Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas
JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menegaskan tidak ada tawar menawar dalam mengokohkan persaudaraan (ukhuwah), baik persaudaraan sesama iman, antarwarga negara maupun persaudaraan kemanusiaan. Islam jelas dan tegas mengajarkan hal itu.
Namun, kata dia, tidak boleh dilupakan bahwa Islam juga mengajarkan prinsip keadilan, kejujuran dan memegang komitmen atau janji. “Para pendiri negara ini sudah berkomitmen dengan mengikat janji bersama untuk berdirinya suatu negara. Islam menyebut dengan istilah mu’ahadah wathaniyah. Apa itu, yaitu NKRI dengan Pancasila dan UUD NRI 1945,” ujar Robikin, Sabtu (30/11/2019), menjawab pertanyaan terkait polemik perpanjangan izin Front Pembela Islam (FPI).
Menurut Robikin, semua anak bangsa terikat komitmen dan janji tersebut. Sebab janji adalah utang dan wajib dibayar. Tak pandang pribadi warga negara atau kumpulan orang yang berhimpun dalam LSM atau pun organisasi, termasuk organ negara, lantaran sudah tuntunan ajaran agama.
“Dalam organisasi, komitmen tersebut tak cukup hanya dipegang oleh individu pimpinan organisasi dengan menuangkannya di atas kertas. Namun harus terkonfirmasi dari ujaran, sikap dan perbuatan. Jika nyata berdasarkan dokumen legal atau ujaran, sikap dan perbuatan suatu organisasi menganut idiologi yang bertentangan dengan Pancasila atau melawan konstitusi atau hendak menghapus sekat negara bangsa (khilafah), maka organisasi seperti itu tak layak mendapat legitimasi dari pemerintah Indonesia.” tukasnya.
Ia melanjutkan, otoritas pemerintah tidak boleh terkecoh dengan mendasarkan lembar surat pernyataan kesetiaan kepada Pancasila, UUD NKRI 1945, dan NKRI. Pernyataan kesetiaan seperti itu harus ditindaklanjuti oleh keputusan organisasi melalui forum permusyawaratan tertinggi organisasi, apakah itu bernama muktamar, kongres, musyawarah nasional atau apapun namanya.
“Jika tidak, hal itu lebih terkesan sebagai siasat agar mendapat legitimasi administratif dari pemerintah, suatu yang tak bisa dibenarkan. Perlu diingat, tenteram dan damainya bangsa dan negara merupakan sarana agar umat dapat melaksanakan ajaran agama dengan baik,” pungkasnya.
(wib,thm)