Dino Patti Djalal
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal
menilai Indonesia semakin aktif di tahun ketiga pemerintahan Presiden
Joko Widodo. Keaktifan dilihat dari konteks regional dan global.
"Dahulu ada pandangan bahwa Jokowi pada awal
pemerintahannya tidak terlalu mementingkan politik luar negeri, tetapi
yang terjadi sekarang justru sebaliknya," kata Dino seperti dilansir
Media Indonesia, Kamis 19 Oktober 2017.
Dino menjelaskan, Indonesia memiliki tanggung jawab
historis dalam mengimplementasikan kebijakan politik luar negeri bebas
aktif yang sangat relevan pada era pascaperang dingin. Prinsip bebas
aktif yang dianut Indonesia membuka ruang manuver lebih luas untuk
berhubungan dengan negara besar dan kecil.
"Namun, bebas aktif saja tidak cukup. Kita harus lebih
kreatif dalam konten dan kepemimpinan untuk memastikan apakah Indonesia
bisa menjadi pemain dalam mewujudkan perdamaian dan kerja sama
internasional," tutur dia.
Wakil Menteri Luar Negeri era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono itu juga menyoroti peran Indonesia di ASEAN sebagai negara
yang secara alami telah diakui kepemimpinannya. "Kebijakan Indonesia
terhadap ASEAN benar-benar menjadi tulang punggung kebijakan luar negeri
kita."
Pada masa depan, Indonesia perlu menerapkan strategi
geopolitik yang berorientasi pada peluang seiring kembali munculnya
globalisasi sebagai isu politik di negara berkembang dan negara Barat.
Selanjutnya, kebijakan di bidang pariwisata, pendidikan, dan perdagangan
harus mampu memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan nasional seperti
meningkatkan jumlah kunjungan turis asing, mengirim siswa Indonesia
untuk belajar di luar negeri, dan menerapkan perdagangan bebas.
"Intinya apakah kita berani bersaing dan memanfaatkan semua
peluang ini. Indonesia perlu keberanian melakukan reformasi untuk bisa
menjadi pemain penting di pentas global," ucap Dino.
Sorotan media asing
Hasil riset Indonesia Indicator (I2) menyebut kinerja
pemerintahan Jokowi yang telah melewati tahun ketiga tidak pernah lepas
dari sorotan media internasional. Bahkan, kebijakan politik, keamanan,
dan ekonomi mendominasi isu pemberitaan media asing.
"Isu ekonomi relatif lebih banyak mendapatkan sorotan dalam
sisi netral dan positif, isu politik keamanan ada beberapa hal yang
masih memperoleh framing negatif," ujar Direktur Komunikasi Indonesia
Indicator (I2) Rustika Herlambang saat merilis hasil riset bertajuk
Rapor Merah Rapor Biru Jokowi: Kajian Analisis Media Asing Berbahasa
Inggris, kemarin.
Menurutnya, kebijakan perekonomian Jokowi merupakan sisi
yang mendapat sorotan tanpa putus sepanjang setahun terakhir. Persepsi
media asing terhadap aspek ekonomi yang terkait dengan Jokowi relatif
lebih baik dan netral.
Sementara itu, berdasarkan judul pemberitaan di media
asing, masalah politik dan keamanan merupakan salah satu sisi yang masih
diberi rapor merah. Isu-isu politik yang dinilai negatif antara lain
kemunculan kelompok radikal yang dikhawatirkan mengusung pandangan
intoleransi. "Isu tersebut sangat mengkhawatirkan pihak asing."
Sejumlah indikator menunjukkan bahwa politik luar negeri RI
dalam kemepimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berorientasi ke
dalam atau "inward looking" sepanjang dua tahun masa jabatannya mulai
menunjukkan hasil.
Penanaman modal asing pada sektor prioritas, seperti
infrastruktur, indikator yang diharapkan berubah drastis oleh pendekatan
politik luar negeri berorientasi ke dalam, kini tumbuh hampir dua kali
lipat dibanding periode kekuasaan sebelum Jokowi.
Berbeda dari pendahulunya, yakni masa mantan presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, yang selalu aktif di panggung internasional
untuk menyelesaikan persoalan global, Jokowi lebih banyak menghabiskan
waktu untuk membangun hubungan dengan negara-negara yang dinilai bisa
menguntungkan Indonesia secara langsung.
Salah satu contoh aktifnya Yudhoyono dalam dalam politik
global adalah insiatif penyelenggaraan forum tahunan internasional untuk
demokrasi "Bali Democracy Forum". Dia juga menggagas deklarasi kelautan
Manado yang dihadiri lebih dari 70 negara.
Kontribusi Yudhoyono pun diakui oleh dunia internasional
saat ditunjuk PBB untuk mengepalai panel tingkat tinggi yang bertugas
menentukan arah pembangunan dunia sampai tahun 2030 yang kini dikenal
dengan nama Tujuan Pembangunan Berkelanjutan--"Sustainable Development
Goals." Sementara itu Jokowi tampak tidak terlalu tertarik forum
normatif yang tidak menguntungkan Indonesia secara langsung, seperti
"Bali Democracy Forum".
Dalam berbagai kesempatan di forum-forum internasional,
Jokowi selalu menjajakan Indonesia baru yang lebih bersahabat bagi
investasi asing dan lebih terbuka terhadap perdagangan internasional,
sekaligus menawarkan proyek-proyek infrastruktur besar sebagai penopang
ekonomi dalam negeri.
Dalam pertemuan G20 di Australia tahun 2014, Jokowi
menjanjikan reformasi birokrasi yang akan memudahkan pihak asing memulai
usaha. Lalu tahun berikutnya, dia mengunjungi China dan Jepang untuk
kemudian pulang membawa perjanjian investasi senilai lebih dari 70
miliar dolar AS.
Tujuannya pragmatis; (1) menarik modal asing masuk ke
Indonesia yang kemudian akan (2) menciptakan lapangan pekerjaan sehingga
memicu pertumbuhan ekonomi. Inilah yang disebut para pengamat sebagai
politik luar negeri berorientasi ke dalam.
Orientasi ini terlihat dalam sikap Jokowi yang tidak ragu
berselisih dengan negara-negara besar jika kepentingan nasional
Indonesia terancam, --kontras dengan Yudhoyono yang mengusung slogan
"seribu kawan, tanpa musuh".
Jokowi membiarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti membakar kapal-kapal penangkap ikan asing yang beroperasi
ilegal di Indonesia, meski kebijakan itu berpotensi memunculkan
ketegangan internasional.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah
menyesuaikan arah kebijakannya dengan visi Jokowi. Dia membentuk "gugus
tugas diplomasi ekonomi" yang dikepalai oleh wakil menteri. Orientasi ke
dalam juga tampak dalam laporan capaian diplomasi internasional yang
menekankan pada keberhasilan pembentukan pusat data bagi lebih dari
2.700.000 tenaga kerja Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan
perlindungan bagi mereka.
Di dalam negeri, Jokowi telah menyesuaikan visi itu dengan
sejumlah kebijakan, di antaranya adalah deregulasi dan revisi datar
negatif investasi.
Untuk deregulasi, Jokowi telah berhasil memangkas proses
perizinan usaha yang sebelumnya bisa berlangsung lebih dari dua tahun
menjadi hanya beberapa bulan. Sementara dari sisi daftar negatif
investasi, Jokowi membuka sektor-sektor yang sebelumnya tertutup menjadi
terbuka untuk modal asing.
(Sumber: Metrotvnews dan Palapapos)