Pelebon Raja Peliatan IX di Ubud
Kehidupan manusia merupakan berkah dari Tuhan yang wajib disyukuri, begitu pula kematian sudah semestinya tidak perlu ditakuti namun selayaknya disyukuri juga.
Seseorang memberitahu saya mungkin perlu untuk menggoreskan pena selama meliput Pelebon Dwagung Puri Agung Peliatan di Ubud, Bali. Ini juga sekaligus memberi perspektif lain dari sebuah travel on mission yang perlu dibudayakan sekarang ini.
Kami memulainya dari Ubud, sebuah kota tenang penghenti detik waktu, tempat dimana karya seni tumbuh dan dibawa hingga ke puncaknya. Meski sedemikian sibuknya, di Ubud itu waktu seolah terhenti untuk kami, sebuah suasana yang akan saya sangat rindukan nantinya.
7 hari di Bali membawa kami melihat entah berapa banyak pura, bau dupa dan kembang sesajen yang ada setiap sepuluh langkah, juga sesawahan yang terangkai seperti untaian mutiara hijau, tidak pula lupa menikmati beragam jenis karya seni dari tangan-tangan terampil manusia Ubud.
Kami meresapi sedalam-sedalamnya budaya masyarakat Bali yang terstruktur dalam budaya dan seni yang fungsional bagi agama mereka. Sehari-hari mengenakan udeng dan kain Bali, serasa hampir benar-benar menjadi orang Bali. Seikat udeng yang membuat kami saat berkendara motor tidak perlu mengenakan helm seperti di kota besar.
7 hari bekerja bersama dengan Angke, Mita, dan Foren. Meliput kremasi Sang Raja Peliatan yang pernah memimpin sebuah kerajaan yang namanya barangkali tidak setenar Ubud. Kami menikmati hari-hari sebagai "wartawan perang". Melebur bersama keluarga kerajaan. Berada di garis depan merekam aktivitas mereka hingga hari dimana tubuh sang raja diantar ke Nirwana dengan api membara yang melumat habis karya monumental.
Upacara Pelebon Jenazah Ida Dwagung, Raja Peliatan Raja Peliatan IX digelar oleh Puri Agung Peliatan dengan puncaknya pada Selasa, 2 November 2010. Pelebon sendiri adalah upacara pembakaran jenazah bagi umat Hindu di Bali atau sering juga disebut ngaben untuk kalangan rakyat biasa. Upacara ini merupakan sebuah kewajiban pemeluk Hindu di Bali dan memiliki peran penting untuk menghormati mereka yang berpulang agar mendapat tempat yang baik di alamnya serta kelangsungan hidup di masa mendatang.
Kematian sesungguhnya bukanlah akhir, tetapi awal. Lebih penting lagi cara hidup seseorang dan bagaimana harapan keluarga yang ditinggalkan setelah kematian datang.
Beberapa waktu sebelum upacara pelebon, keluarga mendiang akan dibantu oleh masyarakat untuk membuat bade, naga banda, dan lembu sebagai tempat mayat untuk pelebon. Karya monumental yang akan dibakar itu dibuat dengan sangat megah terbuat dari bahan kayu, gabus, kertas dan kain berwarna-warni, serta bahan-bahan pembentuk lainnya. Percayalah! Tidak sedikitpun raut-raut wajah pengrajin handal ini menyayangkan aatau bersedih saat karya-karya mereka hangus terbakar di hari kremasi dilakukan.
Saat harinya tiba, keluarga dan masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan atau yang biasa disebut nyiramin dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua dalam masyarakat. Setelah itu, mayat akan dikenakan pakaian adat Bali layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa agar arwah memperoleh tempat yang baik.
Tubuh seseorang hanyalah wadah bagi jiwanya. Saat seseorang meninggal maka atma atau jiwa tetap di sekitar tubuh.
Setelah semuanya siap maka mayat akan ditempatkan di bade untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara pelebon. Arak-arakan ini diiringi dengan gamelan khas Bali, kidung suci, dan diikuti oleh seluruh anggota keluarga dan masyarakat.
Di setiap pertigaan atau perempatan jalan, bade akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya di pura agung, upacara pelebon dilaksanakan dengan meletakkan mayat di lembu yang telah disiapkan. Sebelumnya diawali dengan upacara-upacara dan mantra dari pedanda. Selanjutnya lembu dibakar hingga menjadi Abu. Abu inilah yang kemudian dibuang ke laut sebagai air suci.
Meliput upacara pelebon atau kremasi khusus bagi seorang raja telah memberi pengalaman mengesankan. Bukan hanya karena upacara pelebon sangat langka karena seorang raja yang dikremasi (tidak setiap tahun seorang raja akan mati bukan!), melainkan saya sekali lagi mendapatkan persfektif baru tentang budaya dan keyakinan dari masyarakat Hindu-Bali.
Tujuan pelebon adalah membebaskan roh (atma) dari kehidupan duniawi yang seterusnya akan bereinkarnasi menuju kehidupan berikutnya. Setelah itu, mempercepat kembalinya jasad menuju lima unsur pembentuk yang terdiri dari pertiwi (tanah), apah (api), teja (air), bayu (udara) dan akasa (ruang), semuanya akan dikembalikan dan menyatu dengan Sang Pencipta.
Selepas dari Bali, saya juga akan merindukan kebaikan keluarga Ibu Kiki di Ubud Bali. Seorang seniman lukis dari keluarga Afandi yang telah merelakan ruangan bale terbuka di rumahnya dijadikan basecamp kami selama liputan. Mereka menyiapkan makanan hingga kami berpikir tempat itu layak disebut homestay berbintang. Oya juga anjing keluarga mereka yaitu Sigi yang selalu ada di sekitar kami saat bekerja di sana. Foto perpisahan menjadi kenangan mengesankan, mengingatkan saya ada rumah galeri seni lukis "Mai Mai" yang harus dikunjungi saat bertandang kembali ke Bali.
(him/indo)