Oleh Petrus Selestinus
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia & Juru Bicara Aspirasi Indonesia
Kasus penistaan agama yang disangkakan kepada Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, saat ini berkas perkaranya telah dinyatakan P.21 atau lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum/JPU, dan akan memasuki babak baru yaitu babak penuntutan sebagai konsekuensi logis dari keputusan JPU bahwa berkas hasil penyidikan Bareskrim Polri telah lengkap atau telah memenuhi syarat formil penuntutan.
Namun demikian dibalik kewenangan menuntut menurut KUHAP, JPU juga diberi wewenang untuk menghentikan sebuah penuntutan perkara pada tahap penuntutan (tidak dilimpahkan ke persidangan), manakala berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap itu tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka Penuntut Umum menuangkan keputusannya itu dalam sebuah surat ketetapan yaitu Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan.
Di dalam KUHAP, meskipun sebuah berkas hasil penyidikan polisi dinyatakan sudah lengkap oleh JPU, akan tetapi tidak serta merta seorang tersangka akan dijadikan terdakwa dan berkas perkara berikut terdakwanya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan, oleh karena pasal 140 ayat (2) KUHAP masih memberikan wewenang kepada JPU untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan: "karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan". Pada tahap inilah sesungguhnya posisi seorang JPU diuji profesionalismenya, apakah keputusan menghentikan penuntutan sebauah perkara itu didasarkan kepada pertimbangan yuridis atau pertimbangan politis akibat tekanan massa.
Tujuan pembentuk UU dalam rumusan pasal 140 KUHAP adalah untuk memberikan jaminan bagi hak-hak tersangka/terdakwa agar ia jangan sampai menjadi korban kriminalisasi atau politisasi hukum ketika proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan atau Berita Acara Hasil Pemeriksaan/BAP Penyidikan yang dibuat oleh penyidik didasarkan pada tekanan massa, intervensi politik atau karena KKN sehingga obyektifitas, independensi dan profesionalisme penyidik menjadi hilang, ketika menyusun BAP perkara yang ditangani. Mengubah minset aparat penegak hukum untuk berperilaku obyektif, independen dan profesional dalam menjakankan tugas pokoknya tidaklah mudah oleh karena mengubah sebuah karakter yang sudah terbentuk memakan waktu yang sama dengan lamanya waktu pembentukan karakter KKN.
Dalam kasus dugaan penistaan agama yang dipersangkakan kepada Ahok dan berkas perkaranya sudah dinyatakan P.21, maka kita berharap agar ketika berkas perkara, barang bukti dan tersangka diterima oleh JPU dari Penyidik dan dinyatakan lengkap atau tahap P.21, maka JPU harus benar-benar dijamin independensinya terutama dalam menentukan sikap secara bebas, mandiri dan obyektif apakah berkas perkara yang sudah dinyatakan P.21 itu telah memenuhi syarat-syarat penuntutan yaitu: apakah bukti-bukti yang diajukan oleh penyidik sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau apakah peristiwa yang disangkakan kepada Ahok memenuhi syarat sebagai sebuah peristiwa pidana atau perkara harus ditutup demi hukum, karenanya JPU harus mengeluarkan "Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan/SKPP".
Kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, harus dijadikan tolak ukur apakah pemerintahan Jokowi mampu mewujudkan reformasi penegakan hukum, terutama menjamin terwujudnya independensi dan profesionalisme dalam penegakan hukum. Mengapa, karena praktek peradilan kita yang sudah berlansung selama puluhan tahun, membiarkan persoalan independensi dan profesiaonalisme penyidik, penuntut umum bahkan hakim, tergadaikan untuk kepentingan lain sehingga sulit rasanya mewujudkan keadilan dari sebuah proses hukum yang benar-banr fair. Banyak faktor sebagai penyebab tergadainya independensi dan profesionalisme penegak hukum, antara lain lemahnya kontrol, mentalitas KKN berjamaah yang sangat kuat dan budaya politik intervensi terkait dengan KKN dan kepentingan politik yang melatarbelakanginya.
Karena itu penanganan kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, merupakan ujian bagi pemerntahan Jokowi apakah kebijakan mereformasi penegakan hukum yang saat ini sedang digalakan, berjalan dengan baik atau sebaliknya. Karena reformasi penegakan hukum harus diprioritaskan pada penataan perilaku pucuk pimpinan penegak hukum dan aparat di bawahnya, karena di pihak masyarakat meskipun ikut terlibat dalam persoalan KKN, namun dalam banyak kasus masyarakat lebih berada pada posisi sebagai korban dari sistem yang korup, sehingga penyebab utama rusaknya profesionalisme dan independensi lembaga penegak hukum berikut aparatnya dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari adalah pucuk pimpinannya sendiri.
***********