Penulis: Aris Santoso
Sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Muramnya Monumen Trisula Blitar bisa dijadikan tanda bahwa elemen
pendukung Orde Baru mulai melemah. Dengan kata lain, tidak cukup ruang
bagi kembalinya bayang-bayang Soeharto. Berikut opini Aris Santoso.
Dalam sebuah kerja lapangan di Blitar (Jatim) baru-baru ini, saya
sempat melintas di depan Monumen Trisula, monumen untuk
mengenang operasi pembersihan sisa-sisa gerakan PKI, di kawasan Blitar
bagian selatan, pada seputar tahun 1968-1969. Operasi ini diberi nama
sandi Operasi Trisula.
Sebagaimana umumnya sebuah monumen, yang
didirikan untuk menandai sebuah era, demikian juga dengan Monumen
Trisula, yang bisa dibaca sebagai tanda dimulainya era Orde Baru.
Fungsinya kira-kira mirip dengan Monumen Lubang Buaya di Jakarta
(Timur).
Kini monumen itu sudah terlihat kusam, dan sudah jarang
pula dikunjungi orang. Beberapa pelajar sekolah menengah di Kota
Blitar yang saya temui, umumnya sudah tidak tahu-menahu soal keberadaan
monumen itu. Lokasi monumen memang agak jauh di luar kota, sekitar 25 km
dari pusat kota, jadi masuk wilayah Kabupaten Blitar.
Kusamnya kondisi monumen, serta tidak tahu-menahunya sejumlah pelajar
di Kota Blitar, bisa jadi merupakan sinyal bahwa Orde Baru pada
dasarnya sudah menjadi masa silam. Bila pada hari-hari ini publik
politik Jakarta, tiba-tiba mengangkat wacana soal kerinduan terhadap
figur Soeharto, ibarat mimpi di siang bolong, yang sulit untuk dinalar.
Brigif 18 dan Akmil 1965
Sebagai
salah satu ikon Orde Baru, bisa jadi monumen itu sudah menjadi silam.
Namun Operasi Trisula masih meninggalkan jejak lain, yang dampaknya
masih terasa sampai jauh di kemudian hari bahkan saat ini, masing-masing
adalah Brigade Infanteri Lintas Udara 18/Trisula Kostrad (Brigif 18
Trisula) dan lulusan Akademi Militer 1965.
Brigif 18 Trisula
(markas di Malang) adalah satuan yang sengaja disiapkan untuk mengatasi
gerakan sisa-sisa PKI di Blitar Selatan. Sejak dibentuk tahun 1966,
secara tradisional, satuan itu selalu diperbandingkan dengan satuan lain
yang setara, yakni Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad (Cijantung,
Jaktim).
Kompetisi antara dua satuan elit ini masih berlangsung
hingga sekarang. Pimpinan TNI AD umumnya pernah bertugas pada dua satuan
tersebut. Kabar terakhir menyebutkan, bahwa kualifikasi dua brigade
tersebut sudah ditingkatkan, termasuk bataliyon di bawahnya. Dari lintas
udara menjadi para ‘raider', dengan demikian sebutan untuk satuan juga
disesuaikan.
Tokoh utama dalam Operasi Trisula adalah Kolonel
Witarmin, selaku Komandan Brigif 18 Trisula, perwira asal Kodam
V/Brawijaya. Setelah operasi berakhir, Witarmin memperoleh reward yang
luar biasa tinggi, masing-masing sebagai Komandan RPKAD (kini Danjen
Kopassus, 1970-1975) dan Pangdam VIII/Brawijaya (kini Kodam
V/Brawijaya).
Pengangkatan Witarmin sebagai Komandan RPKAD saat itu, sebetulnya
agak aneh, bagaimana mungkin seorang perwira yang praktis tidak pernah
bertugas di lingkungan Baret Merah, bisa memimpin satuan tersebut.
Tampaknya Soeharto turun tangan langsung, mengingat Operasi Trisula
adalah bagian dari proyek politik Soeharto di awal kekuasaannya.
Berikutnya
adalah tentang lulusan Akmil 1965. Generasi ini sudah sangat identik
dengan Orde Baru, sejak dilantik sebagai perwira muda hingga
purnawirawan, semuanya terjadi di masa Orde Baru. Angkatan ini juga
sangat khas, baik dari segi jumlah lulusan dan munculnya beberapa figur
yang menonjol. Untuk korps infanteri saja jumlah lulusannya sekitar 225
perwira, artinya lebih besar dari rata-rata lulusan Akmil (secara
keseluruhan) di era sekarang, yang berkisar 200 perwira per tahunnya.
Di
masa puncak karir lulusan Akmil 1965 pada sekitar tahun 1993-1995,
mereka pernah menjadi panglima pada tujuh Kodam secara bersamaan,
kecuali Pangdam Jaya yang diisi oleh Mayjen Hendro Priyono (Akmil 1967).
Beberapa figur yang menonjol dari angkatan ini antara lain: Yunus
Yosfiah, Syamsir Siregar, Tarub, Soejono, Theo Sjafei, dan seterusnya.
Di
antara figur tersebut, dari perjalanan waktu kita bisa mengetahui,
bahwa mereka memiliki orientasi politik yang berbeda-beda. Letjen TNI
(Purn) Soejono misalnya, sampai sekarang masih dikenal sebagai die hard pendukung
Soeharto, berhubung saat masih berpangkat kolonel pernah menjadi ADC
(ajudan) Soeharto. Namun ada juga figur kuat lain seperti Mayjen TNI
(Purn) Theo Sjafei (almarhum) yang bisa menjadi penyeimbang, karena
dianggap lebih dekat dengan figur Benny Moerdani.
Terkait dengan
Operasi Trisula di Blitar Selatan, operasi ini menjadi tonggak penting
bagi lulusan Akmil 1965. Mengingat pada operasi inilah, seorang perwira
lulusan Akmil 1965 untuk pertama kalinya gugur, atas nama Letda. Inf.
Kartomo, seorang perwira muda di bawah Brigif 18. Letnan Kartomo tewas
dengan cara tragis, dia terhanyut derasnya arus sungai.
Elemen Pendukung Melemah
Muramnya Monumen
Trisula dan berakhirnya era Akmil 1965, bisa dijadikan tanda bahwa
sebenarnya elemen pendukung Orde Baru sudah mulai melemah. Dengan kata
lain, tidak cukup ruang bagi kembalinya bayang-bayang Soeharto.
Demikian
juga dengan Brigif 18/Trisula. Kini sebagian besar perwira yang masuk
unsur pimpinan Brigif 18, adalah lulusan Akmil pasca 1998, artinya sudah
berjarak dengan figur Soeharto. Pengetahuan mereka terhadap Operasi
Trisula hanya berdasarkan teks, karena para perwira senior pelaku
langsung Operasi Trisula sebagian besar sudah meninggal. Mayjen TNI
Witarmin misalnya, sudah meninggal pada awal tahun 1980-an, saat
menjabat Pangdam VIII/Brawijaya.
Secara kebetulan di Kota Blitar
juga ada "monumen” lain, yang senantiasa masuk dalam memori bangsa,
yaitu pusara Bung Karno. Meski berada di kota yang sama, namun makam
Bung Karno bisa dianggap antitesis dari Monumen Trisula.
Di masa
Orde Baru, warga sedikit was-was dan sembunyi-sembunyi bila akan
berkunjung ke makam Bung Karno. Kini zaman telah berganti, bahkan
Presiden Jokowi (sebagai kader PDI-P) sudah beberapa kali ziarah ke
makam tersebut.
**************