Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo. Foto/Reuters
BEIJING - Media milik pemerintah China menyerang Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo yang berkomentar tentang situasi di Hong Kong. Mantan direktur FBI itu disebut sebagai seorang yang sombong dan hilang akal saat menggambarkan AS sebagai negara yang narsis.
Editor Global Times, Hu Xijin, dalam editorialnya menyebut Pompeo telah membuat pernyataan yang sombong, hilang akal terkait otonomi Hong Kong. Artikel itu berpendapat bahwa menteri luar negeri AS itu mewakili geopolitik AS yang histeris terhadap semua yang ada hubungannya dengan China.
"Apakah otonomi tingkat tinggi yang dimiliki Hong Kong harus ditentukan oleh AS di Washington terlalu narsis. Politisi AS seperti Pompeo dengan sombong percaya bahwa nasib Hong Kong ada di tangan mereka," tulis Xijin.
"AS adalah negara adidaya, tetapi kekuatan nasionalnya telah melemah dalam beberapa tahun terakhir karena perang dagang dan omong kosong yang mereka dorong ini. Sekarang, sakit parah. Pompeo lebih baik memakai topeng di wajahnya sebelum dia berbicara dengan liar," editor itu menegaskan seperti dikutip dari Newsweek, Jumat (29/5/2020).
Newsweek menghubungi Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar China di Washington, untuk memberikan tanggapan, tetapi mereka tidak menanggapi sebelum dipublikasikan.
Sebelumnya Menlu AS Mike Pompeo menyatakan Hong Kong tak lagi layak mendapat status khusus berdasarkan Undang-undang (UU) AS.
"Setelah mempelajari dengan hati-hati perkembangan selama periode pelaporan, saya menyatakan kepada Kongres hari ini bahwa Hong Kong tidak memberikan jaminan perlakuan yang sesuai dengan hukum Amerika Serikat dengan cara yang sama seperti hukum AS terapkan ke Hong Kong sebelum Juli 1997," kata Pompeo dalam sebuah Pernyataan hari Rabu.
"Tidak ada alasan yang dapat menyatakan hari ini bahwa Hong Kong mempertahankan otonomi tingkat tinggi dari China, mengingat fakta di lapangan," tambahnya. (Baca: Pompeo: Hong Kong Tak Lagi Layak Dapat Status Khusus AS)
Pernyataan Pompeo ini datang ketika China bertujuan untuk menerapkan undang-undang keamanan nasional baru di Hong Kong. Menurut para kritikus pemberlakukan undang-undang ini akan mengakhiri kebijakan "satu negara, dua sistem" yang diberlakukan setelah wilayah administratif khusus itu diserahkan Inggris ke Beijing pada tahun 1997.
Inggris, Kanada dan Australia juga sangat kritis terhadap upaya Cina, yang para analis peringatkan akan menghambat kebebasan relatif yang dinikmati warga Hong Kong selama beberapa dekade.
Meskipun ada protes internasional, parlemen China mendukung pemberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong. Undang-undang itu disahkan dengan dukungan luar biasa dari anggota parlemen China, dengan 2.878 menyetujui, satu menentang dan enam anggota parlemen abstain.
"Keputusan yang diadopsi oleh sidang (Kongres Rakyat Nasional) dirancang untuk implementasi yang mantap dari 'satu negara, dua sistem' dan kemakmuran serta stabilitas jangka panjang Hong Kong," kata Perdana Menteri China Li Keqiang pada konferensi pers, membela undang-undang tersebut. (Baca: Abaikan Seruan Dunia, China Berlakukan UU Keamanan Nasional di Hong Kong)
Ribuan pengunjuk rasa telah berkumpul di Hong Kong untuk memprotes undang-undang tersebut. Aksi protes ini terjadi setelah bentrokan hebat antara demonstran dan polisi selama berbulan-bulan pada tahun 2019. Setelah demonstrasi massa itu, penduduk Hong Kong memberikan suara sangat besar untuk mendukung calon pro-demokrasi dan kandidat oposisi di pemilihan lokal di wilayah itu pada November lalu.
Direktur Eksekutif Human Rights Watch, Kenneth Roth, mengecam keras upaya China untuk menindak kebebasan Hong Kong dan secara khusus "memanggil" Presiden Xi Jinping.
"Xi Jinping bergerak untuk menghancurkan esensi Hong Kong — apa yang terjadi di Hong Kong. Sekarang ia harus menghadapi kenyataan bahwa rakyat Hong Kong tidak ingin hidup di bawah kediktatoran — itu sebabnya mereka memberi contoh yang tak tertahankan bagi Xi Jinping," kata Roth di akun Twitternya.
0 Reviews:
Post a Comment