ilustrasi
Oleh: Andre Vincent Wenas
Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
31/05/2020
Dari sejak awal sudah dinyatakan oleh Bung Hatta, bahwa kita harus berani dan sekaligus cerdik dalam sikap politik luar negeri kita. Politik bebas aktif yang tertuang dalam pidato cerdas berjudul "Mendayung Diantara Dua Karang" yang beliau sampaikan di depan BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 2 Sept 1948.
Tarik-menarik yang jadi ketegangan dalam perang dagang antara AS dan Tiongkok sudah mulai memanas sejak administrasi Obama dulu, sekitar tahun 2015. Saat RUU TPP (Trans Pacific Partnership) yang diajukan Presiden Obama ditolak kongres.
Aturan itu tadinya akan digunakan AS untuk membendung pengaruh ekonomi Tiongkok di Asia. Menurut Obama, Tiongkok akan menciptakan aturan-aturan baru ekonomi di Asia jika AS tak mengaturnya terlebih dahulu.
AS, sesuai kepentingannya, sangat ingin menciptakan zona perdagangan bebas Trans-Pasifik. Karenanya, AS mendorong Jepang, mengupayakan kesepakatan antara 12 negara penggerak 40 persen ekonomi dunia yang tergabung dalam TPP, yaitu AS, Jepang, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, Singapura, Australia, Selandia Baru, Kanada, Meksiko, Cile, dan Peru.
Untuk mengimbangi itu, Tiongkok pun mendorong pemberlakuan FTAAP (Kawasan Perdagangan Bebas di Asia Pasifik) dalam KTT Ke-22 APEC di Beijing (Nov 2014) lalu. Inisiatif ini didukung para pemimpin APEC agar pencapaian FTAAP secara bertahap bisa direalisasikan sesuai kesepakatan walau persetujuan itu tak bersifat mengikat.
Sejak itu tensi hubungan AS-Tiongkok tak pernah turun. Apalagi sekarang administrasi Trump terkesan sedang membangun narasi yang lebih keras (atau cenderung kasar) terhadap Tiongkok.
Dilatarbelakangi persaingan (perang) dagang yang cukup kompetitif, bahkan cenderung ganas, membawa pula kecemburuan global. Isu-isu berbau rasialis tanpa malu-malu ikut diangkat, bahkan oleh presiden Trump, yang misalnya mengaitkan virus Corona sebagai virus berwarga Tiongkok. Dan oleh karenanya RRT mesti mempertanggung-jawabkannya secara global pula.
Lalu RRT pun membalas bahwa HIV-AIDS itu berpaspor USA, jadi Meneer Trump juga mesti ikut mempertanggung-jawabkannya secara global.
Sampai sekarang masih belum jelas apa persisnya yang dimaksud dengan pertanggung-jawaban dari masing-masing pihak itu? Yang jelas, perebutan hegemoni global ini semakin terfaksionalisasi ke beberapa sentra.
Dulu Soekarno tak bisa disetir AS (Amerika Serikat), maka tatkalah ia merasa ditekan, ia pun membentak, "Go to hell with your aid!"
Kala itu Howard Jones adalah Dubes AS di Indonesia, ia seperti ditampar mukanya oleh Soekarno di hadapan 2000an orang yang hadir, termasuk para diplomat negara lain, saat peresmian gedung Wisma Mandiri di jalan MH Thamrin, 25 Maret 1964. Ia menulis dalam memoir-nya (Indonesia: The Possible Dream), "Dia benar-benar melakukannya."
Bung Karno bukan orang yang gampang digertak dan juga tidak bisa 'dibeli'. Ia figur pemimpin yang sangat percaya diri, ia percaya juga dengan Indonesia yang kaya sumber daya alam ini akan mampu berkembang ekonominya secara mandiri, walau tidak sendirian.
Tegas Bung Karno, "Kami menerima bantuan dari banyak negara dan kami berterima kasih atas bantuan tersebut. Tapi kami tidak akan menerima hal itu dengan ikatan politik. Ketika ada negara yang menawarkan bantuan dengan ikatan politik, akan ku beri tahu mereka... Go to hell with your aid!"
Pesan politik ini amat sangat keras. Bung Karno menyampaikannya secara terbuka di hadapan publik internasional, dan tatkala ia berteriak, "Go to hell with your aid!" itu pun dikatakannya sambil menunjuk ke arah Howard Jones! Frontal, tanpa tedeng aling-aling.
Alkisah, keberanian Soekarno ini juga lantaran didukung penuh oleh seorang figur bijak di belakangnya, Ir.H.Raden Djoeanda Kartawidjaja.
Dalam artikelnya di Majalah HistoriA, Martin Sitompul, menceritakan latar belakang Bung Karno bisa punya nyali bersuara selantang itu, katanya,
"Sejak akhir masa kepemimpinan Presiden John F. Kennedy, sebenarnya Sukarno sudah gamang. Surat dari Kennedy pada Oktober 1963 mengisyaratkan pemutusan bantuan Amerika apabila Sukarno bersikeras melancarkan konfrontasi 'Ganyang Malaysia'. Setelah menerima pesan Kennedy, Sukarno mengumpulkan semua pembantu-pembantunya ke Istana Bogor."
