Penulis: Nyarwi Ahmad Dosen Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Yogyakarta.
Selama beberapa tahun terakhir, kata ‘populism(e)’ meramaikan diskursus politik di berbagai negara demokrasi. Framing negatif terhadap fenomena populisme dan juga stigma terhadap aktor-aktor dan organisasi politik menjadikan populisme ‘hantu’ menakutkan. ‘Populism(e)’ sebenarnya bukan hal baru dalam literatur komunikasi (dan) politik. Namun, istilah ini makin populer ketika kelompok Brexit memenangi referendum di UK pada 23 Juni 2016 dan Trump memenangi pilpres di AS pada 8 November 2016 lalu.
Istilah ini juga kian populer di RI, khususnya menjelang Pilkada DKI 2017 lalu. Setelah ‘peristiwa 212’, populisme dikaitkan dengan fenomena gerakan kelompok Islam dan kekhawatiran menguatnya Islamisme di RI. Apa itu populisme dan seberapa besar kemungkinan dampak negatifnya terhadap sistem demokrasi, termasuk yang ada di Indonesia?
Dua bentuk populism
Populisme dapat mewujud dalam dua jenis. Pertama, populisme sebagai ideologi tidak hanya menempatkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kepentingan rakyat di atas segala-galanya, tetapi juga menganggap bahwa nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kepentingan itu telah dicederai elite-elite dan organisasi-organisasi politik yang berkuasa.
Para penganut populisme itu juga berkeyakinan (atau digiring dengan keyakinan) bahwa para pendukung elite dan organisasi-organisasi itu telah melahirkan sistem politik dan pemerintahan yang oligarkis, eksploitatif, dan menyengsarakan mereka (Canovan, 1999; Mudde, 2004).
Atas dasar logika itu, tidak mengherankan jika populisme sebagai ideologi politik dengan mudah menyatu dengan basis ideologi lain, seperti nasionalisme, fasisme, dan mengisi basis ideologi lainnya yang dibangun atas dasar politik identitas (Canovan, 1999: 5-6; Mudde, 2004: 544).
Sebagai sebuah ideologi, populisme melahirkan logika tertutup dan antagonistik. Para penganut populisme memandang masyarakat dalam dua kelompok besar, yaitu mereka yang proelite dan penguasa sebagai musuh mereka dan mereka yang antielite dan penguasa sebagai kawan mereka (Reinemann, et al, 2016: 21-23).
Para penganut ideologi populisme tidak mengenal dan mengakui kaum ‘moderat’ yang tidak anti maupun pro terhadap elite/penguasa. Mereka akan mereproduksi narasi dan diskursus politik yang ‘memaksa’ para kaum ‘moderat’ tersebut untuk memilih, apakah menjadi ‘pendukung’ atau ‘musuh’ elite dan penguasa tersebut.
Dalam situasi yang seperti ini, menguatnya jumlah penganut populisme—apa pun (basis) ideologi yang dianutnya secara otomatis berkorelasi positif dengan menguatnya polarisasi politik. Kedua, populisme juga mewujud sebagai metode, strategi, dan taktik dalam komunikasi politik (Moffitt & Tormey, 2004: 386-394; Waisbord & Amado, 2017: 1331). Dalam hal ini populisme merupakan salah satu jenis taktik dan strategi kampanye dan komunikasi politik yang mengeksploitasi isu-isu politik identitas dan berbasis retorika politik yang vulgar, kasar, dan emosional yang ditunjukan kepada siapa pun yang dianggap sebagai musuh (Block & Negrine, 2017: 181-183).
Mereka yang menggunakan metode, strategi, dan taktik itu pada umumnya membungkus dan menyampaikan pesan-pesan politik lebih sederhana, populer, dan familier, dengan target sasarannya mengembangkan model komunikasi storytelling, mengeskpresikan pesan-pesan dirinya dan gaya personalnya secara vulgar dan informal, juga menggunakan pesan-pesan politik yang agresif dan provokatif secara intensif (Engesser et, al. 2017. Erns et, al. 2017; Bracciale & Matella, 2017).
Problem struktural
Foa and Mounk (2016: 7) meyakini bahwa menguatnya gelombang populisme tidak lepas dari kegagalan aktor-aktor dan lembaga-lembaga politik dalam mengantisipasi problem struktural yang mendegradasi eksistensi sistem demokrasi (liberal) sebagai berikut. Pertama, meningkatnya sinisme terhadap kinerja sistem politik dan pemerintahan yang dihasilkan melalui mekanisme dan berbasis pada prinsip-prinsip demokrasi.
Kedua, menurutnya tingkat kepercayaan publik/pemilih terhadap institusi politik, partai, parlemen, dan pemerintahan. Ketiga, meningkatnya tren dukungan publik/pemilih terhadap para aktor dan institusi politik yang meneriakkan pesan-pesan antielite/penguasa baik berbasis sentimen kelas, ras/suku, dan agama.
Di samping memiliki banyak varian, demokrasi sebagai sebuah sistem yang menawarkan model kompetisi dan pengelolaan politik dan pemerintahan bukanlah sistem yang sempurna. Dari varian yang ada, sistem demokrasi liberal dianggap sebagai model terbaik yang mampu menggaransi proses pengurangan (bukan penghilangan) masalah ketidakadilan sosial, ekonomi, politik, dan budaya, juga mengoreksi kebijakan-kebijakan politik yang membahayakan kepentingan rakyat/pemilih dan menggantisipasi menguatnya korupsi dan penyalagunaan kekuasaan (Diamond, 1999: 18).
Secara normatif, sistem demokrasi liberal merupakan sistem politik yang dipercaya sebagai sebuah sistem yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan mewujudkan model pemerintahan akuntabel dan transparan. Namun, sistem ini juga mengandung sejumlah problem internal (Schmitter, 1994). Pertama, dalam sistem ini tidak ada mekanisme resmi bagaimana mengatasi proses reproduksi kekuatan oligarki dan ketertutupan model mekanisme rekrutmen, dan pengambilan keputusan cenderung dilakukan oleh dan yang menguntungkan elite berkuasa.
Kedua, dalam sistem ini juga tidak ada cara alternatif bagaimana mengantisipasi banyaknya ‘free-rider’ yang mengambil beragam keuntungan di balik proses demokrasi dan mengantisipasi sekelompok kecil elite yang ‘membajak’ otoritas institusi-institusi politik dengan mengatasnamakan rakyat, tetapi hanya untuk mencapai tujuan dan kepentingan dirinya dan kelompoknya itu (Schmitter, 1994: 62-63).
Tanggung jawab aktor dan lembaga politik
Di tengah menguatnya gelombang populisme, kelemahan sistem demokrasi liberal di atas makin nyata. Populisme sebenarnya anak kandung demokrasi. Keberadaannya bisa mengoreksi dan menutupi kelemahan intrinsik dari sistem demokrasi, dan menjadi modal mengatasi problem struktural demokrasi. Namun, menguatnya gelombang populisme yang tanpa arah bisa membahayakan sistem demokrasi dan masyarakat demokratis.
Melihat kondisi itu, tentu mustahil jika kita mengharapkan agar sistem itu mampu mengoreksi dirinya sendiri. Harapan kita hanya bisa tertuju pada para elite dan pemimpin lembaga politik. Kendati demikian, hal ini juga sulit terjadi jika mereka lebih peduli pada nasib dan kepentingan politiknya jika dibandingkan dengan agenda kolektif untuk menjadikan sistem demokrasi lebih sempurna.
******