Ferizal Ramli
Dari Tepian Sungai Elbe
Aku menulis ketidaksetujuanku atas tragedi cinta Dewi Sinta. Tentu
saja ini kutulis dari sudut pandangku sendiri. Jadi boleh anda setuju,
boleh anda tidak setuju. Yang asyik itukan saat tidak setuju maka saling
memperkaya value atas perbedaan sudut pandang
Aku setiap membaca kisah Ramayana berkrenyit dahi ku. Ada yang tidak
pas disana yang amat tidak konsisten. Dalam kisah Ramayana itu
dikisahkan betapa masih sucinya Sinta dalam penculikan Rahwana. Suci
disini dalam arti harafiah belum digauli Rahwana. Disini titik mitos
tidak konsistennya.
Dalam pakem cerita Ramayana, Rahwana didefinisikan sebagai Raja yang
Amat Berkuasa Mutlak dan Perkasa. Saat bersamaan dia adalah seorang Raja
yang cerdas dan penuh strategis, bahkan dalam pengawasan Ksatria
Laksmana saja, Dewi Sinta bisa dia culik.
Yang menjadi pertanyaanku: apa sulitnya buat seorang Raja Hebat
Rahwana, yang Macho Perkasa, Pandai Berstrategi, Jago Merayu bahkan bisa
merayu Sinta terlena dengan binatang lutju jelmaan Rahwana, dan saat
itu si Sinta berada dalam istana Rahwana, tapi Sinta bisa tetap suci
tanpa disentuh Rahwana?
Rahwana jelas bergelora melihat keelokan Sinta. Saking ngilernya dia
sampai berjuang menculik Sinta. Rahwana adalah Casanova. Mungkinkah
Rahwana biarkan Sinta begitu saja dalam kurungan kamar Istananya tanpa
“dianiaya” ?
Dewi Sinta bukan lah malaikat. Dia wanita yang juga punya hasrat
tinggi akan estetika. Ketidakberdayaannya sampai terjebak diculik
Rahwana karena dia amat ingin memiliki binantang cantik. Dia tertipu
Rahwana adalah salah satu manifestasi kesukaannya atas estetika.
Lantas apa yang sebabkan Sinta bisa mempertahankan diri di depan Raja
Perkasa Casanova Rahwana, di kamar istana Rahwana? Jika dijaga Ksatria
Tangguh Laksmana saja, Sinta bisa terberdaya oleh Rahwana, lantas
bagaimana kok dia bisa teguh bertahan di kamar berdua di Istana Rahwana
berbulan2 ?
Sayang bukan aku penulis cerita Agung Ramayana ini. Aku cuma
penikmatnya dan membuat pemaknaan sendiri atas kisahnya. Jadi tiada
kuasa apa2 atas akhir cerita kisah agung ini selain mengrenyit dahi
tanda tidak setuju
Aku berharap akhir dari cerita Ramayana itu realistis. Sinta terlena
dan bergumul hebat dengan Rahwana. Bathinnya menyesal di satu sisi
karena mengkhianati Rama suaminya, tapi di sisi lain hasratnya untuk
pasrah dalam pelukan Rahwana tidak terbendung.
Saat Rahwana tewas diserang oleh Rama, maka Sinta bersedih;
dikarenakan meskipun dia awalnya diculik Rahwana tapi toh Rahwana tidak
menyakitinya. Rahwana telah bersatu dalam dirinya. Sementara Rama justru
meninggalkan dia di hutan untuk kepentingan sang Rama himself yang
membuat Sinta kesepian sehingga terjebak Rahwana. Hanya saja Rahwana
tewas itu adalah value yang fair dan adil karena “Sinar Matahari” tidak
berpihak pada yang salah dan dzalim.
Lalu atas hal ini, kubayangkan akhir ceritanya: Rama menerima fakta
bahwa Sinta telah bergumul hebat dengan Rahwana. Di titik inilah apakah
Rama bersedia memaafkan Sinta dan menerima “kesalahan” Sinta yang
sesungguhnya juga kesalahan Rama yang abai menjaga Sinta?
Nah, kebesaran hati Rama menerima Sinta, itu value yang jauh lebih
agung dan realistis dalam kehidupan nyata dari pada cerita yang tidak
realistis mengatakan bahwa Sinta tetap suci.
Yang kontrakdiktif juga justru Rama tidak percaya dengan kesucian
Sinta. Jelas secara logika Rama tidak percaya, karena memang tidak logis
klo Sinta itu masih suci dalam dekapan Rahwana.
Hanya kok kenapa hasil akhirnya bukan mengatakan Sinta itu sudah
tidak suci, lalu Rama menerima itu sebagai fakta dan mereka kemudian
membangun kembali Rumah Tangga yang lebih baik. Kenapa hasil akhirnya
malah tidak realistis dan tragis: Sinta itu suci, karena Rama tidak
percaya lalu Sinta bunuh diri untuk membuktikan kesuciannya…
Moral point yang kudapat dari cerita2 dongeng kesucian Dewi Sinta ini
adalah Budaya Utopis yang tidak realistis yang digunakan sebagai
teladan.
Ini jelas sulit diterima dalam realitas, akibatnya di realitas yang
termaknai masyarakat adalah munculnya budaya hipokrit. Mereka menerima
nilai utopis sebagai nilai kebenaran, tapi mereka tidak mampu laksanakan
dalam realitas. Akhirnya mereka hipokrit, demi pencitraan diri agar
terlihat mampu memenuhi nilai utopis tadi!
*********#**********