Lanjutnya, "Diantara mereka yang paling banyak bicara ialah Sudibyo, Ketua Front Nasional. Setelah satu persatu memberi masukan, tibalah giliran Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Menak Sunda ini dikenal sebagai intelektual bersosok lembut. Dengan suaranya yang lunak, Djuanda membuka buku catatannya. Dibaliknya lembar demi lembar, diperhatikannya angka-angka. Kemudian, tanpa hendak meninggikan suara, Djuanda menyimpulkan langkah yang mesti ditempuh."
Disampaikannya bahwa, "Kalau kita harus makan batu, ya kita makan batu. Akan tetapi saya kira tak perlu sampai begitu," kata Djuanda ditirukan Ganis Harsono sebagaimana terkisah dalam 'Cakrawala Politik Era Sukarno'.
Kata pamungkasnya, "Dalam hal ini kita harus sama-sama menderita dengan rakyat yang selanjutnya akan rela memikul bersama-sama pula. Bagaimanapun perjuangan kita bisa menjadi fatal bila kita berusaha mendapatkan bantuan luar negeri, tapi tidak menemukan jiwa kita sendiri." Nasehat dahsyat dan sangat heroik dari seorang Djuanda Kartawidjaja.
Luar biasa wejangan Djuanda tersebut yang disampaikannya dengan penuh ketenangan tanpa emosi. Menurut Ganis, petuah dari Djuanda itulah yang menjadi tumpuan Sukarno untuk mempersetankan bantuan luar dengan mengatakan, "Go to hell with American aid" -- persetan dengan bantuan Amerika.
Dengan latar belakang sebagai teknokrat, Djuanda menjadi penopang Sukarno menjalankan pemerintahan. Hingga akhir hayatnya, Djuanda terus mendampingi Sukarno. Dia wafat pada 7 November 1963. Tiada sosok sepadan yang mampu menyamai Djuanda dalam mengimbangi Sukarno. Ketiadaannya digantikan oleh tiga wakil perdana menteri sekaligus: Soebandrio. Johannes Leimena, dan Chairul Saleh. (Baca: Martin Sitompul, "Menak Sunda di Balik Murka Bung Karno: Kemarahan Presiden Sukarno kepada AS terluapkan karena masukan seorang tangan kanannya." Majalah HitoriA.Id).
Sekedar mengingatkan, bahwa saat jadi Perdana Menteri ia yang mencetuskan apa yang disebut 'Deklarasi Djuanda' (13 Desember 1957). Deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), dikenal sebagai negara kepulauan. Isinya menyatakan:
Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri; Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan;
Pernyataan yang dibacakan oleh Djuanda tersebut menjadi landasan hukum bagi penyusunan rancangan undang-undang yang digunakan untuk menggantikan 'Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie' tahun 1939. Ketentuan ordonansi ini dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Sehingga dari Deklarasi Djuanda tersebut terkandung tujuan: Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat; Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan; Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Nampaknya kalau bicara soal NKRI dan kedaulatannya, antara Bung Karno dan Djuanda ini memang banyak irisan persamaannya. Chemistry-nya nyambung kalau pakai istilah jaman sekarang. Dan sama-sama punya nyali yang amat besar, juga sama-sama punya harga diri yang amat tinggi. Hanya beda gaya penyampaiannya saja, Bung Karno yang berapi-api, dan Djuanda yang tenang menghanyutkan. Sama-sama powerful.
Banyak juga sejarawan yang menduga, lantaran sikap keras Bung Karno itulah yang dianggap 'membahayakan' hegemoni AS di kawasan Asia Pasific saat itulah yang membuat AS (via CIA) merasa perlu mencari figur lain yang bisa menggantikan Bung Karno. Figur yang lebih akomodatif terhadap kepentingan hegemoniknya.
Lalu cerita selanjutnya kita sudah tahu sama tahu. Beberapa kajian historis ada menyebutkan adanya skenario 'kudeta bertahap', yang akhirnya berhasil mendudukkan Soeharto. Untuk kemudian akhirnya bersama 'Mafia-Berkeley'nya bisa mengakomodir kepentingan para saudagar global dengan mengapling porsi bisnisnya masing-masing di Indonesia. Berbagai kontrak karya pun ditandatangani rejim Soeharto.
Kajian mengenai peristiwa Gestok/G30S bisa ditelusuri dan dibaca lewat berbagai penerbitan. Setelah berkuasa secara otoriter selama 32 tahun, Soeharto (dengan segala jasa dan juga kekurangannya) akhirnya rontok (lengser keprabon mandeg pandito) di tahun 1998.
Wakilnya Prof.BJ Habibie naik panggung, tak lama kemudian diganti oleh Gus Dur. Kyai lurus ini pun dilengserkan -- secara inskonstitusional -- oleh konspirasi para gelandangan politik.
