta dan tidak membantu”. Dua minggu kemudian, pada 17 Februari, ketika desas-desus tentang tipuan China mulai beredar, corong resmi pemerintah China People’s Daily mengkritik Amerika Serikat karena “mentalitas jahat”.
Ketika Robert O’Brien mengklaim “upaya penutupan” China telah merenggut nyawa, pemerintah China merespons dengan teori konspirasi sendiri. Pada 12 Maret, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan virus corona baru memasuki Wuhan ketika personel militer AS mengunjungi kota itu selama Military World Games pada Oktober 2019.
Meski teorinya sudah dibantah oleh situs media sosial China, klaim Zhao mewakili momen unik karena pernyataannya hampir pasti disetujui oleh pemerintah China. Pada April 2020, para pejabat China menyatakan kemarahan dengan apa yang mereka sebut sebagai “permainan saling tuding” Amerika Serikat. Mereka menggambarkan kritik pemerintahan Trump tentang penanganan mereka terhadap krisis COVID-19 sebagai tindakan yang “tidak tahu malu” dan “menjijikkan secara moral”.
Ironisnya, saling tuduh yang terus meningkat dan tidak wajar itu tampaknya menguatkan anggapan di antara banyak ilmuwan, baik China maupun Amerika Serikat berusaha mati-matian untuk mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan mereka sendiri, sementara kehilangan fokus untuk memerangi musuh yang sebenarnya.
“Tidak diragukan lagi, China berusaha menutupi keparahan sebenarnya setelah kasus pertama dilaporkan di Kota Wuhan,” menurut ahli epidemiologi terkemuka yang berkonsultasi dengan pemerintah AS, “Tindakan seperti itu sama sekali tidak bertanggung jawab. Komunitas internasional membutuhkan mereka untuk terbuka dan sayangnya mereka tidak bersikap demikian. Respons mereka menakutkan, tidak kompeten, ceroboh, dan kontra-produktif.”
“Namun, ada banyak kebenaran pada klaim China, Amerika Serikat terlibat dalam permainan menyalahkan yang xenofobik untuk mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan mereka sendiri. Semua ini kekanak-kanakan dan tidak perlu. Jika ada kebutuhan untuk kerja sama internasional, inilah saatnya, dan kedua belah pihak justru tidak mengambil kesempatan itu.”
Di balik layar, para ilmuwan yang berjuang melawan virus telah melawan narasi China sebagai pihak yang bertanggung jawab. Mereka menyoroti, bahkan ketika pemerintah China “menutupi kasus”, para ahli medis China memberi sinyal potensi kedahsyatan krisis kesehatan.
Menurut catatan The National Interest, ketika sekelompok pasien yang menunjukkan gejala pneumonia akibat virus yang tidak dikenal mulai membanjiri rumah sakit Wuhan pada 26 Desember 2019, komunitas medis China bergegas mencari penyebabnya. Pada 30 Desember, mereka telah menghubungkan penyakit itu ke Pasar Grosir Makanan Laut Hunan, yang segera ditutup. Paling penting lagi, pada 9 Januari 2020, para peneliti China mengunggah urutan genom “virus corona baru” pada penyimpanan data genetik publik.
Publikasi dari sekuens itu adalah momen yang menyadarkan dan menjadi bukti tak terbantahkan, tidak peduli apa yang dikatakan atau ditekan oleh pemerintah China. Para ilmuwan China memberi sinyal, apa yang mereka temukan di Wuhan memiliki implikasi global yang tidak dapat disangkal.
Penulis dan penyelidik Mark Olshaker, rekan penulis studi pendahuluan Deadliest Enemy: Our War Against Killer Germs (bersama ilmuwan kesehatan masyarakat Michael Osterholm), mengutip keputusan itu sebagai bukti, setelah pejabat medis China “menyadari virus itu sangat menular, itu membuat mereka takut”.
