Ilustrasi
INDOPOST, JAKARTA - Ada sebuah keironian dalam pembangunan infrastruktur nasional. Pemerintah yang tenga gencarnya membangun terkendala dalam pembebasan lahan. Anehnya lahan yang dibebaskan milik negara sendiri, yakni lahan PTPN. Kendalanya, kendati lahan itu milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun di atas tanah itu terdapat penggarap yang mengolah lahan tersebut.
Kejadian ini terdapat di Medan Sumatera Utara (Sumut). Yang mana
lahan itu akan digunakan untuk kelanjutan pembangunan jalan tol
Medan-Binjai.
Menteri BUMN Rini Soemarno menuturkan, dalam perkembangan pembangunan
jalan tol Medan-Binjai ada sejumlah kendala dalam pembebasan lahan
untuk di seksi I (Tanjungmulia-Helvetia).
Kendala itu, yakni pembebasan lahan yang dimiliki oleh PTPN dengan
status tanah negara. Bila mengacu pada aturan yang ada, maka tanah
tersebut seharusnya cuma perlu mengurus persetujuan Menteri BUMN dan
langsung bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur. Akan tetapi
kenyataannya, ternyata ada kendala yang mengakibatkan proses pembebasan
lahan tidak bisa berjalan.
"Jadi ini lahannya punya PTPN, sudah dibebaskan, namun rupanya masih ada penggarap lahan yang perlu dibebaskan lagi lahannya," kata Rini seperti dilansir Sumut Pos, Kamis (6/4).
Kondisi ini membuat Rini menjadi kaget. Dia merasa heran kenapa warga bisa menggarap tanah negara, tetapi tetap meminta ganti rugi saat tanah akan digunakan untuk membangun infrastruktur. "Jadi mereka minta garapannya itu harus diganti juga. Meski itu lahan status milik PTPN," sebut Rini.
Hal ini membuat pemerintah kadi kesulitan melakukan pembebasan tanah. Karena warga penggarap tanah PTPN ini tak memiliki surat-surat terkait hak atas tanah mereka. Bila pemerintah memberikan ganti rugi, maka akan timbul masalah di kemudian hari. Karena ganti rugi yang diberikan tidak memiliki acuan hukum yang jelas.
Sebaliknya, bila tanah ini tidak segera dibebaskan, maka jalan tol Medan-Binjai akan terus terkendala pembangunannya. "Jadi, persoalan pembebasan lahan di Seksi I ini memang cukup rumit, sehingga masih dalam proses dan sedang kita bicarakan. Namun, untuk Seksi II (Helvetia-Sei Semayang) dan Seksi III (Sei Semayang-Binjai) saat ini sedang proses pembangunan dan kita targetkan sebelum lebaran sudah dapat digunakan oleh masyarakat,” jelasnya.
Rini menambahkan, jika dalam bulan ini pembebasan lahan untuk seksi I dapat diselesaikan, maka pembangunan sudah dapat dilanjutkan.
Sementara itu dalam progresnya, Rini menyebutkan, lahan jalan tol untuk ruas Medan-Binjai, untuk seksi I Tanjung Mulia-Helvetia panjang 6.071 Km dengan kebutuhan lahan 36,66 hektar, progres pengadaan lahannya telah mencapai 24,74 hektar (ha) atau 67,49 persen dan progress fisik 16,715 persen.
Untuk seksi II Helvetia- Sei Semayang sepanjang 9,051 Km dengan kebutuhan lahan 46,36 ha, namun progres pengadaan lahan 45,02 ha (97,11 persen) dan progress fisik 88,43 persen.
Pada seksi III, Sei Semayang-Binjai dengan panjang 10.319 km dengan kebutuhan lahan 61,04 ha dan progress pengadaan lahan 60,70 ha (99,48 persen) dan progress pembangunan fisik 86,27 persen.
Secara keseluruhan panjang luas lahan yang harus dibebaskan 25,441 ha dengan kebutuhan lahan 144,06 ha dan luas progress pengadaan tanah 130,45 Ha (90,57 persen) dengan progress fisik 57,02 persen. Pembangunan infrastruktur ini membutuhkan dana sekitar Rp 1,1 triliun.
(bal/adz/iil/indo)
"Jadi ini lahannya punya PTPN, sudah dibebaskan, namun rupanya masih ada penggarap lahan yang perlu dibebaskan lagi lahannya," kata Rini seperti dilansir Sumut Pos, Kamis (6/4).
Kondisi ini membuat Rini menjadi kaget. Dia merasa heran kenapa warga bisa menggarap tanah negara, tetapi tetap meminta ganti rugi saat tanah akan digunakan untuk membangun infrastruktur. "Jadi mereka minta garapannya itu harus diganti juga. Meski itu lahan status milik PTPN," sebut Rini.
Hal ini membuat pemerintah kadi kesulitan melakukan pembebasan tanah. Karena warga penggarap tanah PTPN ini tak memiliki surat-surat terkait hak atas tanah mereka. Bila pemerintah memberikan ganti rugi, maka akan timbul masalah di kemudian hari. Karena ganti rugi yang diberikan tidak memiliki acuan hukum yang jelas.
Sebaliknya, bila tanah ini tidak segera dibebaskan, maka jalan tol Medan-Binjai akan terus terkendala pembangunannya. "Jadi, persoalan pembebasan lahan di Seksi I ini memang cukup rumit, sehingga masih dalam proses dan sedang kita bicarakan. Namun, untuk Seksi II (Helvetia-Sei Semayang) dan Seksi III (Sei Semayang-Binjai) saat ini sedang proses pembangunan dan kita targetkan sebelum lebaran sudah dapat digunakan oleh masyarakat,” jelasnya.
Rini menambahkan, jika dalam bulan ini pembebasan lahan untuk seksi I dapat diselesaikan, maka pembangunan sudah dapat dilanjutkan.
Sementara itu dalam progresnya, Rini menyebutkan, lahan jalan tol untuk ruas Medan-Binjai, untuk seksi I Tanjung Mulia-Helvetia panjang 6.071 Km dengan kebutuhan lahan 36,66 hektar, progres pengadaan lahannya telah mencapai 24,74 hektar (ha) atau 67,49 persen dan progress fisik 16,715 persen.
Untuk seksi II Helvetia- Sei Semayang sepanjang 9,051 Km dengan kebutuhan lahan 46,36 ha, namun progres pengadaan lahan 45,02 ha (97,11 persen) dan progress fisik 88,43 persen.
Pada seksi III, Sei Semayang-Binjai dengan panjang 10.319 km dengan kebutuhan lahan 61,04 ha dan progress pengadaan lahan 60,70 ha (99,48 persen) dan progress pembangunan fisik 86,27 persen.
Secara keseluruhan panjang luas lahan yang harus dibebaskan 25,441 ha dengan kebutuhan lahan 144,06 ha dan luas progress pengadaan tanah 130,45 Ha (90,57 persen) dengan progress fisik 57,02 persen. Pembangunan infrastruktur ini membutuhkan dana sekitar Rp 1,1 triliun.
(bal/adz/iil/indo)