ilustrasi
Penulis: Birgaldo Sinaga
"Zenkei Shibayama (1894-1974) bertanya:
Murni dan segar adalah bunga-bunga yang berembun
Jernih dan cemerlang adalah kicauan burung-burung
Awan berarak tenang, air kebiru biruan
Siapakah penulis kitab sejati tanpa aksara?
Murni dan segar adalah bunga-bunga yang berembun
Jernih dan cemerlang adalah kicauan burung-burung
Awan berarak tenang, air kebiru biruan
Siapakah penulis kitab sejati tanpa aksara?
Menjulang tinggi adalah pegunungan, hijau adalah pepohonan
Dalam adalah lembah lembah, yang bening adalah arus,
Angin berhembus lembut, rembulanpun cerah,
Diam-diam kubaca kitab sejati tanpa aksara."
Dalam adalah lembah lembah, yang bening adalah arus,
Angin berhembus lembut, rembulanpun cerah,
Diam-diam kubaca kitab sejati tanpa aksara."
Menarik untuk direnungkan ketika kontemplasi Shibayama dipadukan dengan
pemikiran pemikiran filsuf Confucius, Lao Tze yang berkelana mencari
pencerahan tentang arti sebuah kehidupan. Shibayama percaya
dalam aktualisasi meditasinya melahirkan persahabatannya dengan alam
semesta yang membawa pikiran dan hatinya tercerahkan. Tercerahkan oleh
semilir angin yang mengalir menyentuh bunga sakura di lembah gunung
Fuji.
Hembusan angin sepoi sejuk seakan menyampaikan kabar baik
kepada dedaunan bahwa sang fajar akan menyembul di balik gunung Fuji. Maka kesadaran cinta kasih kepada alam dan manusia menjadi isi
pemikiran Shibayama dalam memahami relasi persaudaraan antar umat
beragama. Tepatlah pesan puitis Kahlil Gibran “ Kegelapan bisa menyembunyikan pohon, tapi kegelapan tidak bisa menyembunyikan cinta”.
Kedua pujangga hebat ini begitu dalam memaknai tentang arti cinta sesama dan perdamaian bagi kemanusiaan. Kebencian atas dasar agama yang diusung sekelompok penganut agama tidak
bisa mengalahkan kebenaran akan cinta kasih kepada sesama manusia. Bukankah lingkaran sempurna tentang alam semesta bermula dari cinta dan
kasih sayang Sang Pencipta Alam Semesta sehingga DIA menginginkan kita
menjadi rahmatan lil’ alamin?. Menjadi rahmat bagi semesta alam?
Saya mengutip tulisan Zuhairi Misrawi dalam bukunya : Hadratussyaikh
Hasyim Asy'ari : Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan yang menulis hubungan
toleransi, demokrasi dan nilai kebangsaan.
" Jika demokrasi
menjadikan kediktatoran sebagai musuh bebuyutan, maka lawan dari
moderasi adalah intoleransi dan ekstremisme. Karena itu, jalan terbaik
yang harus dibangun dalam masyarakat plural adalah rekonsiliasi antara
demokrasi dan moderasi. Demokrasi dan toleransi untuk menggempur
kediktatoran dan ekstrimisme".
Benazir Bhutto dalam wasiat
terakhirnya seperti tulisan di atas meyakini bahwa demokrasi dan
toleransi ibarat dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Satu
sama lain saling menyempurnakan. Bila salah satu diantara
keduanya hilang, lenyap pula kekuatan yang lainnya. Demokrasi tanpa
toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistis.
Sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi,
yaitu toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal.
Oleh karena itu, dalam hubungan relasi sesama diperlukan ikatan sosial.
Ikatan sosial tersebut di kenal dalam istilah Islam sebagai ukhuwah dan
tasamuh. Ukhuwah adalah persaudaraan. Tasamuh adalah toleransi. Persaudaraan dan toleransi merupakan prasyarat untuk melahirkan sikap kebhinekaan yang moderat.
Kyai Hasyim Asya’ri, pendiri ormas NU, kakek Presiden RI ke 4 Gus Dur,
menegaskan, manusia adalah makhluk yang senantiasa berinteraksi antara
yang satu dan yang lain. Meminjam istilah Ibnu Khaldun, al-insan
madaniyun bit thab’i. Manusia adalah makhluk yang berperadaban. Karena itu, Kyai Hasyim memberikan arahan perihal pentingnya perkumpulan, persatuan, kebersamaan, dan kasih sayang. Inilah nilai nilai yang menjadi suatu keniscayaan untuk membangun toleransi kerukunan di antara umat beragama.
Ayat ayat suci, pemikir pemikir besar dunia dan pendiri bangsa telah
melahirkan pondasi kokoh tentang toleransi sebagai sebuah kebajikan
dalam hidup. Pikiran visioner pendiri bangsa ini ternyata belum
berhasil menjadi sumpah agung bagi anak anak republik. 71 tahun
Republik Indonesia Merdeka masih tebal rasa syakwasangka, curiga,
paranoid dan jegal menjegal atas nama Sara. Mengapa?? WHY??
Pertanyaan pertanyaan ini sejatinya jika mau jujur diungkap memang masih
nampak adanya masalah masalah dalam relasi kerukunan umat beragama.
Sulitnya mendapat izin pembangunan rumah ibadah bukan cerita lama lagi.
Bahkan rumah ibadah yang sudah berdiri dan mendapat IMB bisa disegel
atas desakan kelompok tertentu. Belum lagi pengamputasian cagub atas
sentimen agama dan suku.
