Oleh: Amy Goodman dan Nermeen Shaikh (Truth Out/Democracy Now)
Dialog Tiga Jurnalis AS
Di Indonesia, setidaknya enam orang meninggal dan ratusan lainnya terluka setelah pendukung mantan jenderal Prabowo Subianto turun ke jalan-jalan untuk memprotes kekalahannya di Pilpres 2019. Protes dimulai setelah KPU mengumumkan kemenangan Jokowi, dengan perolehan 55 persen suara. Allan Nairn, jurnalis yang baru kembali dari Indonesia berbicara kepada Democracy Now, program berita independen AS tentang operasi rahasia yang dilakukan oleh jenderal didikan Amerika Serikat untuk memerangi demokrasi Indonesia yang masih muda.
Nermeen Shaikh: Di Indonesia, setidaknya enam orang tewas dan ratusan orang lainnya cedera setelah para pendukung capres oposisi Prabowo Subianto turun ke jalan untuk memprotes kekalahan dalam Pilpres 2019. Protes dimulai setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa capres petahana Joko “Jokowi” Widodo memenangkan masa jabatan kedua dengan perolehan suara 55 persen. Prabowo menolak mengakui kekalahan dan akan menggugat hasilnya di Mahkamah Kosntitusi (MK). Truth Out berbicara dengan wartawan Allan Nairn yang baru saja kembali dari Indonesia.
Amy Goodman: Pihak berwenang Indonesia telah menangkap tiga pendukung Prabowo karena diduga merencanakan makar untuk merebut gedung-gedung pemerintahan di Jakarta. Salah satu pria yang ditangkap adalah Sunarko, mantan komandan pasukan khusus Indonesia yang dilatih Amerika Serikat. Kita akan mewawancarai jurnalis investigasi sejak lama Allan Nairn, yang baru saja kembali dari Indonesia, pemenang George Polk Award dan penerima Robert F. Kennedy Memorial Award. Nairn telah melaporkan tentang Indonesia selama tiga dekade terakhir. Apa pendapat Anda tentang pentingnya Pilpres 2019 dan apa yang terjadi sekarang dengan protes mematikan ini?
Allan Nairn: Ya, dalam arti tertentu, pemilihan ini merupakan titik balik bagi Indonesia, karena jika Jenderal Prabowo menang, itu akan membuka pintu untuk kembali ke semacam neofasisme di Indonesia, kembali ke cara lama kediktatoran Suharto. Prabowo adalah pembunuh massal paling terkenal di Indonesia. Dia telah terlibat dalam pembunuhan massal di Timor Timur, Papua, Aceh, penculikan dan penyiksaan terhadap para aktivis di Jakarta.
Dia juga anak didik terdekat AS di Indonesia, yang bekerja langsung untuk Badan Intelijen Pertahanan AS dan Pasukan Khusus AS, berulang kali membawa Pasukan Khusus AS ke Indonesia, di mana, di antara hal-hal lain, mereka melakukan pengintaian, seperti yang dikatakan Prabowo kepada saya, perencanaan kontingensi AS untuk invasi ke Indonesia, jika AS memutuskan untuk melakukan itu, bertahun-tahun yang lalu, ketika Prabowo menyatakan kepada saya, ketika kami berbicara tentang kemungkinan dia merebut kekuasaan dan menjadi apa yang disebutnya sebagai “diktator fasis.” Kekalahan kali ini adalah titik balik. Ini adalah kedua kalinya ia dikalahkan oleh Jokowi setelah Pilpres 2014.
Tapi dia menolak menerima kekalahan itu. Dia, pada dasarnya, telah menyatakan dirinya sebagai presiden. Sekarang para pendukungnya, yang mencakup organisasi-organisasi Islam, termasuk kelompok FPI, bahkan elemen-elemen ISIS, telah turun ke jalan untuk memprovokasi keadaan darurat, yang akan memerlukan intervensi militer untuk mengambil alih negara dan menempatkan Prabowo dalam kekuasaan.
