Presiden Sukarno mengucapkan selamat kepada Presiden Korea Utara Kim Il-sung yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. (kawankorea.com).
Kejadian lucu saat penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada Presiden Korea Utara Kim Il-sung.
Oleh Hendri F. Isnaeni
Presiden Korea Utara Kim Il-sung berkunjung ke Indonesia pada April 1965 dalam rangka menghadiri peringatan dasawarsa Konferensi Asia Afrika. Presiden Sukarno mengajaknya ke Kebun Raya Bogor dan menghadiahinya bunga anggrek yang dinamai Kimilsungia.
Selain itu, Sukarno juga meminta Universitas Indonesia (UI) untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kim Il-sung dalam bidang teknik.
Nizam Yunus dalam biografi Soemantri Brodjonegoro, Teguh di Jalan Lurus menyebut bahwa Sukarno intensif menganugerahkan gelar doktor kehormatan dalam rangka membina poros Jakarta–Pnom Penh–Hanoi–Peking–Pyongyang dan solidaritas Nefos (New Emerging Forces) yaitu negara-negara baru merdeka.
Pada 30 Januari 1964, UI memberikan gelar doktor kehormatan kepada Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja dan pada 3 Februari 1964 kepada Jenderal Carlos P. Romulo dari Filipina.
"Prosedurnya sederhana saja. Bung Karno menyampaikan perintah secara lisan, dan kemudian utusan Bung Karno yang selanjutnya berurusan dengan UI, tanpa melalui menteri pendidikan/kebudayaan," tulis Nizam.
Upacara penganugerahan doktor kehormatan untuk Kim Il-sung dilangsungkan pada 15 April 1965. Penanggung jawab acara tersebut adalah Prof. Slamet Iman Santoso. Rencananya acara akan diselenggarakan di halaman UI, Jl. Salemba 4, di dekat aula. Untuk itu, UI dan aulanya harus diremajakan.
"Semua pekerjaan di lapangan, sayalah mandornya. Saya lapor kepada sekretaris negara. Beliau sudah mengetahui rencana promosi, dan saya langsung dapat uang 25 juta rupiah cash, tanpa kuitansi. Semua uang dapat saya pertanggungjawabkan, kecuali Rp250.000 yang disalurkan melalui Dewan Mahasiswa,” kata Slamet Iman Santoso dalam memoarnya, Warna-warni Pengalaman Hidup.
Pada awal pengerjaan, Slamet meminta kepada Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, untuk terus mengikuti proses peremajaan agar persyaratan keamanan terpenuhi. Pekerjaan berjalan aman, tertib, dan lancar. Sehari sebelum promosi, pasukan Tjakrabirawa memeriksa aula dan lapangan dari pukul delapan sampai pukul sebelas, dan menyatakan keamanan terjamin.
"Jadi, legalah kami!" kata Slamet.
Tiba-tiba, pukul dua siang saat di rumah, Slamet menerima telepon: "Seluruh upacara harus dipindah ke Istana Presiden, sebab keamanan di Salemba 4 tidak bisa dijamin!" Akibatnya, Slamet harus mengerahkan semua karyawan UI untuk memindahkan segala persiapan ke Istana Presiden.
"Kok bisa, ya, dalam beberapa jam keamanan bisa berubah seratus persen! Memang Indonesia ini ajaib sekali, serba bisa!" kata Slamet.
Penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kim Il-sung pun dilangsungkan di Istana Presiden. Dalam rangka pelaksanaan promosi, sang promovendus mengucapkan pidato. Menurut Slamet, isi pidatonya khas seorang pemimpin partai komunis. Wajah Duta Besar Amerika Serikat yang menghadiri upacara menjadi merah. Namun, ia bisa menahan diri dan tidak meninggalkan upacara promosi.
"Saya rasa, promovendus adalah seorang militer-komunis, yang sama sekali tidak tahu tentang kebebasan mimbar ilmu pengetahuan dan kampus. Tahunya hanya soal partainya saja," kata Slamet.
Setelah selesai acara promosi, selagi Slamet duduk bekerja, datanglah Rektor UI Soemantri Brodjonegoro, duduk di antara pegawai biro rektor, sambil tertawa-tawa.
Akhirnya, Soemantri menceritakan: "Presiden Sukarno menginstruksikan kepada Pak Slamet, pada saat menggantungkan kalung di leher Presiden Kim II-sung, seharusnya tidak boleh berdiri antara promovendus dan para hadirin. Ingat? Lha, kok pada saat mengalungkan, Presiden Kim Il-sung diputar dua kali sembilan puluh derajat! Satu kali sebelum mengalungkan, lantas satu kali lagi diputar kembali setelah pengalungan selesai. Sampai Presiden Sukarno bilang sama saya, hanya seorang psikiater Slamet-lah yang berani memutar seorang presiden!"
"Barulah saya menyadari perbuatan saya. Saya memang memegang pundak kanan-kiri Presiden Kim II-sung, dan saya putar beliau sebelum mengalungi, kemudian saya putar kembali beliau ke posisi semula. Pada waktu saya melaksanakannya, semua berjalan otomatis, tanpa menyadari masalah perbedaan pangkat. Pelanggaran yang terjadi itu reflektoris saja!" kata Slamet.
0 Reviews:
Post a Comment