Ilustrasi
Penulis: Abdallah
(Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta)
Baru-baru ini kita masygul dengan sejumlah fenomena kekerasan yang terjadi secara beruntun, serangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB. Sebelumnya kita digegerkan dengan serangan narapidana terorisme terhadap aparat kepolisian di Rutan Mako Brimob, Depok.
Disusul peristiwa bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Tragedi berdarah itu semakin menguatkan ideologi radikalisme yang mengarah pada kekerasan semakin terpapar di tengah masyarakat.
Peristiwa itu menuai perdebatan. Sebagian kalangan keberatan tindakan kekerasan itu disematkan pada agama karena tidak ada kaitannya dengan pesan keagamaan. Secara normatif pandangan itu benar. Kendati demikian, pada praktiknya radikalisme merupakan konsekuensi dari cara pikir keagamaan yang skripturalis dan fundamentalis.
Pemahaman keagamaan model ini melihat agama tercerabut dari konteks, yang pada gilirannya kehilangan epifani Ilahi yang menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan yang damai, inklusif, dan human.
Kita tidak bisa menutup mata, sasaran dari aksi kekerasan yang terjadi ialah anak-anak muda bahkan perempuan. Studi-studi menunjukkan fakta memilukan, kalangan anak muda terpapar pandangan yang cenderung mengarah pada kekerasan. Survei yang dilakukan Wahid Institute (2016), sebanyak 60% aktivis rohaniwan islam (rohis) menyatakan bersedia jihad ke wilayah konflik seperti Suriah, 10% mendukung serangan bom di Thamrin, dan 6% memberikan dukungan pada Islamic State (IS).
Temuan teranyar dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2017) mengonfirmasi bahwa siswa dan mahasiswa terpapar radikalisme. Sekitar 58% memiliki opini radikal, 51,1% opini intoleransi di kalangan internal muslim, dan 34,4% beropini intoleransi di kalangan eksternal muslim.
Pandangan-pandangan radikal di kalangan muda itu seperti 'api dalam sekam' yang sewaktu-waktu akan menjadi lahan subur dan pemantik kekerasan di masa yang akan datang.
Berebut narasi
Dalam konteks Indonesia yang multikultural, pendidikan agama merupakan instrumen penting dalam menyuarakan keagamaan yang damai, inklusif, dan berkeadaban. Melalui kurikulum nasional, semestinya keagamaan yang moderat dapat disuarakan di kalangan anak muda melalui pendidikan di sekolah. Pemerintah seyogianya lebih serius dalam melihat hal ini karena merupakan hulu persoalan.
Pemahaman keagamaan generasi mendatang bertumpu pada pendidikan agama di sekolah yang memungkinkan peserta didik mengenal agama secara mendalam melalui buku ajar dan guru agama. Namun, kurikulum mata pelajaran agama yang disediakan di sekolah seyogianya mengakomodasi semua pandangan, dalam hal ini pendidikan agama Islam.
Kurikulum dan buku ajar merupakan aspek penting dalam pendidikan. Buku ajar adalah arena pergumulan perebutan pengaruh pelbagai kelompok, tak terkecuali kelompok-kelompok Muslim. Semua kelompok saling berebut pengaruh untuk berupaya memengaruhi orientasi pendidikan dengan ideologi mereka masing-masing (Apple: 2000).
Perebutan pengaruh itu kerap memicu ketegangan di antara satu kelompok dengan kelompok lain dan rentan terjadi konflik. Dalam konteks RI yang secara kodrati multikultural, kurikulum pendidikan nasional semestinya dirumuskan dengan melibatkan semua kelompok dan disusun secara inklusif, deliberatif, dan dialogis (Gutman: 1987).
Namun, praktiknya hal itu tidak berbanding lurus dengan realitas pendidikan kita. PPIM UIN Jakarta (2016) dalam studinya menemukan kejanggalan dalam kurikulum pendidikan agama: buku ajar di sekolah masih kurang mengedepankan aspek dialogis dan perbedaan (khilafiah).
Term kafir dan musyrik, misalnya, masih dihadirkan secara literal, tidak diperkaya dengan konteks term itu lahir pada saat apa dan bagaimana. Seyogianya, term-term yang bernuansa teologis itu dikaitkan dengan konteks kekinian. Hal paling penting ialah memaknai jihad, misalnya, apa dan bagaimana di masa kini, agar tidak melulu ditafsirkan dengan perang secara generik. Jika pelajar di sekolah disediakan pemahaman yang beragam, diharapkan mereka akan berpikir secara terbuka dan bersikap bijak melihat perbedaan.
Hal yang tak kalah penting, guru agama yang semestinya memiliki wawasan keagamaan yang inklusif dan pandangan kebangsaan yang ajek. Guru agama diharapkan mampu menghadirkan Islam Indonesia yang ramah dan toleran. Namun, kita juga dikejutkan dengan fakta di lapangan. Studi PPIM UIN Jakarta (2016) lagi-lagi menjelaskan guru agama memiliki pandangan keagamaan dan kebangsaan yang paradoks.
Pada satu sisi, guru agama mengaku setuju dengan Indonesia yang Pancasila dan UUD 1945. Di sisi lain, mereka juga mengharapkan syariat Islam diterapkan di RI. Fakta-fakta itu semakin menggiring pada satu pertanyaan besar, "Mau ke mana pendidikan agama kita?"
Arah pendidikan agama semestinya dijangkarkan pada tiga nilai, pertama, kita tahu, RI merupakan bangsa yang secara kodrati ialah majemuk. Pendidikan agama di sekolah seyogianya mengakomodasi nilai-nilai keragaman. Konten buku ajar agama, misalnya, mesti menghadirkan keragaman pandangan dari semua kelompok bukan hanya menyajikan pandangan keagamaan tertentu yang mengarahkan peserta didik menjadi homogen dan eksklusif.
Kedua, kurikulum pendidikan agama diarahkan pada nilai kritis. Konsekuensi dari keragaman ialah cara pikir yang terbuka dan mendorong peserta didik untuk berpikir kritis. Artinya, peserta didik mampu berpikir secara dialogis yang pada gilirannya bermuara pada nilai toleransi yang menghargai satu sama lain dan mampu melihat perbedaan sebagai suatu kemestian tanpa merasa terganggu.
Ketiga, kurikulum pendidikan agama idealnya dikemas dengan nilai-nilai bersama. Kejujuran, keadilan, dan kebaikan. Nilai-nilai inilah yang menjadi titik temu terbukanya sekat-sekat primordial, suku, ras, dan agama.
Pada kadar yang lain, nilai-nilai bersama dapat dimaknai bahwa RI ialah bangsa yang multikultural di bawah payung NKRI dan Pancasila. Maka akan tercipta pergaulan yang mengarah pada satu titik, kemanusiaan dan keindonesiaan. Di titik ini, pendidikan agama diharapkan dapat menghapus indoktrinasi dan hegemonisasi dalam dunia pendidikan seperti yang dibayangkan Bung Karno, "Bertuhan dengan tanpa egoisme agama dan berkeadaban." (****)