Penulis: Petrus Selestinus
Koordinator Tim Pembela Demokrasi (TPDI) dan Jubir Aspirasi Indonesia
Beberapa waktu yang lalu Ketua Umum DPP PDIP Ibu Megawati Soekarnoputri mengaitkan peristiwa 27 Juli 1996 dengan tuduhan penistaan agama disertai dengan pemberian status tersangka kepada Ahok memiliki kesamaan. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ibu Megawati bahwa peristiwa yang dihadapi Ahok saat ini dalam kasus penistaan agama dan dijadikan tersangka identik dengan apa yang dihadapi oleh Ibu Megawati dan PDI dalam peristiwa Kongres PDI di Medan 1996 dan peristiwa 27 Juli tahun 1996. Berbagai peristiwa politik baik yang direkayasa sebagai rekayasa politik untuk mendiskreditkan Ibu Megawati dan PDI yang dipimpinannya terjadi secara susul menyusul dari penguasa Orde Baru dengan berbagai dalil dan dalih serta dijadikan sebagai kendala politik, hukum dan psichologis (termasuk menolak kepemimpinan perempuan), namun dukungan arus bawah dan kelas menengah semakin nyata dan besar pula terhadap Ibu Megawati semakin tak terbendung di seluruh penjuru tanah air.
Pemandangan serupa pada 20 tahun yang lalu itu saat ini muncul kembali dan dihadapi oleh Basuki Tjahja Purnama menjelang proses pilgub DKI Jakarta 2017, diawali dengan gerakan berbau sara, tuduhan melakukan penistaan agama, dijadikan tersangka dan tuntutan untuk segera ditahan. Kondisi yang sama atau nyaris sama tetapi tidak serupa atas apa yang dihadapi oleh Basuki Tjahja Purnama identik dengan apa yang dihadapi Ibu Megawati pada 20 tahun yang lalu ketika menghadapi rekayasa politik Orde Baru melalui Kongres PDI di Medan dan dalam peristiwa 27 Juli 1996. Kalau saat itu Ibu Megawati menghadapi tekanan dan intimidasi dari suprakstruktur kekuasaan Orde Baru, yang berkali-kali merancang berbagai sekenario untuk menggagalkan kekuatan Ibu Megawati dalam pentas politik nasional Orde Baru, maka Basuki Tjahja Purnama yang saat ini muncul sebagai seorang pemimpin fenomenal justru menghadapi tekanan dan resistensi dari infrastruktur politik dari beberapa kekuatan politik massa/ormas-ormas dan tokoh-tokoh politik yang tidak menghendaki kehadiran dan eksistensinya dalam pentas politik nasional, karenanya harus dihentikan dengan berbagai dalil, dalih dan manuver politik antara lain melalui tuduhan melakukan korupsi, penistaan agama, dijadikan tersangka meminta ditahan dll.
Tekanan dan resistensi dari beberapa kelompok politik dengan kekuatan penuh yang dihadapi Basuki Tjahja Purnama saat ini, terdapat kesamaan dengan tekanan dan intimidasi yang dihadapi Ibu Megawati pada tahun 1996 silam, keduanya memiliki gaya yang sama dalam menghadapi resistensi yaitu sama-sama memiliki nyali dan daya tahan serta kepercayaan diri yang tinggi untuk menghadapi, sehingga samakin hari semakin mendapatkan dukungan dan simpati massa yang luar biasa besar di seluruh penjuru tanah air. Persamaan lainnya adalah baik Ibu Megawati maupun Basuki Tjahja Purnama sama-sama mempercayakan penyelesaian semua persoalan hukum dan politik yang dituduhkan kepadanya melalui mekanisme hukum yang berlaku, meskipun baik Ibu Megawati maupun Basuki Tjahja Purnama sama-sama memikiki pendukung massa yang juga tidak kalah besarnya dengan kekuatan infrastruktur politik yang menolak eksistensinya, namun hal itu tidak dijadikan sebagai alat untuk menghadapi tekanan.
Jika pada tahun1996-1997 Ibu Megawati menghadapi tekanan dan intimidasi melalui berbagai pembatasan penggunaan hak politiknya sebagai warga negara dengan cara harus memenuhi panggilan untuk pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, baik untuk perkara akibat rekayasa pemerintah Orde Baru, maupun untuk perkara dimana Ibu Megawati melakukan upaya hukum melalui ratusan gugatan perdata di hampir seluruh pelosok tanah air melawan pemerintah Orde Baru guna mengembalikan hak-hak politiknya yang dirampas melalui rekayasa politik kongres PDI di Medan 1996 dan penyerbuan markas PDI di Jln. Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat atau yang dikenal dengan "peristiwa Sabtu kelabu 27 Juli alias Kudatuli", maka hal yang sama juga saat ini dihadapi Basuki Tjahja Purnama dalam pentas politik pilgub DKI Jakarta.
Resistensi dan pengekangan terhadap hak-hak politik Basuki Tjahja Purnama pada oleh kekuatan infrastruktur politik yang tidak menginginkan Basuki Tjahja Purnama muncul di pentas politik nasional pun tidak kalah hebatnya, terlebih-lebih dengan penggunaan kekuatan massa besar menuntut agar Basuki Tjahja Purnama harus mundur dari proses pilkada, dijadikan tersangka dan harus ditahan pula serta penghadangan pada setiap Basuki Tjahja Purnama melakukan blusukan dalam rangka kampanye, namun semua tekanan dan resistensi itu dihadapi Basuki Tjahja Purnama dengan mempercayakan penyelesaiannya pada proses hukum seraya memohon agar negara memberikan perlindungan kepada segenap warga negara termasuk dirinya dari sikap main hakim sendiri atau tekanan politik massa yang menghalangi hak-hak politiknya.
Dengan sikap sabar dan mempercayakan perjuangan atas hak-hak politiknya melalui proses penegakan hukum, serta didukung penuh oleh kekuatan rakyat, maka secara pelan tapi pasti Basuki Tjahja Purnama dan Djarot semakin hari semakin mendapat simpati dan dukungan nyata yang mencengangkan dari arus bawah sepertihalnya dukungan arus bawah kepada Ibu Megawati ketika mendapat perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang dari penguasa Orde Baru. Dukungan arus bawah semakin hari semakin meluas hingga diharapkan dapat mengantarkan Basuki Tjahja Purnama menjari Gubernur DKI Jakarta sebagaimana halnya arus bawah mengantarkan Ibu Megawati berhasil membawa PDI menjadi PDIP sebagai Partai Politik peserta pemilu dan peraih kursi terbanyak (153 kursi) pada pemilu legislatif 1999, kemudian mengantarkan Ibu Megawati menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden RI ke V pada 23 Juli 2001 s/d 20 Oktober 2004.
Hal demikian diharapkan bakal terjadi juga dalam perjalaan politik Basuki Tjahja Purnama dari menuju DKI Jakarta 1 sebagai Gubernur melalui pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang demokratis, menuju kepada jenjang politik yang lebih tinggi di masa yang akan datang, yang tentu saja tidak semata-mata bersandar pada dukungan massa yang kuat, akan tetapi menuntut persyaratan politik psichologis berupa jaminan dari negara bahwa negara melindungi segenap warga negara tanpa kecuali serta aparat hukum harus bekerja secara independen, bebas dari tekanan massa, tekanan politik dan terlebih-lebih harus terhindar dari konflik kepentingan dalam menangani kasus hukum Basuki Tjahja Purnama dan siapapun di masa yang akan datang.
(mb/indo)