Joachim Fels
EKBIS - Wabah virus corona telah memicu ketakutan yang luar biasa para investor di pasar keuangan. Pandemi ini dapat membuat dunia masuk ke jurang resesi ekonomi.
Melansir CNN Business, tanda-tanda resesi global terlihat seperti keputusan Italia untuk menentukan sebagian besar kota di bagian utara termasuk ibu kota keuangannya, Milan, pada status semi-lockdown. Hal lain yang mendukung resesi adalah meningkatnya wabah di Amerika Serikat dan jatuhnya harga minyak.
Para ekonom pun dipaksa untuk melakukan koreksi atas prediksinya terhadap perekonomian global. Diperhitungkan seberapa besar dampak penyebaran virus terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar meyakini adanya kontraksi di kuartal pertama dan kedua tahun ini.
Ekonomi di PIMCO, Joachim Fels, menilai kemungkinan adanya resesi di Amerika Serikat dan Eropa. Sementara Jepang kemungkinan besar saat ini sudah mengalami resesi.
Baca juga: Wabah Virus Corona di AS Dinilai Bisa Tewaskan 200 Ribu Jiwa
"Dalam pandangan kami, yang terburuk bagi perekonomian masih akan datang selama beberapa bulan ke depan," kata Fels.
Lalu apa yang bisa memicu resesi global?
Virus corona memaksa orang untuk tinggal di rumah dan menghindari perjalanan, memangkas permintaan untuk tiket penerbangan, kamar hotel dan makan dk restoran. Pada saat yang sama, penghentian operasi pabrik di China dan di tempat lain, dan kekhawatiran akan lebih banyak gangguan di bagian lain dunia, telah mengganggu rantai pasokan dunia.
Semakin lama pandemi berlangsung, dan semakin dramatis upaya untuk mengatasinya, semakin besar pengaruhnya bagi perekonomian global. Saat ini, situasinya sangat tidak pasti.
"Panjang dan dalamnya kontraksi ekonomi global sangat tergantung pada apakah petugas kesehatan dapat memperlambat penyebaran virus melalui peningkatan pengujian, pembatasan pertemuan massal, dan karantina orang yang terinfeksi," kata Kepala Ekonom Goldman Sachs, Jan Hatzius.
Cina, adalah negara yang terpukul paling keras oleh wabah ini. Sepanjang Februari kemarin aktivitas negaranya terganggu dan membuat negara itu mengalami kontraksi ekonomi pertama sejak 1970-an.
Tetapi ketika jumlah kasus virus corona secara global naik di atas 100.000, dan pemerintah negara lain di luar China mengumumkan lebih banyak pembatasan, para ekonom mulai mempertimbangkan tekanan yang lebih parah terhadap ekonomi global.
Kepala Ekonom Capital Economics, Neil Shearing, melihat adanya resesi yang tajam tapi mungkin dalam jangka pendek sebagai skenario terburuk untuk saat ini. Itu bisa berubah dengan cepat.
Sementara Kepala ekonom Morgan Stanley, Chetan Ahya mengatakan pertumbuhan global akan mengalami kejutan yang cukup besar pada paruh pertama tahun 2020.
Pertumbuhan PDB, perkiraan Morgan Stanley, akan turun ke tingkat tahunan 2,3% sebelum pulih menjadi 3,1% dalam enam bulan berikutnya, didorong oleh stimulus dari pemerintah dan bank sentral.
Tetapi Ahya memperingatkan, jika wabah virus corona menjadi lebih luas, melampaui April dan merugikan perusahaan lebih dari yang diperkirakan sebelumnya, ekonomi global akan memasuki resesi. Dalam hal ini, Amerika Serikat, Eropa dan Jepang akan mengalami resesi, atau dua perempat kontraksi berturut-turut, katanya.
Baca juga: Tantangan Baru Hadapi Protes Sipil dan Krisis Keamanan Dalam Negeri AS Terkait Covid-19
Meski begitu, resesi yang disebabkan oleh virus corona akan terlihat sangat berbeda dari krisis keuangan 2008. Pemulihan akan terjadi ketika rumah tangga dan bank perlahan-lahan kembali ke jalurnya. Sementara itu, coronavirus crunch, diharapkan memberi jalan bagi rebound cepat setelah wabah dikendalikan.
Resesi global sudah berpengaruh ke pasar modal Indonesia. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kian bikin deg-degan.
Banyak hal yang bikin kondisi pasar saham membuat pelakunya 'jantungan'. Mulai dari perang dagang, dampak virus corona secara global, hingga yang saat ini anjloknya harga minyak dunia lantaran perang harga yang dilakukan Arab Saudi dan Rusia.
Direktur Utama PT Danareksa Investment Management (DIM), Marsangap P. Tamba menilai kondisi ketidakpastian yang membuat investor deg-degan ini masih akan terus berlanjut hingga ada suatu kepastian. Kepastian yang dimaksud adalah keluarnya data perekonomian, khususnya pertumbuhan ekonomi.
Memang, turunnya IHSG jika dilihat dari sisi lain cukup menggiurkan. Banyak saham yang harganya sudah murah. Namun menurut Marsangap masuk ke pasar saham saat ini masih terlalu berisiko.
"Kalau dibilang murah itu to early. Karena sampai sekarang belum ada yang confirm penurunannya sampai mana. Kita DIM tidak akan agresif beli di harga sekarang sampai kita lihat pertumbuhan ekonomi kuartal I kelihatan angkanya," tuturnya di Penang Bistro Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Marsangap menilai secara jangka pendek fluktuasi di pasar saham masih tinggi. Pelaku pasar juga masih menunggu data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 keluar.
Baca juga: Ratu Elizabeth II Dikabarkan Positif Terinfeksi COVID-19
"Tapi data kuartal I keluar akhir April atau Mei. Lalu nanti pasar masih mencerna dulu data makro kuartal I. Makanya swing terbesar akan terjadi di kuartal II," tambahnya.
Jika pertumbuhan ekonomi tidak seburuk yang diperkirakan, atau masih di atas 5%, kemungkinan pasar saham akan rebound. Di situlah waktu yang tepat untuk belanja saham.
"IHSG yang paling besar kan di perbankan. Perbankan kan masih bagus, pertumbuhan kredit juga masih high single digit. Investor akan melihat apakah benar kondisi ekonomi sangat melambat," tuturnya.