Presiden Joko Widodo bertemu Satuan Detasemen Jala Mengkara (Paskhas) TNI
JAKARTA - Dalam satu mingggu terakhir , dunia mencatat bertebarnya terror di sejumlah daerah di Indonesia, khususnya wilayah Jawa Timur dan Riau yang memakan korban baik pelaku, masyarakat maupun aparat. Berkali kali Presiden mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak takut menghadapi terror, yang akhirnya diikuti dengan menyetujui pengaktifan pasukan Komando Operasional Khusus Gabungan – KOOPSUSGAB. Pasukan yang disebut super elite bernama Komando Operasi Khusus Gabungan TNI, berisi tiga unsur yakni Sat-81/Gultor dari Kopassus TNI AD, Detasemen Jala Mengkara atau Denjaka dari TNI AL, dan Satbravo '90 Korphaskhas dari TNI AU.
Catatan redaksi menyebutkan Koopssusgab diresmikan Panglima TNI di Monas Jakarta pada 9 Juni 2015 oleh Panglima TNI yang kala itu dijabat Moeldoko, dan sekarang menjabat Kepala Staf kepresidenan. Persetujuan Presiden tentang Koopssusgab, seolah mengaktifkan tombol pasukan itu untuk bergerak memburu teroris yang sudah membentuk akar atau sel jaringan jaringan. Satu lagi catatan redaksi yang patut kita ungkap lagi dari peristiwa kerusuhan di Rutan Mako Brimob beberapa hari lalu adalah pernyataan Menteri Pertahanan Wiranto yang menyebut nya sebagai pembelajaran, yang artinya sangat luas untuk dikupas, namun ujungnya adalah kewaspadaan.
Pertanyaannya adalah bagaimana seluruh elemen eksekutif, legislatif dan yudikatif menindak lanjutinya, agar pembelajaran dan kewaspadaan mampu digerakkan secara prefentif dan represif menghadapi teroris yang semakin kejam, dengan menjadikan anak anak sebagai pelaku. Sudah cukup lama pembahasan revisi Undang Undang terorisme bergulir, namun belum juga tuntas, menyusul tumbuhnya kasus kasus baru terorisme.
Demikian halnya dengan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sempat menjadi polemik berkaitan dengan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pengerahan kekuatan TNI, pada pasal 17 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia diatur bahwa presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR bila hendak mengerahkan kekuatan TNI. Bahkan dalam keadaan memaksa saat menghadapi ancaman militer, pengerahan kekuatan TNI harus dihentikan bila DPR tidak menyetujuinya, sebagaimana diatur pada pasal 18 .
Jika DPR merasa pengaktifan pasukan Koopsusgab belum disampaikan pemerintah secara resmi kepada DPR, akankah DPR menghentikan pelibatan TNI, sementara fakta, keadaan dan situasi di masyarakat menunjukkan semakin terkuaknya sel sel jaringan teroris. Ini perlu kearifan .
Mau tidak mau dan menjadi kewajiban Negara untuk hadir melindungi rakyatnya, dengan mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki, tanpa harus diikuti bertebarnya polemik tentang aturan antara ada dan tiada. Kewaspadaan bukan hanya bersifat sementara tatkala terjadi ketegangan seperti halnya pengungkapan sel sel teroris saat ini. Kepulangan ratusan Warga Negara Indonesia dari Suriah juga patut diwaspadai dan dipantau, tanpa harus mengurung kebebasan mereka di lingkungan masyarakat .
Kewaspadaan lingkungan menjadi catatan penting. Pengurus RT , tetangga harus berani mengidentifikasi warga tetangga yang bertingkah tidak sewajarnya sebagai tetangga yang hidup bermasyarakat di negeri ini. Keberadaan pasukan Komando Operasi Khusus Gabungan menjadi pelengkap yang hadir dalam situasi kegentingan yang memaksa, tanpa harus menyingkirkan tim atau pasukan yang selama ini memang aktif menangani terorisme. Tetapi semua elemen harus bersatu padu tanpa kegaduhan.
(as/in)