Lalu wakilnya Megawati ketiban pulung untuk mengisi kursi presiden yang ditinggalkan Gus Dur. Kemudian terjadi cekcok politik antara Megawati dengan SBY. Akhirnya SBY pun berhasil jadi presiden RI lewat pemilu yang sah untuk berkuasa selama 2 periode. Lalu digantikan oleh Joko Widodo yang juga terpilih untuk kedua kalinya lewat pemilu yang sah.
Di periode administrasi Joko Widodo inilah gerak nyata nasionalisme demi keadilan sosial bagi rakyat Indonesia mulai terasa lagi gigitannya. Freeport kembali dikuasai negara, dan juga beberapa sumur migas yang selama ini dikuasai asing. Pembangunan infrastruktur digalakkan demi kemandirian bangsa. Pengejaran aset haram hasil korupsi maupun penggelapan yang diumpetin di negara surga pajak pun mulai gencar perburuannya.
Di arena politik internasional pun terjadi pergeseran yang cukup signifikan. Tiongkok mulai unjuk gigi menunjukkan superioritasnya, bukan hanya di kawasan Asia, tapi juga di tataran global-mondial. Mengikuti jejak tetangganya, Jepang dan Korea.
Baru-baru ini (Jumat, 29 Mei 2020) Vincent Bevins, seorang jurnalis dan penulis buku,"The Jakarta Method: Washington's Anti-communist Crusade and the Mass Murder Program That Shaped Our World," menulis kolom opini di harian The New York Times. Judul artikelnya, "The 'Liberal World Order' Was Built With Blood: As the United States reckons with its decline, it should understand where its power came from in the first place."
Baca judul seperti itu jadi langsung teringat kutuk Mpu Gandring. Kekuasaan yang direbut dengan darah, akan jatuh berdarah-darah pula nantinya. Karma.
Katanya, "In 1965 and 1966, the American government assisted in the murder of approximately one million Indonesian civilians. This was one of the most important turning points of the Cold War --- Indonesia is the world's fourth most populous country, and policymakers at the time understood it was a far more valuable prize than Vietnam. But it's largely forgotten in the English-speaking world precisely because it was such a success. No American soldiers died; little attention was drawn to one more country pulled, seemingly naturally, into the United States' orbit."
Selanjutnya disebutkan bahwa proses politik seperti ini sesungguhnya tidaklah wajar (not natural), "But the process was not natural. The U.S.-backed military used a failed uprising as a pretext to crush the Indonesian left, whose influence Washington had been seeking to counter for a decade, and then took control of the country." Kenapa tidak natural?
Karena, "Recently declassified State Department documents make it clear that the United States aided and abetted the mass murder in Indonesia, providing material support, encouraging the killings and rewarding the perpetrators." Begitulah gamblang dipaparkan.
Politik luar negeri hegemonik yang 'menghalalkan segala cara' seperti ini akhirnya kena batunya sendiri. "As Americans reckon with -- and fret about -- their country's diminished position in the world, we need to understand that the United States is not, in fact, beloved as a beacon of freedom, democracy and human rights."
Sampai akhirnya berbagai negara lain, mulai dari Argentina, Republik Demokrasi Kongo, Timor Timur sampai ke Iran, "...millions of people are skeptical of Washington's intentions, even if they have no particular desire to emulate China's government, either." Politik hegemonik yang menghalalkan segala cara ini toh runtuh juga.
Di Indonesia hegemoni AS melalui tentakel rejim orba yang merupakan kompradornya sedang berada di ujung tanduk. Kekuasaan politik orba sudah luluh lantak, yang tersisa adalah kekuasaan modal (uang) yang sedang disembunyikan di beberapa negara surga pajak. Itu pun sedang dipereteli capitnya satu persatu oleh administrasi Joko Widodo.
Loncent kematian kekuatan rejim orba ini sudah terdengar. Jeritan sekarat rejim ini masih terdengar lewat narasi lawas yang terus direpetisi. Seperti isu PKI dan bahaya laten komunisme, sambil dibumbui denganmeniupkan isu utang negara (padahal sekarang utang dipakai untuk sektor produktif, bukan konsumtif seperti mereka dulu).
Tambah lagi sambal pedas dengan terus menyeponsori ormas-ormas radikal, semata untuk merongrong rasa aman dan mendiskreditkan pemerintah yang sah. Upaya legal pun diselenggarakan dengan mendirikan partai-partai politik semu (ersatz-political parties).
Upaya sia-sia sebetulnya, narasi yang lepas dari realitas. Sponsor utama orba (yaitu AS) pun saat ini sedang 'terpojok' dengan berbagai kasus rasialis di dalam negeri, maupun tekanan ekonomi global dari kekuatan-kekuatan baru (the new emerging forces), seperti yang pernah diwacanakan oleh Bung Karno dulu.
"A failure to recognize reality, however, and a desperate attempt to claw back a deeply imperfect global order, could be very dangerous for everyone." -- Vincent Bevins.
Selamat memperingati hari lahirnya Pancasila.
Mari bergotong royong saja, sebagai warga bangsa yang berdaulat di tengah taman sarinya internasionalisme, peri kemanusiaan yang adil dan beradab.
0 Reviews:
Post a Comment