Taktik yang mereka gunakan mengingatkan pada taktik yang digunakan oleh Prabowo dan pasukan lainnya ketika kejatuhan ayah mertuanya, presiden diktator Suharto yang didukung Amerika Serikat, digulingkan oleh pemberontakan rakyat tahun 1998. Bulan Mei 1998, mereka melakukan operasi terhadap penduduk China setempat, membakar, menjarah, menciptakan kekacauan. Mirip dengan taktik yang digunakan tahun 1999 di Timor Timur, di mana militer Indonesia, termasuk Jenderal Sunarko, yang baru saja Anda sebutkan, menggunakan milisi untuk melakukan pembakaran dan pembunuhan, menciptakan kekacauan di Timor Timur, setelah orang Timor memilih kemerdekaan di sebuah referendum yang disponsori PBB.
Aksi kali ini juga semacam pengulangan dari percobaan kudeta, yang telah berupaya dilakukan oleh pasukan yang terhubung dengan Prabowo akhir 2016, awal 2017, dalam apa yang dikenal di Indonesia sebagai Gerakan 212, di mana mereka bersekutu dengan gerakan Islam jalanan yang sebenarnya mendapat dukungan luas dari elemen gerakan konservatif Islam di Indonesia.
Ketika orang-orang militer pada waktu itu menggambarkannya kepada saya, harapan mereka adalah untuk masuk dan benar-benar mengambil alih, secara fisik mengambil alih kongres, secara fisik menduduki istana dan merebut kekuasaan. Mereka gagal pada saat itu. Prabowo mencoba lagi kali ini, setelah kalah dalam Pilpres 2019. Tapi sepertinya dia tidak punya cukup banyak orang di jalanan.
Konflik yang lebih dalam yang terjadi adalah para jenderal tua yang dilatih Amerika Serikat versus demokrasi. Ada Prabowo, yang mencoba membalikkan hasil pemilu, tetapi ada juga jenderal-jenderal kunci yang berada di pihak Jokowi sebagai pemenang pemilu, yaitu Jenderal Hendropriyono dan Wiranto, yang juga merupakan pembunuh massal, yang telah terlibat dalam kejahatan seperti pembantaian Timor Leste 1999; pembunuhan Munir, pembela hak asasi manusia terkemuka; hingga pembantaian Talangsari.
Mereka telah berusaha melakukan penangkapan terhadap para pembangkang politik, dan pada dasarnya berusaha untuk menghancurkan kebebasan berbicara di Indonesia. Jadi demokrasi Indonesia saat ini terkepung dari kedua sisi spektrum politik partisan oleh para jenderal didikan Amerika Serikat, beberapa dari mereka bekerja dalam aliansi dengan organisasi-organisasi Islamis jalanan tersebut, beberapa di antaranya awalnya diluncurkan dan diciptakan oleh Angkatan Darat Indonesia.
Nermeen Shaikh: Bisakah Anda berbicara tentang rekam jejak Jokowi di periode pertama?
Allan Nairn: Salah satu janjinya dalam kampanye Pilpres 2014 saat ia mengalahkan Prabowo ialah bahwa ia akan menyelidiki kekejaman besar, kejahatan besar, termasuk pembantaian terhadap satu juta warga sipil simpatisan PKI tahun 1965, yang didukung oleh Amerika Serikat dan yang memungkinkan Angkatan Darat Indonesia untuk melakukan konsolidasi kekuasaan. Dia saat itu menegaskan bahwa dia akan mengadili para jenderal yang bertanggung jawab. Dia lalu tidak melakukan itu.
Bahkan, dia membawa dua jenderal yang paling terkenal, Hendro dan Wiranto, ke lingkaran pemerintahannya karena dia takut pada Angkatan Darat. Jokowi takut dengan Angkatan Darat. Jokowi belum benar-benar menunjukkan keberanian sejauh ini untuk menghadapi dan mengadili mereka. Jokowi tidak benar-benar memiliki kendali atas Angkatan Darat. Tetapi dia memiliki harapan bahwa dengan bersekutu dengan tokoh-tokoh seperti itu, dia dapat mempertahankan kekuasaan.