Pandangan Richard H. Dees (1999) bisa
menjadi rujukan bagaimana kita melihat toleransi. Menurut Dees cara
terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural
adalah toleransi sebagai nilai dan kebajikan. Dees berkata
bahwa masalah utama toleransi selama ini karena toleransi dipahami
sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam
persetujuan “hitam di atas putih”.
Menurut Dees toleransi dalam
strata ini memiliki kelemahan yang bisa beroposisi dengan semangat
toleransi karena rentan jatuh dalam kepentingan kelompok tertentu. Terlebih jika pihak mayoritas menggunakan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi ini bisa berjalan lempang bebas hambatan menjadi sebuah
tindakan intoleran karena toleransi hanya dibangun di kalangan elitis
yang biasa dikenal dengan toleransi politis.
Pelajaran tentang
modus vivendi ini bisa kita baca dalam sejarah komunitas Protestan dan
Katolik pada abad 16 saat Raja Henri IV tewas di tangan penganut fanatik
Khatolik. Runtuhlah cita cita luhur kedua komunitas tersebut
untuk membangun kedamaian. Kematian Henri IV melahirkan bencana baru
yakni intoleransi. Kedua kelompok hilang kepercayaan untuk mengawal
kesepakatan hitam di atas putih yang telah berlangsung puluhan tahun. Konflik dan pertentangan muncul dan kobaran api pertikaian menyebar bak
virus epidemic mewabah cepat menyerang. Pelajaran modus vivendi ini
menyatakan kepada kita bahwa ketokohan dan kekuatan politis menjadi
syarat mutlak terjadinya toleransi. Meninggalnya sang tokoh dan
berkurangnya kekuatan politik meruntuhkan bangunan toleransi yang malah
jika tidak dicegah akan menimbulkan massacre atau peperangan horizontal
di tingkat individu penganut agama.
Maka, Dees memberikan solusi
konstruktif perihal pentingnya mengukuhkan toleransi di tengah ancaman
intoleransi. Solusi itu yakni meneguhkan toleransi sebagai kebajikan
(toleration as a virtue).
Disamping toleransi sebagai hak setiap individu (tolerance as good in its own right). Menurut Dees, toleransi pada tingkatan sebagai kebajikan dan hak setiap individu menempati maqam tertinggi karena toleransi bisa menembus dua ruang sekaligus, yaitu ruang politik dan ruang civil society. Di sini Dees membandingkan pengalaman Perancis pra-revolusi Perancis dan pengalaman Inggris. Inggris berhasil menerjemahkan nilai nilai yang paling mendasar dalam toleransi.
Disamping toleransi sebagai hak setiap individu (tolerance as good in its own right). Menurut Dees, toleransi pada tingkatan sebagai kebajikan dan hak setiap individu menempati maqam tertinggi karena toleransi bisa menembus dua ruang sekaligus, yaitu ruang politik dan ruang civil society. Di sini Dees membandingkan pengalaman Perancis pra-revolusi Perancis dan pengalaman Inggris. Inggris berhasil menerjemahkan nilai nilai yang paling mendasar dalam toleransi.
Sejak munculnya modus vivendi
dalam traktat toleransi tahun 1689, toleransi di Inggris mampu
menjadikan toleransi sebagai kebajikan dan hak setiap individu. Ada dual hal utama keberhasilan toleransi itu. Pertama, toleransi
membutuhkan interaksi sosial melalui silahturami. Di Inggris, semua
kelompok didorong untuk menggali nilai nilai toleransi sebagai
kebajikan. Kelompok minoritas diperlakukan secara adil dan
setara, baik dalam ranah politik, ekonomi, maupun agama. Mereka dapat
melakukan peribadatan secara merdeka dan otonom.
Di samping itu,
kelopmpok mayoritas tidak melakukan penetrasi politik terhadap kelompok
minoritas. Kedua, membangun sikap saling percaya diantara pelbagai
kelompok dan aliran (mutual trust). Saling percaya akan
menimbulkan saling toleransi. Dan semua ini bisa terjadi jika
inklusivisme dalam tataran pergaulan yang terbuka, percakapan yang
intensif disertai upaya membangun rasa saling percaya diri. Ini merupakan dua hal yang harus dipenuhi untuk mengukuhkan pemahaman toleransi sebagai kebajikan.
Dari cerita sejarah di Perancis dan Inggris kita bisa membaca bahwa
toleransi bukan hanya tugas negara. Toleransi juga dibangun atas nilai
yang berlaku di tengah tengah masyarakat. Toleransi bukan
langsung jadi, namun kehadiran nilai nilai yang mengakar kuat di tengah
masyarakat melalui tatap muka, dialog, diskusi saling membangun
kepercayaan diri. Membangun kepercayaan diri tentang nilai
kerukunan bukan pemenuhan kata per kata di dalam traktat kesepakatan
tiga menteri. Atau pemenuhan aksara dalam bentuk hukum lainnya atas
nama negara. Ketenangan dan kedamaian lahir dari kearifan nilai
masyrakat yang berkembang dengan dikawal oleh negara yang melindungi
setiap kelompok masyarakat baik minoritas dan mayoritas dalam kesetaraan
dan kebersamaan. Bung Karno menyebutnya gotong royong.
Dalam
masa pilkada DKI Jakarta yang semakin panas ini, kesadaran warga
masyarakat penting untuk mengawal kedamaian dan toleransi. Kesadaran ini menjadi angin sejuk yang bisa mengisi ruang ruang
kebencian, syakwasangka dan intoleran di tengah tengah masyarakat. Kesadaran itu akan mengubah menjadi hidup damai toleransi penuh kebajikan sebagai rahmatan lil alamin.
Salam Damai....!!