Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus
INDOPOST, JAKARTA - Enam kali persidangan atas kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), JPU belum bisa menghadirkan saksi fakta yang memenuhi syarat KUHAP, terlebih saksi yang memiliki pengetahuan tentang pokok dakwaan, baik yang mendengar dan melihat sendiri maupun mengalami langsung peristiwa pidana di pulau Pramuka Kepulauan Seribu Jakarta Utara.
Hal ini diprediksi bisa membuat Majelis Hakim bakal menyimpulkan vonis bebas bagi terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Demikian dikatakan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Advokat Peradi, Petrus Selestinus, Selasa malam, (17/01/2017)
Menurut Petrus, JPU belum bisa memperlihatkan upaya maksimal untuk membuktikan peristiwa pidana yang terjadi dikepulauan seribu seperti yang sudah dirumuskan dalam Surat Dakwaan.
Karena itu, Petrus heran mencermati proses hukum yang terjadi serba instan di pengadilan. Terlebih saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan pun janggal dan tidak kredibel.
"Saksi-saksi yang dihadirkan tidak memiliki kualifikasi saksi fakta menurut KUHAP. Kejanggalan lain dalam kasus ini adalah diakomodirnya permintaan Rizieq Shihab untuk diperiksa sebagai ahli agama. Padahal kedudukan Rizieq Shihab sebagai pimpinan ormas FPI yang bertindak sebagai Pelapor juga berkali-kali telah mengeluarkan statement bahwa Ahok telah menista agama Islam. Majelis Hakim tidak perlu mendengar keterangan Rizieq Shihab dalam kapasitas apapun," ujar Petrus melalui keterangan tertulis kepada The Indonesian Post.
Atas indikator-indikator tersebut, lanjut Petrus, dimana banyak hal substansial baik persoalan prosedural maupun esensi Hukum Acara Pidana yang mengatur tata cara mempertahankan Hukum Pidana Materil, yang selalu saling kait mengkait dan berimplikasi kepada keabsahan secara hukum setiap tindakan atau produk yang dihasilkan. Maka dapat disimpulkan sementara bahwa hingga enam kali sidang dengan pemeriksaan enam orang saksi, JPU belum berhasil membuktikan Surat Dakwaannya, baik dakwaan primair maupun subsidair.
"Berbagai kelemahan dan kekurangan yang nampak tersebut membuktikan bahwa buah dari tekanan massa yang tidak memperhitungkan secara akal sehat maka proses hukum pada akhirnya akan menghasilkan putusan bebas murni dari Majelis Hakim bagi saudara Ahok", tandasnya.
Seharusnya dengan kualitas saksi-saksi yang demikian minim, imbuh Petrus, JPU patut dinilai gegabah menyatakan P.21, membuat Surat Dakwaan atas dasar bukti-bukti yang sumir dan lemah.
Dalam situasi normal, seharusnya Jaksa Penuntut Umum mengembalikan BAP disertai dengan petunjuk untuk disempurnakan atau memilih bersikap "mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SP3).
"Dengan kondisi demikian, maka Majelis Hakim tidak ada pilihan lain selain harus membebaskan terdakwa (ahok) dari segala tuntutan hukum, karena meskipun sudah enam kali sidang, belum ada satupun saksi fakta yang diperiksa dan didengar keterangannya memenuhi kualifikasi KUHAP," papar Petrus.
"Fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan justru membuktikan bahwa BAP hasil Penyelidikan dan Penyidikan bukanlah buah dari "due process of law", tetapi buah dari sikap anarkis pemaksaan kehendak massa karena kepentingan politik," pungkasnya.
(mb/indo)