Sekarang setelah Jokowi memenangkan masa jabatan kedua, saya pikir akan ada tuntutan populer agar Jokowi memenuhi janji lamanya dan mengadili para jenderal, termasuk Hendro, Wiranto, hingga Prabowo, atas kejahatan pembantaian mereka. Menurut saya, mereka juga harus mencoba untuk mengadili para pejabat AS yang mensponsori para jenderal itu. Lakukan seperti di Italia, ketika mereka mengadili agen CIA karena penculikan di Roma. Mereka dapat meminta dokumen A.S. tentang kekejaman masa lalu yang didukung oleh Washington.
Kongres AS sebenarnya menulis klausul dalam undang-undang apropriasi operasi luar negeri yang mewajibkan AS untuk menyerahkan dokumen ke Indonesia jika dilakukan investigasi dan penuntutan. Tapi ini hanya bisa terjadi jika ada gerakan rakyat untuk menekan Presiden Jokowi, dan jika pasukan Prabowo, yang pada dasarnya berusaha merebut kekuasaan dengan kekerasan, akhirnya dikalahkan.
Amy Goodman: Anda telah merilis laporan tepat sebelum Prabowo kalah dalam Pilpres 2019, yang bisa dipertimbangkan di sana. Tolong jelaskan apa yang telah Anda pelajari.
Allan Nairn: Saya menerbitkan notulen rapat yang diadakan Prabowo dengan jendral-jendral puncaknya dan orang-orang kepercayaan politiknya, di mana mereka menyusun rencana jika dia memenangkan pemilihan dan mengambil alih kekuasaan. Rencana mereka adalah penangkapan massal terhadap lawan-lawan politik, seperti yang mungkin Anda perkirakan mengingat gaya politik Prabowo, tetapi juga penangkapan massal banyak pendukungnya, banyak pemimpin organisasi Islamis yang merupakan inti organisasi akar rumput dari kampanyenya dan yang sekarang banyak dari mereka berada di jalanan, melempar bom molotov atas nama Prabowo.
Aspek yang menarik adalah bahwa dalam pertemuan ini mereka mengatakan bahwa mereka berencana melakukan penangkapan massal terhadap sekutu mereka sendiri untuk menyenangkan AS. Mereka berbicara tentang pertemuan yang diadakan Prabowo dengan duta besar AS, Donovan. Pada dasarnya mereka ingin mendapatkan dukungan dari AS, berusaha untuk mendapatkan kembali restu mereka, menjalin kembali aliansi lama.
Mereka berencana untuk menangkap tidak hanya lawan, tetapi juga sekutu, untuk melakukan konsolidasi kekuatan tunggal di tangan Prabowo. Setelah artikel itu keluar, tampaknya telah menyebabkan beberapa gangguan di antara barisan kelompok-kelompok Islamis dan mungkin mengurangi mobilisasi mereka untuk Prabowo tanggal 22 Mei dan juga selama tanggal 21-23 Mei 2019 di jalanan.
Amy Goodman: Tolong bicarakan tentang pemilihan India dan pemilihan umum Indonesia yang sangat besar. Bicarakan tentang angka-angka itu dan bandingkan dengan Amerika Serikat.
Allan Nairn: Pemilu India dan Indonesia benar-benar pemilihan terbesar kedua di dunia. Yang terbesar adalah India, sejauh ini. Yang kedua adalah Indonesia, dalam hal jumlah partisipan. Faktanya, meskipun Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia dalam hal jumlah penduduk, Indonesia sedikit lebih kecil dari AS. Namun, dengan partisipasi pemilu jauh melampaui Amerika, Jokowi dan Prabowo masing-masing mendapatkan jutaan suara lebih banyak daripada Hillary Clinton dan Trump dalam pemilihan AS tahun 2016.
