Calon Wakil Gubernur NTT, Ir. Emilia Julia Nomleni (tengah)
ALOR - Waktu hampir tengah hari. Walau panas, keadaan di Pelabuhan Alor Kecil yang terletak di Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, NTT, terlihat berangin dan berombak.
Situasi kurang bersahabat ini membuat banyak orang ragu dan berpikir berkali-kali sebelum memutuskan melakukan penyeberangan ke pulau Pantar.
Namun keadaan di pelabuhan laut yang indah namun berombak ini tidak membuat Cawagub NTT, Emellia Julia Nomleni, ragu.
Dengan penuh ketenangan, Mama Emi, sapaan Emellia, melangkah ke dalam sebuah kapal perahu berukuran kecil. Ombak tidak menyurutkan niat Mama Emi bersama rombongan untuk menemui warga Kecamatan Pantar Timur di Pulau Pantar.
"Kita tetap berangkat. Warga sudah menunggu," kata Mama Emi, Minggu (13/5).
Perlahan-lahan, perahu melaju dan menabrak ombak tanpa keraguan dan ketakutan. Seperti sebuah kayu kering yang dilepaskan begitu saja ke tengah samudra.
Di atas perahu, 22 orang duduk tenang, membiarkan tubuh bergerak mengikuti gerakan perahu karena terombang-ambingkan gelombang.
Mama Emi sesekali mengambil selendang yang terletak di pundak dan menutup kepalanya. Karena gelombang yang cukup besar, air laut kadang terjiprat dan mengenai tubuh Mama Emi. Tatapannya lurus ke depan, memandang Pulau Keba yang tampak diam namun anggun.
Makin jauh dari pelabuhan, gelombang makin keras menghantam dinding perahu.
"Mau mati di tempat tidur, di tengah laut, di mana saja, Tuhan sudah atur," ucap seorang ibu bertubuh gemuk yang duduk tak jauh dari Mama Emi.
Untuk beberapa puluh menit, gelombang masih kuat menghantam dinding perahu. Dari atas perahu, kita bisa menjulurkan tangan dan menepuk-nepuk air laut.
"Ini ombak gila," keluh seorang lelaki berjaket hitam yang sibuk memotret laut dan pemandangan di Pulau Keba.
Perjalanan penuh gelombang ini bukanlah tanpa sebab. Warga di Kecamatan Pantar timur, Pulau Pantar, memiliki beberapa persoalan yang patut menjadi catatan bagi para pemimpin ataupun calon pemimpin.
"Infrastruktur jalan di wilayah kami masih buruk," ujar Imanuel Maudolu (27), warga Desa Abangiwang, Kecamatan Pantar Timur, yang sekapal dengan Mama Emi.
Imanuel berkisah, ruas jalan yang membelah wilayah mereka berstatus jalan provinsi.
"Tapi buruk dan butuh perbaikan. Ini agak beda jika kita melewati jalur jalan menuju perbatasan Timor Leste. Beda. Jalan ke arah sana lebih bagus," ujarnya.
Ima, sapaan Emanuel, berkisah bahwa di wilayah mereka juga terdapat banyak guru honorer yang dibayar dengan sangat murah. "Sebulan dapat Rp 300 ribu," ujarnya.
Hampir dua jam perahu yang ditumpangi Mama Emi menerjang gelombang. Mendekati pantai Pulau Pantar, laut mulai tenang. Di pelabuhan yang terletak di Desa Kaleb, warga Pulau Pantar sudah bergerombol menunggu kedatangan Mama Emi.
(red/inf)