Monitor penunjuk tarif bunga deposito yang dipajang di salah satu sudut
Kantor BNI Pusat, Jakarta, Senin (26/7). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia (BI) memutuskan menahan suku bunga acuan BI (BI Rate) sebesar
6,5 persen, hal tersebut berpengaruh pada penurunan suku bunga
perbankan, baik suku bunga deposito maupun suku bunga kredit. ANTARA
FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.
INDOPOST, JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengakui sejak adanya liberalisasi perbankan di era reformasi berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian nasional. Alih-alih memakmurkan dan menyejahterakan rakyat, liberalisasi perbankan itu justru menyusahkan rakyat.
“Sejak era liberalisasi, perbankan makin
banyak jumlahnya bukan memakmurkan. Tapi yang ada, banyak bank malah
meresahkan dan menyusahkan kita,” ungkap Wapres di acara Pertemuan
Tahunan Pelaku Industri Jasa Keuangan 2017, di Jakarta, Jumat (13/1)
malam.
Menurut Wapres, justru bank-bank yang
banyak itu semakin banyak juga risikonya. Karena mereka justru terkadang
bersaing tak sehat.
“Mestinya adalah, yang dilihat bukan jumlahnya yang banyak. Melainkan bank itu sehat atau tidak,” jelas JK.
Untuk itu, Wapres minta, semua lembaga
keuangan, baik bank, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya harus
membantu pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran.
“Makanya suku bunganya jangan terlalu tinggi, tapi efisien. Baik di perbankan maupun di pasar modal,” cetus Wapres.
Bahkan, kata dia, untuk pasar modal di
mana jumlah investor lebih banyak asing, maka jika ada keuntungan dan
dividen, pasti akan di bawa lari ke luar negeri.
“Kita ini negara terbuka, tapi lembaga
keuangan banyak yang masuk (ke Indonesia). Tapi mestinya semua harus
untungkan kita,” pungkas Wapres.
(Busthomi/indo)