anggota Komisi III DPR Tiffatul Sembiring
INDOPOST, JAKARTA – Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP)
berbeda dengan hukum pidana di Belanda kendati KUHP merupakan kodifikasi
dari hukum Belanda. Perbedaan itu mulai dari kondisi hingga cara
pandang hukum terhadap persoalan privasi.
Pinar Fatma Olcer, anggota Asosiasi Professor dari Universitas Leiden, mengungkapkan Indonesia masih memperdebatkan norma hukum perzinahan sebagai masalah kesusilaan. “Sedangkan Belanda cenderung menghilangkan hal-hal yang menyangkut moral related criminal provision (ketentuan tindak kesusilaan),” ujarnya, Minggu (28/8).
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Tiffatul Sembiring mempertanyakan soal pasal penghinaan terhadap presiden. Menurutnya pasal itu bersifat ambigu. “Dalam pasal ini apa perbedaan antara kritikan, penghinaan dan fitnah dalam bahasa hukum. Sebagai seorang pejabat negara memang harus siap menerima kritikan. Namun jika fitnah, itu sesuatu yang tidak ada tapi dituduhkan,” papar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Anggota Komisi III Lainnya, Arsul Sani, mempertanyakan masalah krusial ini justru tidak disoal saat pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) KUHP. “Saya heran mengapa saat dibahas pasal penghinaan itu tidak lagi diperdebatkan oleh aktifis dan politikus kendati telah menjadi polemik luas,” tanyanya.
(rinaldi/indo)
Pinar Fatma Olcer, anggota Asosiasi Professor dari Universitas Leiden, mengungkapkan Indonesia masih memperdebatkan norma hukum perzinahan sebagai masalah kesusilaan. “Sedangkan Belanda cenderung menghilangkan hal-hal yang menyangkut moral related criminal provision (ketentuan tindak kesusilaan),” ujarnya, Minggu (28/8).
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Tiffatul Sembiring mempertanyakan soal pasal penghinaan terhadap presiden. Menurutnya pasal itu bersifat ambigu. “Dalam pasal ini apa perbedaan antara kritikan, penghinaan dan fitnah dalam bahasa hukum. Sebagai seorang pejabat negara memang harus siap menerima kritikan. Namun jika fitnah, itu sesuatu yang tidak ada tapi dituduhkan,” papar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Anggota Komisi III Lainnya, Arsul Sani, mempertanyakan masalah krusial ini justru tidak disoal saat pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) KUHP. “Saya heran mengapa saat dibahas pasal penghinaan itu tidak lagi diperdebatkan oleh aktifis dan politikus kendati telah menjadi polemik luas,” tanyanya.
(rinaldi/indo)