Penggagas Petisi Koalisi Save Ibu Nuril mendatangi Kantor Staf Presiden di Jakarta,Senin, 19 November 2018
INFILTRASI - Koalisi Save Ibu Nuril siang ini menyambangi Kantor Staf Presiden (KSP) guna menyerahkan petisi permohonan pemberian amnesti kepada mantan guru honorer SMAN 7 Mataram Baiq Nuril Maknun. Mereka memohon amnesti kepada Presiden RI Joko Widodo.
Gerakan ini dimulai sejak Mahkamah Agung (MA) memvonis Nuril hukuman enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta. Padahal, Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Nuril bebas atas dakwaan melanggar Undangan-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Keputusan itu disebut didukung keterangan ahli Teguh Arifiyadi, Kepala Subdit Penyidikan dan Penindakan pada Direktorat Keamanan Informasi Kemenkominfo.
"Menurut Subdit IT dan cybercrime Ditpideksus Bareskrim Polri bukti rekaman tidak dapat dipastikan validitasnya. Putusan majelis hakim MA kegagalan melihat Nuril sebagai korban pelecehan seksual," ujar salah satu perwakilan koalisi, Direktur Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, Senin (19/11).
Ahli dari Komisioner Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sri Nurherwati, tutur Erasmus, juga menyatakan Nuril berhak merekam pembicaraan bersama mantan atasannya, eks Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim.
Muslim sebab ia korban kekerasan seksual di tempat kerja.
Erasmus menginisiasikan petisi melalui change.org guna meminta Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Nuril. Dalam sehari, 80 ribu orang mendukung petisi itu.
Pemberian amnesti, kata Erasmus, dinilai bukan bentuk intervensi presiden atas hukum. Hal itu, sambungnyam, tercantum dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
"Perlu kami tegaskan amnesti bukan bentuk intervensi presiden terhadap proses peradilan pidana. Melalui amnesti, presiden menegaskan komitmen melindungi perempuan dari kekerasan," ucap Erasmus.
Sementara itu di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril didampingi kuasa hukumnya mendatangi Mapolda NTB guna melaporkan Muslim.
Muslim adalah sosok yang memidanakan Baiq lantaran rekaman perbincangan telepon dirinya dengan sang bawahan menyebar. Dalam rekaman tersebut, Muslim membicarakan perihal hubungan seksual dengan bukan istrinya lewat telepon ke Baiq.
Pada putusan tingkat pertama, majelis hakim PN Mataram yang terdiri atas Albertus Usada, Ranto Indra Karta, dan Ferdinand M Leander memutuskan Baiq Nuril bebas karena tidak terbukti bersalah seperti yang didakwakan jaksa penuntut umum pada 12 Juni 2017.
Namun, jaksa penuntut umum Ida Ayu Putu Camundi Dewi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis hakim kasasi yang terdiri atas Sri Murwahyuni, Maruap Dohmatiga Pasaribu, dan Eddy Army memutuskan sebaliknya.
Dalam vonis yang diputuskan 26 September 2018 itu, Baiq dinyatakan bersalah dan divonis enam bulan penjara serta pidana denda Rp500 juta.
Selain melaporkan balik Muslim ke polisi, tim pengacara Baiq Nuril mengaku pihaknya melakukan segenap cara untuk membebaskan kliennya. Pertama adalah rencana pengajuan Peninjauan Kembali (PK), meminta penundaan eksekusi ke Kejaksaan Agung, dan juga memohon amnesti kepada Presiden RI Joko Widodo.
(chri/kid/inf)