Oleh : Ferdinand Hutahaean
Dia bodoh, dia planga plongo, dia penghianat, dikepalanya hanya uang, dia anjing peking, dia tak pernah mikirin negara, dia salah, dia goblok, dia tak paham apa-apa, rezim komunis, otoriter, arogan, dia pembohong, antek asing. Begitulah standar caci maki dan penghinaan yang dilakukan oleh kaum dengki hati dengki pikiran untuk melampiaskan hasrat dengkinya yang membara setiap hari.
Dengki didalam hati memang menjadi seperti tungku api yang terus membara dan memproduksi caci maki, fitnah dan hoax yang terus menumpuk dikepala memenuhi ruang tengkorak menggantikan otak yang harusnya mengisi ruang tersebut. Memenuhi mulut dan lidah untuk disemburkan kemana-mana sambil menepuk dada merasa sudah jadi pejuang dan pahlawan bagi rakyat. Sementara yang dicaci maki, difitnah sedang bekerja mati-matian untuk memberi kesejahteraan bagi bangsa, negara dan rakyat diantara segala kekurangan dan keterbatasan. Mereka meludahi berkah dan mengendus-endus kotoran. Sungguh kasihan..!
Saya pro demokrasi, saya pejuang demokrasi, saya berjuang untuk rakyat, saya nasionalis, saya mencintai bangsa ini, saya jujur, saya menjunjung tinggi hukum, saya patriot, saya benar, saya orang beriman, saya berani. Begitulah standar kaum dengki itu memuji dirinya. Merasa pejuang demokrasi tapi tidak menghormati panggilan Polisi sebagai penegak hukum. Merasa jujur, tidak bohong dan bukan penghianat tapi menyebar fitnah, hoax dan seligkuh menghianati keluarga. Merasa patriot, merasa nasionalis tapi membenci Pancasila, intoleran dan ingin mengganti ideologi bangsa. Merasa berjuang untuk rakyat, tapi memperkaya diri dan faktanya bahwa rakyat diurus oleh yang dicaci makinya.
Begitulah realita terbalik dari sebuah kehidupan yang sedang nyata-nyata terjadi dibelahan bumi bernama Indonesia. Negeri yang seharusnya kita cintai dengan hati yang jujur bukan dengan sebuah kemunafikan. Logika dan fakta terus dirusak dengan menggunakan logika dan fakta hasil tungku api kedengkian yang membara, sesat dan menyesatkan.
Logika dan nalar sehat, normal dan positif tentu akan meyakini bahwa tidak satupun pemerintah yang ingin rakyatnya mati, atau bahkan sengaja ingin membunuh rakyatnya, membuat rakyatnya lapar atau menderita. Bahkan setan dan iblis pun tak akan memberi ular kepada anaknya yang meminta roti. Tapi soal penilaian gagal atau berhasil, puas atau tidak puas, harus dipahami bahwa kebijakan apapun tidak aka bisa memuaskan semua pihak pasti ada pro kontra dan perdebatan.
Lantas bagaimana memperbaiki situasi kondisi yang mana ruang bernafas kita terus disesaki oleh semburan dusta, hoax, caci maki, hinaan dan fitnah? Sepertinya New Normal kejiwaan amat sangat dibutuhkan saat ini untuk merekonstruksi atau membangun ulang kejiwaan kaum dengki. Mengganti tungku api dengki dihati mereka dengan tungku api yang menebarkan kehangatan. Dengan begitu pikiran dan mulut mereka bisa kemudian menyemburkan kebenaran dan kasih. New Normal kejiwaan ini akan menjadi kunci ketentraman hidup bagi semua terutama bagi perjalanan bangsa yang kita cintai ini.
Salam
Jakarta, 28 Mei 2020
0 Reviews:
Post a Comment