Partisipasi pemilih sekitar 80 persen di Indonesia. Selain itu, Anda memiliki sekelompok orang yang abstain dari pemilihan, golput, dengan alasan berprinsip karena mereka kecewa dengan kegagalan Jokowi menuntut para jenderal atas kejahatan kemanusiaan. Jadi, jika di AS kita memiliki tingkat partisipasi pemilih sebesar itu, lanskap politik akan sepenuhnya berbeda. Saya pikir pendukung ekstremis Partai Republikan dan Trump di AS akan disapu bersih dari kekuasaan jika partisipasi warga AS di pemilu naik dari tingkat saat ini 65 persen, menjadi sebesar 80 persen seperti di Indonesia.
Amy Goodman: Sebelum Anda pergi, dapatkah Anda mempertimbangkan seluruh debat pemakzulan di Amerika Serikat?
Allan Nairn: Itu membutuhkan diskusi yang lebih panjang. Tetapi jika Anda menonton CNN dan MSNBC saat ini, kecuali jika Anda seseorang yang telah mengikuti saluran tersebut dengan rajin, saya pikir Anda akan menemukan banyak hal yang mereka bicarakan adalah omong kosong yang tidak dapat dipahami, karena mereka terus-menerus berbicara tentang Don McGahn dan semua tokoh yang tidak dikenal kebanyakan orang, bukannya berbicara tentang masalah substantif dari kekejaman yang dilakukan Trump setiap hari, seperti penculikan dan, seperti yang baru saja Anda sebutkan, pembunuhan secara de facto terhadap anak-anak di perbatasan, memusnahkan hak-hak buruh, memusnahkan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Sebaliknya, mereka berbicara tentang Partai Demokrat yang sedang berselisih, dan mereka memberikan hadiah politik kepada Trump. Jika Anda akan memakzulkannya, lakukan pemakzulan secara substansial, bukan plot Rusia, yang sudah disimpulkan Mueller di mana Trump tidak berpartisipasi secara kriminal.
Amy Goodman: Ya, kita harus mengakhirinya di sana. Tetapi saya ingin bertanya kepada Anda, dengan alasan lain, itulah yang dibicarakan oleh sejumlah Demokrat sekarang, misalnya, tidak mau bekerja sama dengan Kongres AS dalam memberikan informasi.
Allan Nairn: Ya. Satu masalahnya, bagaimanapun juga, adalah Demokrat menciptakan konfrontasi konstitusional ini. Mereka dengan tepat menunjukkan bahwa Trump sangat keterlaluan karena telah menolak untuk menyerahkan dokumen yang telah diminta secara sah oleh Kongres. Namun, Demokrat melakukan hal itu berdasarkan premis yang sangat lemah, gagasan bahwa entah bagaimana ada sesuatu yang jahat dalam plot Rusia, ketika Mueller telah menyimpulkan bahwa tidak ada tindakan kriminal di sana.
Lakukan pemakzulan berdasarkan substansi. Lakukan pemakzulan berdasarkan penolakan Trump untuk menyerahkan dokumen tentang kejahatan yang dia lakukan di sepanjang perbatasan Meksiko, tentang cara dia mendorong dunia menuju kemungkinan kepunahan melalui sikapnya terhadap pemanasan global, tentang pencabutan pembatasan pembunuhan warga sipil dengan operasi pengeboman dan pesawat nirawak AS di Timur Tengah dan Afrika Utara. Lakukan pemakzulan atas dasar masalah nyata, bukan premis yang telah dilemahkan oleh investigasi Mueller.
Amy Goodman adalah pembawa acara dan produser eksekutif dari Democracy Now!, sebuah program berita nasional harian independen yang memenangkan penghargaan, mengudara di lebih dari 1.100 stasiun televisi dan radio publik di seluruh dunia. Time Magazine memberi penghargaan kepada Democracy Now! sebagai podcast pilihan bersama dengan NBC “Meet the Press.”
Nermeen Shaikh adalah produser berita siaran dan pembawa acara mingguan di Democracy Now! di New York City. Dia bekerja dalam organisasi non-pemerintah dan penelitian sebelum bergabung dengan Democracy Now! Dia memiliki gelar master filsafat dari Universitas Cambridge dan menulis buku The Present as History: Critical Perspectives on Global Power yang diterbitkan Columbia University Press.