ilustrasi
Ribuan jiwa menjadi korban di Timor Leste dan Papua selama Suharto berkuasa. Kekerasan dan penindasan tak terlupakan -namun ada pula yang mengenang sisi positifnya, yang bukan sekadar pembangunan.
Begitu banyak yang sudah terjadi sejak dua puluh tahun lalu, ketika gelombang reformasi yang dipelopori mahasiswa dan pra pegiat demokrasi menjatuhkan Soeharto dari 32 tahun kekuasaan yang sebagian besar dijalankannya dengan tangan besi.
Menoleh ke belakang, orang memandang Soeharto dengan cara yang berbeda. Sebagian menganggapnya sebagai koruptor dan penindas yang seharusnya diadili sebelum meninggal. Namun ternyata banyak juga yang memandang Suharto dengan hormat dan menganggapnya sebagai tokoh yang berjasa.
Timor Leste dan Papua adalah dua kawasan yang akan selalu melihat Suharto dengan pandangan khusus.
Jose Ramos Horta: Generasi kami harus mundur dari politik sesudah pemilu ini
Hari-hari jelang Reformasi, 20 tahun lalu, dalam gambar dan catatan
Reformasi 20 tahun lalu dan sejumlah langkah mundur demokrasi Indonesia
Di Timor Leste, Suharto akan selalu dikenang sebagai tokoh yang pada tahun 1975 mengambil keputusan untuk mengerahkan tentara Indonesia meintasi perbatasan. Dan menduduki negeri itu, menyatukannya dengan Indonesia dengan kemasan 'integrasi' melalui Deklarasi Balibo.
Pemerintah Soeharto pun menjalankan apa yang dibanggakan sebagai pembangunan besar-besaran di berbagai bidang di sana, namun sebagian dengan jalan kekerasan. Sebelum akhirnya Timor Timur merdeka melalui referedum akhir tahun 1999, dan menjadi Timor Leste.
Sementara di Papua, Suharto dikenang dengan kebijakan tangan besinya dalam memadamkan gerakan kemerdekaan.
Timor Leste: Antara pembangunan dan penindasan
Siapa nyana, ada juga orang-orang, bahkan tokoh-tokoh penting dari wilayah-wilayah itu yang melihat sisi baik Soeharto.
Misalnya Jose Ramos Horta, pemenang Nobel perdamaian dan mantan presiden Timor Leste, yang kendati menyebut bahwa Suharto adalah seorang diktator, namun menurutnya Soeharto merupakan jenis yang berbeda.
"Suharto bukan tipikal diktator lama jaman dulu seperti Salazar di Portugal atau diktator negara-negara Amerika Latin," kata Ramos Horta, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Khusus Urusan Keamanan Nasional.
Menurut dia, Suharto adalah diktator yang sukses mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan perekonomian yang menjanjikan. "Suharto lebih mirip diktator di Korea Selatan," katanya kepada Ging Ginanjar dari BBC Indonesia, dalam perbincangan di rumahnya di Dili.
Horta menambahkan, meski banyak jatuh korban semasa pemerintahannya, tetapi Soeharto harus dilihat secara seimbang.
Salah satu yang dicatat Ramos Horta adalah, pemerintahan Suharto mengirim begitu banyak mahasiswa untuk menimba ilmu di luar negeri. "Diktator lain tidak akan mengirim para mahasiswanya ke luar negeri," kata dia.
Menurut Horta, selain gerakan demokrasi warga sipil Indonesia yang kuat yang berpuncak pada Mei 1998, berbagai faktor seperti korupsi dan kesalahan pengelolaan ekonomi seiring dengan legitimasinya yang menurun, berkombinasi menjadi faktor kejatuhan Soeharto.
"Andai saja dia bersedia mempersingkat kekuasaannya dengan mundur lebih awal, dia bisa menjadi Bapak Modernisasi Indonesia," kata Horta.
"Tapi diktator ya memang selalu seperti itu," tambah dia.
Di lapisan lain Timor Leste, sejumlah orang mengenang Soeharto dengan cara berbeda.
Misalnya Alexander Maya, seorang petugas di sebuah kantor di Dili, yang pernah menjadi korban kekerasan.
"Saya dipukuli dan ditendang dan dissiksa oleh milisi di Elmera waktu itu. Alasannya dikarang-karang," kata Alex.
Ketika itu, katanya, sekelompok milisi Aitarak memasuki desanya mencari pelaku yang menabrak anak dari salah satu anggota milisi. Alex tidak tahu menahu namun dia diseret ke jalanan bersama sejumlah warga lain.
"Kata-kata mereka waktu itu 'Kalian itu pro kemerdekaan. Kalau macam-macam, kami bisa pukul kalian'," ujar Alex yang kini berusia 49 tahun, mengenang kejadian tersebut.
"Itu Pak Soeharto yang mengirim tentara dan membuat milisi-milisi ada di Timor Leste waktu itu," katanya.
Alex adalah satu dari ratusan ribu korban pendudukan Indonesia di Timor Leste di bawah Soeharto.
Berbagai kasus kekerasan hingga pelanggaran HAM berat terjadi di Timor Timur -saat menjadi provinsi ke 27 Indonesia 1975-1999, selama pemerintahan Suharto.
Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) mencatat terjadinya pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa, pemerkosaan atau kekerasan berbasis gender, dan pemindahan paksa.
Dalam laporan CAVR disebutkan sedikitnya 102 ribu orang Timor meninggal. Dari jumlah itu, ada lebih dari 18 ribu orang yang dibunuh atau hilang, sementara 84 ribu orang meninggal akibat kelaparan dan sakit parah.
Beberapa kasus yang dikenal luas dan menelan banyak korban antara lain penembakan di Santa Cruz, Dili pada 1991, yang membuat mata dunia terbuka. Dan kekerasan-kekerasan pasca jejak pendapat 1999 setelah para milisi mengetahui bahwa hasil referendum dimenangkan oleh pendukung kemerdekaan.
Virgilio da Silva Guterrez adalah salah satu korban lain dari tindakan sewenang-wenang aparat keamanan. Ia ditangkap dan kemudian dipenjara karena terlibat demonstrasi di Jakarta menuntut pengusutan kasus penembakan Santa Cruz 1991.
Virgilio tak menyisakan keraguan sedikit pun tentang Suharto.
"Rejim Suharto yang menginvasi dan menindas kami selama 24 tahun. Bagi saya, Suharto pada saat itu adalah musuh besar kami: dialah yang menghambat kemerdekaan kami," kata Virgilio, 47 tahun.
Hal yang sama diungkapkan warga Timor Leste lainnya, Rosa Marcal. "Dia adalah penjahat, bukan orang baik. Dia mengirim tentara banyak sekali untuk melawan rakyat Timor Leste," kata ibu berusia 64 tahun itu.
Rosa adalah seorang guru yang mengalami kekerasan tentara karena dituduh memihak Fretilin, kelompok utama gerakan kemerdekaan Timor Leste waktu itu.
Adapun Mericio Alkara, mantan aktivis mahasiswa 1998 asal Timor Leste, mengakui Soeharto berusaha melakukan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Timor Timur waktu itu.
"Kesuksesan kecil pada pembangunan fisik tidak bisa dibandingkan dengan kerusakan kemanusiaan, mental, dan lain sebagainya yang diderita rakyat Timor," kata Mericio.
Bagi Mericio, berbagai kekerasan yang terjadi di Timor Leste waktu itu bagian dari kebiajakan Suharto sebagai presiden. "Dia adalah sumber persoalan yang terjadi di mana-mana," kata Mericio yang juga lulusan Universitas Indonesia ini.
Papua: Soeharto adalah momok
Papua adalah wilayah lain di Timur yang memandang Soeharto tidak dengan kenangan manis. Soeharto pertama-tama adalah pemimpin Komando Mandala dalam Operasi Trikora, sebuah operasi militer yang dilancarkan pada tahun 1962 atas perintah Presiden Soekarno pada watu itu, untuk menyatuan Papua dengan Indonesia.
Koordinator Monitoring dan Investigasi Elsham Papua, Daniel Randongkir mengatakan, salah satu peninggalan Suharto yang membekaskan horor bagi rakyat Papua adalah kekerasan selama Papua ditetapkan sebagai Daerah Operasi militer atau DOM.
"Bagi kami rakyat Papua, Suharto adalah momok, pemimpin yang otoriter. Kami menganggap dia sebagai penindas," kata Daniel.
Tidak ada catatan pasti berapa banyak korban persis yang jatuh di Papua saat DOM diberlaukan di Papua, yang braktis bermula sejak tentara Indonesia masuk tahun 1960an, dan dicabut pada 1998, seiring jatuhnya Soeharto.
Daniel mengaku bingung dengan banyak orang yang masih merindukan jaman kekuasaan Suharto. Menurut dia, bisa saja karena memang mereka tidak mengalami kekejaman seperti yang dialami warga Papua dan Timor Leste.
Sebagaimana di Timor Leste, banyak orang di Papua yang kehilangan keluarga, karena terbunuh atau hilang, diduga oleh aparat, selama masa kekuasaan Soeharto.
Septi Meidodga, 25 tahun, adalah salah satunya.
"Paman saya Irogi Meidodga hilang sejak 1996 dan Simson Meidodga ditembak mati pada 1984," kata Septi, yang aktif di pergerakan mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura.
Sejauh ini tak ada pengusutan atas dua kasus itu, dan tak ada yang bertanggung jawab. Dalam penyesalan, Septi mengatakan abhwa satu-satunya saksi yang melihat pamannya dibawa tentara adalah neneknya, yang sudah meninggal pada 2000.
Berbagai lembaga sudah mendokumentasikan berbagai kekerasan aparat di Papua ketika Suharto berkuasa. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat juga sudah diselidiki Komisi Nasional HAM terjadi di propinsi paling timur Indonesia itu.
"Ada lebih dari 2 ribu kasus pelanggaran HAM di Papua, dengan korban jiwa diperkirakan lebih dari 3 ribu orang," kata Daniel Randongkir dari Lembaga Studi Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua.
Berdasarkan catatan Elsham Papua, hanya satu kasus yang sudah dibawa ke meja hijau. Sementara begitu banyak kekerasan terhadap arga oleh aparat keamanan belum jelas penyelesaiannya.
(investigasibbc)