# Group 1 User-agent: Googlebot Disallow: /nogooglebot/ # Group 2 User-agent: * Allow: / Sitemap: https://www.infiltrasi.com/sitemap.xml
Latest News
Tuesday, October 11, 2016

Toleransi, Demokrasi dan Kebangsaan

ilustrasi


Penulis: Birgaldo Sinaga


"Zenkei Shibayama (1894-1974) bertanya:
Murni dan segar adalah bunga-bunga yang berembun
Jernih dan cemerlang adalah kicauan burung-burung
Awan berarak tenang, air kebiru biruan
Siapakah penulis kitab sejati tanpa aksara?
Menjulang tinggi adalah pegunungan, hijau adalah pepohonan
Dalam adalah lembah lembah, yang bening adalah arus,
Angin berhembus lembut, rembulanpun cerah,
Diam-diam kubaca kitab sejati tanpa aksara."

Menarik untuk direnungkan ketika kontemplasi Shibayama dipadukan dengan pemikiran pemikiran filsuf Confucius, Lao Tze yang berkelana mencari pencerahan tentang arti sebuah kehidupan. Shibayama percaya dalam aktualisasi meditasinya melahirkan persahabatannya dengan alam semesta yang membawa pikiran dan hatinya tercerahkan. Tercerahkan oleh semilir angin yang mengalir menyentuh bunga sakura di lembah gunung Fuji.

Hembusan angin sepoi sejuk seakan menyampaikan kabar baik kepada dedaunan bahwa sang fajar akan menyembul di balik gunung Fuji. Maka kesadaran cinta kasih kepada alam dan manusia menjadi isi pemikiran Shibayama dalam memahami relasi persaudaraan antar umat beragama. Tepatlah pesan puitis Kahlil Gibran “ Kegelapan bisa menyembunyikan pohon, tapi kegelapan tidak bisa menyembunyikan cinta”.

Kedua pujangga hebat ini begitu dalam memaknai tentang arti cinta sesama dan perdamaian bagi kemanusiaan. Kebencian atas dasar agama yang diusung sekelompok penganut agama tidak bisa mengalahkan kebenaran akan cinta kasih kepada sesama manusia. Bukankah lingkaran sempurna tentang alam semesta bermula dari cinta dan kasih sayang Sang Pencipta Alam Semesta sehingga DIA menginginkan kita menjadi rahmatan lil’ alamin?. Menjadi rahmat bagi semesta alam?

Saya mengutip tulisan Zuhairi Misrawi dalam bukunya : Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari : Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan yang menulis hubungan toleransi, demokrasi dan nilai kebangsaan.
" Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai musuh bebuyutan, maka lawan dari moderasi adalah intoleransi dan ekstremisme. Karena itu, jalan terbaik yang harus dibangun dalam masyarakat plural adalah rekonsiliasi antara demokrasi dan moderasi. Demokrasi dan toleransi untuk menggempur kediktatoran dan ekstrimisme".

Benazir Bhutto dalam wasiat terakhirnya seperti tulisan di atas meyakini bahwa demokrasi dan toleransi ibarat dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Satu sama lain saling menyempurnakan. Bila salah satu diantara keduanya hilang, lenyap pula kekuatan yang lainnya. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistis. Sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal. 

Oleh karena itu, dalam hubungan relasi sesama diperlukan ikatan sosial. Ikatan sosial tersebut di kenal dalam istilah Islam sebagai ukhuwah dan tasamuh. Ukhuwah adalah persaudaraan. Tasamuh adalah toleransi. Persaudaraan dan toleransi merupakan prasyarat untuk melahirkan sikap kebhinekaan yang moderat.

Kyai Hasyim Asya’ri, pendiri ormas NU, kakek Presiden RI ke 4 Gus Dur, menegaskan, manusia adalah makhluk yang senantiasa berinteraksi antara yang satu dan yang lain. Meminjam istilah Ibnu Khaldun, al-insan madaniyun bit thab’i. Manusia adalah makhluk yang berperadaban. Karena itu, Kyai Hasyim memberikan arahan perihal pentingnya perkumpulan, persatuan, kebersamaan, dan kasih sayang. Inilah nilai nilai yang menjadi suatu keniscayaan untuk membangun toleransi kerukunan di antara umat beragama. 

Ayat ayat suci, pemikir pemikir besar dunia dan pendiri bangsa telah melahirkan pondasi kokoh tentang toleransi sebagai sebuah kebajikan dalam hidup. Pikiran visioner pendiri bangsa ini ternyata belum berhasil menjadi sumpah agung bagi anak anak republik. 71 tahun Republik Indonesia Merdeka masih tebal rasa syakwasangka, curiga, paranoid dan jegal menjegal atas nama Sara. Mengapa?? WHY??

Pertanyaan pertanyaan ini sejatinya jika mau jujur diungkap memang masih nampak adanya masalah masalah dalam relasi kerukunan umat beragama. Sulitnya mendapat izin pembangunan rumah ibadah bukan cerita lama lagi. Bahkan rumah ibadah yang sudah berdiri dan mendapat IMB bisa disegel atas desakan kelompok tertentu. Belum lagi pengamputasian cagub atas sentimen agama dan suku.

