ilustrasi
NEW YORK - Harga minyak mentah mengalami penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk 1991 pada Senin (9/3/2020). Anjloknya harga minyak terjadi ketika produsen utama Arab Saudi dan Rusia memulai perang harga yang mengancam akan membanjiri pasar minyak global dengan pasokan.
Melansir Reuters, kemerosotan harga minyak mencapai hampir 25% akibat kepanikan. Dampaknya besar. Indeks saham utama Wall Street anjlok. Apalagi sebelumnya, bursa AS juga terkena sentimen negatif penyebaran cepat virus corona. Faktor-faktor tersebut semakin memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi global.
Arab Saudi dan Rusia sama-sama mengatakan mereka akan meningkatkan produksi pada akhir pekan setelah pakta tiga tahun antara mereka dan produsen minyak utama lainnya untuk membatasi pasokan minyak berakhir pada hari Jumat.
Moskow telah menolak untuk mendukung Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam melakukan pengurangan minyak yang lebih dalam untuk mengatasi penurunan permintaan secara substansial yang disebabkan oleh dampak virus corona pada perjalanan dan kegiatan ekonomi.
Data Reuters menunjukkan, harga minyak mentah berjangka Brent turun US$ 10,91 atau 24,1%, menjadi US$ 34,36 per barel. Harga minyak Brent mengalami penurunan sebanyak 31% pada hari sebelumnya menjadi US$ 31,02. Ini merupakan level terendah sejak 12 Februari 2016.
Sedangkan harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) anjlok US$ 10,15 atau 24,6%, menjadi US$ 31,13 per barel. Harga minyak WTI sebelumnya turun 33% menjadi US$ 27,34, yang juga merupakan level terendah sejak 12 Februari 2016.
Transaksi Senin kemarin menandai penurunan persentase harian terbesar untuk kedua harga minyak yang menjadi tolok ukur dunia sejak 17 Januari 1991, ketika harga minyak turun sepertiga pada permulaan Perang Teluk AS.
Volume perdagangan bulan depan untuk kedua kontrak mencapai rekor tertinggi.
Imbasnya, harga saham energi juga turun tajam. Produsen minyak serpih (shale) mulai memangkas pengeluaran untuk mengantisipasi pendapatan yang lebih rendah.
Saham Exxon kehilangan lebih dari 12%, persentase kerugian satu hari terbesar sejak 15 Oktober 2008, saat puncak krisis keuangan terjadi. Adapun saham Chevron turun lebih dari 15%, kerugian terbesar sejak kejatuhan pasar "Black Monday" Oktober 1987.
"Selama akhir pekan, setiap perusahaan mengurangi jumlah produksi mereka dan pada dasarnya shale masuk ke mode bertahan hidup dalam hal pengeluaran modal dan aktivitas," kata Dan Yergin, wakil ketua IHS Markit kepada Reuters.
Asal tahu saja, pada Minggu, dua sumber Reuters mengatakan Arab Saudi berencana untuk meningkatkan produksi minyak mentahnya di atas 10 juta barel per hari (bph) pada April dari 9,7 juta bph dalam beberapa bulan terakhir. Kerajaan Saudi memangkas harga ekspor pada akhir pekan untuk mendorong pabrik penyulingan membeli lebih banyak.
Rusia, salah satu produsen top dunia bersama Arab Saudi dan Amerika Serikat, juga mengatakan mereka dapat meningkatkan produksi dan dapat menoleransi harga minyak yang rendah selama enam hingga 10 tahun.
OPEC, Rusia dan produsen lain telah bekerja sama selama tiga tahun untuk menahan pasokan minyak dalam kelompok yang dikenal sebagai OPEC +. Negara-negara lain dalam kelompok itu kemungkinan akan meningkatkan pasokan dan memangkas harga untuk bersaing, sehingga menambah pasokan pasar yang sudah dibanjiri minyak mentah.
“Prognosis untuk pasar minyak bahkan lebih mengerikan daripada November 2014, ketika perang harga seperti itu dimulai, ketika hal itu memuncak dengan jatuhnya permintaan minyak akibat virus corona,” kata Goldman Sachs.