Juru Bicara Aspirasi Indonesia, Petrus Selestinus
INDOPOST, JAKARTA - Bawaslu Provinsi DKI Jakarta telah merelease ke publik bahwa janji pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang akan menggelontorkan dana Rp. 1 miliar per RW dalam kampanye pilgub DKI Jakarta merupakan bentuk politik uang. Hal itu ditengarai bahwa janji tersebut tidak terdapat di dalam visi dan misi paslon, sehingga dianggap melanggar adminsitrasi dalam kampanye. Pernyataan paslon Agus-Sylvi itu dikategorikan sebagai politik uang oleh Badan Pengawas Pemilu (bawaslu).
Mencermati pernyataan tersebut, Juru Bicara Aspirasi Indonesia, Petrus Selestinus menilai pernyataan Calon Gubernur nomor urut satu (1) telah melanggar pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada. Karena itu ia mengatakan, pasangan calon (paslon) Agus-Sylvi berpotensi dibatalkan KPU.
"Tentu saja janji tersebut akan mengecewakan para Ketua RW se DKI Jakarta yang sudah termakan oleh janji manis pasangan calon ini. Padahal di dalam pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, disebutkan bahwa calon atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan atau Pemilih," ungkapnya kepada The Indonesian Post, Jumat malam, (02/12/2016)
Ditambahkannya, jika terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Faktanya pasangan calon Agus-Sylvi ketika melakukan kampanye diberbagai tempat, telah mengobral janji akan memberikan jatah uang Rp. 1 miliar per RW jika terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
"Kasus ini sudah disampaikan ke KPU DKI Jakarta. Konsekuensi dari janji politik uang itu maka pasangan calon Agus-Sylvi berpotensi dikenakan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon dan sanksi pidana oleh KPU Provinsi DKI Jakarta,"ujar Advokat Peradi ini.
Karena itu Petrus meminta proses pidana atas politik uang itu harus dilakukan secara transparan oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian ada atau tidak unsur pidana dalam politik uang harus berdasarkan putusan Pengadilan, mengingat pemberian sanksi administrasi berupa pembatalan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana atas pelanggaran hukum dimaksud.
"Sekecil apapun kesalahan dan pelanggaran, baik yang berkategori sebagai pelanggaran Administrasi maupun pelanggaran Pidana, harus diproses dan diberikan sanksi hukum agar tidak boleh ada yang mengambil manfaat secara tidak terpuji dengan memanfaatkan kelemahan aparat, kelemahan UU dan kelengahan Bawaslu dan KPU DKI Jakarta. Sanksi administrasi dan sanksi pidana harus bisa memberikan efek jera tidak saja kepada pasangan calon akan tetapi juga kepada tim kampanyenya," tutup Petrus.
(mb/indo)