Pandangan Richard H. Dees (1999) bisa menjadi rujukan bagaimana kita melihat toleransi. Menurut Dees cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural adalah toleransi sebagai nilai dan kebajikan. Dees berkata bahwa masalah utama toleransi selama ini karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan “hitam di atas putih”. 

Menurut Dees toleransi dalam strata ini memiliki kelemahan yang bisa beroposisi dengan semangat toleransi karena rentan jatuh dalam kepentingan kelompok tertentu. Terlebih jika pihak mayoritas menggunakan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi ini bisa berjalan lempang bebas hambatan menjadi sebuah tindakan intoleran karena toleransi hanya dibangun di kalangan elitis yang biasa dikenal dengan toleransi politis.

Pelajaran tentang modus vivendi ini bisa kita baca dalam sejarah komunitas Protestan dan Katolik pada abad 16 saat Raja Henri IV tewas di tangan penganut fanatik Khatolik. Runtuhlah cita cita luhur kedua komunitas tersebut untuk membangun kedamaian. Kematian Henri IV melahirkan bencana baru yakni intoleransi. Kedua kelompok hilang kepercayaan untuk mengawal kesepakatan hitam di atas putih yang telah berlangsung puluhan tahun. Konflik dan pertentangan muncul dan kobaran api pertikaian menyebar bak virus epidemic mewabah cepat menyerang. Pelajaran modus vivendi ini menyatakan kepada kita bahwa ketokohan dan kekuatan politis menjadi syarat mutlak terjadinya toleransi. Meninggalnya sang tokoh dan berkurangnya kekuatan politik meruntuhkan bangunan toleransi yang malah jika tidak dicegah akan menimbulkan massacre atau peperangan horizontal di tingkat individu penganut agama. 

Maka, Dees memberikan solusi konstruktif perihal pentingnya mengukuhkan toleransi di tengah ancaman intoleransi. Solusi itu yakni meneguhkan toleransi sebagai kebajikan (toleration as a virtue).
Disamping toleransi sebagai hak setiap individu (tolerance as good in its own right). Menurut Dees, toleransi pada tingkatan sebagai kebajikan dan hak setiap individu menempati maqam tertinggi karena toleransi bisa menembus dua ruang sekaligus, yaitu ruang politik dan ruang civil society.  Di sini Dees membandingkan pengalaman Perancis pra-revolusi Perancis dan pengalaman Inggris. Inggris berhasil menerjemahkan nilai nilai yang paling mendasar dalam toleransi. 

Sejak munculnya modus vivendi dalam traktat toleransi tahun 1689, toleransi di Inggris mampu menjadikan toleransi sebagai kebajikan dan hak setiap individu. Ada dual hal utama keberhasilan toleransi itu. Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui silahturami. Di Inggris, semua kelompok didorong untuk menggali nilai nilai toleransi sebagai kebajikan. Kelompok minoritas diperlakukan secara adil dan setara, baik dalam ranah politik, ekonomi, maupun agama. Mereka dapat melakukan peribadatan secara merdeka dan otonom. 

Di samping itu, kelopmpok mayoritas tidak melakukan penetrasi politik terhadap kelompok minoritas. Kedua, membangun sikap saling percaya diantara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust). Saling percaya akan menimbulkan saling toleransi. Dan semua ini bisa terjadi jika inklusivisme dalam tataran pergaulan yang terbuka, percakapan yang intensif disertai upaya membangun rasa saling percaya diri. Ini merupakan dua hal yang harus dipenuhi untuk mengukuhkan pemahaman toleransi sebagai kebajikan. 

Dari cerita sejarah di Perancis dan Inggris kita bisa membaca bahwa toleransi bukan hanya tugas negara. Toleransi juga dibangun atas nilai yang berlaku di tengah tengah masyarakat. Toleransi bukan langsung jadi, namun kehadiran nilai nilai yang mengakar kuat di tengah masyarakat melalui tatap muka, dialog, diskusi saling membangun kepercayaan diri. Membangun kepercayaan diri tentang nilai kerukunan bukan pemenuhan kata per kata di dalam traktat kesepakatan tiga menteri. Atau pemenuhan aksara dalam bentuk hukum lainnya atas nama negara. Ketenangan dan kedamaian lahir dari kearifan nilai masyrakat yang berkembang dengan dikawal oleh negara yang melindungi setiap kelompok masyarakat baik minoritas dan mayoritas dalam kesetaraan dan kebersamaan. Bung Karno menyebutnya gotong royong. 

Dalam masa pilkada DKI Jakarta yang semakin panas ini, kesadaran warga masyarakat penting untuk mengawal kedamaian dan toleransi. Kesadaran ini menjadi angin sejuk yang bisa mengisi ruang ruang kebencian, syakwasangka dan intoleran di tengah tengah masyarakat. Kesadaran itu akan mengubah menjadi hidup damai toleransi penuh kebajikan sebagai rahmatan lil alamin.


Salam Damai....!!
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Toleransi, Demokrasi dan Kebangsaan Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi