Ilustrasi
INDOPOST, JAKARTA - Kepolisian Daerah Metro Jaya berjanji menindak organisasi kemasyarakatan yang melakukan sweeping atas dasar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang penggunaan atribut nonmuslim. Warga DKI Jakarta diminta melapor ke polisi jika melihat ada ormas yang melakukannya.
"Kami sudah sampaikan bahwa untuk
kegiatan sweeping, kalau ada yang menemukan, laporkan ke kepolisian.
Kami yang akan melakukan tindakan," kata Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono di
Markas Polda Metro Jaya, Senin (19/12/2016).
Argo menuturkan, pada Jumat lalu, Polda
Metro dan mengikuti rapat dengan MUI. Seusai pertemuan tersebut,
kepolisian telah memberitahukan fatwa MUI itu kepada para pengusaha dan
perusahaan di Jakarta agar mematuhinya.
Dari rapat itu juga, ucap Argo, telah
disepakati untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh ormas
keagamaan, ormas kedaerahan, dan ormas kepemudaan. Kepolisian juga akan
menindak tegas jika terjadi hal itu.
"Kami ikut rapat untuk menyikapi itu
dengan harapan, dengan adanya fatwa itu, toleransi beragama di Indonesia
berjalan baik dan lancar. Sudah ada pemberitahuan juga, sehingga tidak
perlu lagi razia-razia," ujarnya.
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan Fatwa
Nomor 56 Tahun 2016 tanggal 14 Desember 2016 tentang Hukum Menggunakan
Atribut Nonmuslim. Fatwa itu meminta pengelola mal, hotel, tempat
rekreasi, restoran, dan perusahaan tidak memaksakan karyawan atau
karyawati beragama muslim menggunakan atribut nonmuslim. Atribut nonmuslim yang dimaksud adalah
topi Sinterklas dan benda yang biasa digunakan saat perayaan natal.
Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan, hal itu bersifat haram.
Beberapa waktu lalu, Kepolisian Resor
Metro Bekasi dan Polres Kulon Progo, Yogyakarta, juga menjadikan fatwa
MUI sebagai acuan dalam mengeluarkan surat imbauan bernomor
B/4240/XII/2016/Resort Bekasi Kota tanggal 15 Desember 2016. Namun
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian justru marah dan mengaku
telah menegur kedua polres.
Menurut Tito, fatwa MUI bukan suatu
rujukan hukum positif, sehingga tidak bisa digunakan sebagai acuan
penegakan hukum. Semestinya, ujar dia, fatwa MUI hanya digunakan sebagai
koordinasi antarpihak.
"Jadi itu sifatnya koordinasi, bukan rujukan yang bisa menjadi produk hukum bagi semua pihak," ujarnya.
(prj/indo)