Sementara China berusaha keras untuk menyediakan data medis lanjutan, menurut Olshaker, publikasi dari sekuens genom seharusnya segera mematahkan teori konspirasi di Amerika Serikat, termasuk gagasan virus itu diproduksi di Wuhan sebagai senjata biologis. Jika China benar-benar telah mempersenjatai diri dengan virus corona baru, ahli epidemiologi utama yang berbicara dengan The National Interest mengatakan sangat kecil kemungkinan mereka akan menerbitkan sekuens genetiknya.
Hal itu juga meragukan gagasan virus corona baru sendiri bahkan berasal dari laboratorium, seperti yang dikatakan Bill Hanage, profesor di Sekolah Kesehatan Masyarakat T. H. Chan di Universitas Harvard kepada seorang wartawan. “Jika ada bukti yang benar-benar mendukung teori ini di luar lokasi lab yang kebetulan, saya belum melihatnya. Saya tidak membuat keputusan berdasarkan kebetulan.”
Olshaker setuju. “Ada dua hal yang kita ketahui dengan pasti. Ada laboratorium biologis di Wuhan dan virus corona baru pertama kali menyebar di Wuhan. Namun, untuk menyimpulkan keduanya terkait dengan cara jahat sama sekali tidak masuk akal.”
“Kita tahu virus ini berasal dari kelelawar. Kita tahu ada pasar untuk menjualnya di Wuhan. Kita juga tahu Institut Virologi Wuhan melakukan penelitian penyakit menular tentang kelelawar mana yang dianggap sebagai reservoir. Namun, Anda tahu, jika Anda ingin bersenjatakan virus, ada banyak kemungkinan yang akan jauh lebih mematikan bagi lebih banyak orang dan tidak memiliki waktu inkubasi yang lama, seperti cacar atau antraks. Itu akan jauh lebih masuk akal.”
“Saya pikir itu adalah anggapan yang masuk akal, jika China ingin mempersenjatai virus corona baru, mereka akan bekerja keras mengembangkan vaksin untuk itu, untuk melindungi populasi mereka sendiri. Namun, tidak ada bukti untuk itu. Sama sekali tidak ada.”
Bagi Olshaker, penyebaran teori konspirasi semacam itu sama mematikannya dalam populasi politik seperti halnya pandemi pada populasi manusia.
“Anda tahu, saya telah menghabiskan banyak waktu mempelajari teori konspirasi. Ini adalah bagian dari pekerjaan saya, karena penting untuk dapat mengabaikan yang tidak masuk akal. Itulah yang dilakukan teori konspirasi: mereka menumpuk hal yang tidak masuk akal di atas hal yang hanya sedikit tidak masuk akal dan merangkai mereka untuk menghasilkan sesuatu yang mereka harapkan kedengarannya mungkin terjadi.”
“Namun, gagasan itu selalu goyah. Anda melihat ini di antara pihak-pihak yang menyebarkan teori. Garis standar mereka adalah apa yang mereka katakan tidak dapat dibantah. Anda tahu, Anda juga tidak dapat menyangkal penculikan oleh alien, tetapi bukan berarti itu memang terjadi.”
Mungkin, seperti yang dikatakan oleh para ilmuwan yang berbicara kepada The National Interest, penyebaran teori konspirasi tentang China dan COVID-19 adalah hasil yang dapat diprediksi dari sebuah negara yang dipimpin oleh seorang presiden “yang percaya kincir angin menyebabkan kanker, pesawat siluman secara harfiah tidak terlihat, kita harus menyapu lantai hutan kita, atau penyakit dapat diperangi dengan menyuntikkan disinfektan ke jaringan paru-paru.”
Dengan demikian, narasi China bertanggung jawab atas pandemi COVID-19 telah mencapai tujuan politik utamanya, setidaknya sebagian, melalui menggantikan perang retorika ala mantan Menlu AS William H. Seward antara China dan Amerika Serikat dengan perang sesungguhnya yang seharusnya diperangi oleh AS. Seperti yang dikatakan mantan Presiden AS Abraham Lincoln, mengingat perjuangan Amerika untuk mengalahkan pandemi nasional yang mematikan, perang retorika dengan China adalah perang yang tidak perlu.
sumber: matamatapolitik
0 Reviews:
Post a Comment