Gambar ilustrasi Trias Politika
Oleh: F Didi Nong Say
Tahun 1935, 2 putri Sikka berusia 11 tahun yaitu Tereja da Silva dan Helena Pareira datang menuntut ilmu di Schakelschool Ndao Ende. Menurut ceritera Frans Seda, teman sekelas mereka selama 5 tahun di Ndao, Helena dan Tereja merupakan 'eksperimen emansipasi' raja Sikka Don Thomas da Silva dalam hal pendidikan. Bisa jadi keduanya dipersiapkan untuk menjadi wanita terdidik yang kelak layak dipersunting oleh putera raja atau elite lokal Sikka.
Semasa pendidikan di Ndao itu Helena pertama kali melihat sosok Soekarno. Soekarno pernah beberapa kali mengunjungi Schackelschool Ndao untuk mencari anak anak yang cakap berbahasa Melayu dan Belanda untuk diajak bermain tonil di Ende.
Saban hari Minggu pagi, para siswa Schakelschool selalu jalan berbaris menuju ke gereja Ende untuk mengikuti misa. Kala itu mereka sering melihat Soekarno, interniran dari Jawa itu tinggal di sebuah rumah di Ambugaga Ende. Soekarno biasanya duduk melamun atau membaca buku buku tebal di bawah sebuah pohon di halaman rumah itu. Ketika barisan siswa Schakel lewat di depan rumah di Ambugaga, Soekarno biasa melambaikan tangan dan melempar senyum yang ramah kepada para siswa.
Tamat Schakelschool pada 1940, dengan menumpang kapal pengangkut sapi KMP Waikelo, bersama Frans Seda, Silvester, Herman Fernandez, Willem Wowor, Dion Lamuri dan lain lain, Helena berangkat ke Jawa. Frans Seda dan kawan-kawan menuju ke Sekolah Guru Bantu Van Lith di Muntilan, sedangkan Helena menuju ke Mendut, sebuah sekolah keputrian yang dibina oleh suster suster Katolik untuk persiapan pendidikan di bidang keperawatan.
Tahun 1945, Helena menamatkan pendidikan keperawatan di RS. Panti Rapih Jogyakarta,
dan terus bekerja di rumah sakit tersebut. Barangkali Helena merupakan perawat pertama asal Flores yang tamat dari RS. Panti Rapih Jogyakarta. Helena menyaksikan dan mengalami dampak Perang Dunia II di rumah sakit tempatnya bekerja. Dirinya ikut merawat banyak korban pertempuran 'palagan' Ambarawa antara Tentara Indonesia yang dipimpin Jenderal Soedirman melawan Tentara Inggris (Sekutu) yang datang ke Indonesia untuk melucuti bala tentara Jepang.
Tercatat antara tahun 1946 hingga 1949, Jogyakarta menjadi ibukota sementara Republik Indonesia. Saat itu, Presiden Soekarno dan keluarganya tinggal di Jogyakarta. Di masa sulit itu, dukungan Gereja Katolik bagi kehidupan keluarga Bung Karno sebagaimana ditunjukkan oleh Uskup Semarang Mgr. Soegiyopranoto sangat berarti. Uskup Soegiyopranoto tercatat pernah memberikan bantuan logistik untuk keluarga Bung Karno, yaitu ketika Bung Karno ditangkap Belanda pada Clash II. Uskup Semarang ini juga memerintahkan para suster dan perawat dari RS. Panti Rapih untuk selalu siap melayani segala kepentingan istri kepala negara, Ibu Fatmawati.
1949, ketika Ibu Fatmawati mulai hamil mengandung Racmawati para perawat dan bidan dari RS. Panti Rapih ikut tinggal di dalam istana (live in) untuk melayani kebutuhan isteri Bung Karno tersebut. Salah satu di antara perawat itu adalah Helena Pareira.
Helena pernah menceriterakan sepenggal pengalamannya merawat Ibu Fatmawati. “Bung Karno itu suka sekali mencuri curi pandang ketika para perawat sedang memandikan dan membersihkan Ibu Fatma..". Sebagai perawat dan mengikuti perasaan wanita, Helena pernah menegur secara sopan sang proklamator tersebut agar jangan datang menonton ketika ibu Fatmawati sedang dimandikan. Namun Bung Karno berkilah bahwa itu adalah pemandangan terindah yang tak boleh untuk dilewatkan”.
Para perawat dan bidan dari RS Panti Rapih yang merawat ibu Fatmawati di Jogyakarta tersebut selanjutnya ternyata ikut diboyong Bung Karno ke Jakarta setelah pengakuan kemerdekaan RI oleh Belanda 1950. Mereka live in di istana sampai ibu Fatmawati melahirkan Rahmawati.
Bung Karno selalu mengingat semua orang yang telah membantu dirinya maupun keluarganya. Tidak heran bahwa di tahun 1957, pada kunjungan ketiga Bung Karno ke Ende, dari atas panggung, Bung Karno di awal orasinya sempat menanyakan keberadaan suster perawat asal Flores bernama Helena...
(Tambahan terkait kota Ende...
Helena Pareira mengisahkan pula bahwa... sekitar tahun 1957 ketika ia mengikuti suaminya berkarya di kota itu mengurus Flores Copra Fonds, di kota Ende hadirlah seorang dokter muda yang datang praktek...namanya dokter Ben Mboi...
Dokter ini perangainya sangat disiplin terkait kesehatan...
Orang orang Ende yang suka 'nongkrong' pagi pagi di tepi pantai Ende sering ditegur dokter ini dengan keras karena selain tidak sehat juga tidak sopan. Namun ternyata orang Ende tersinggung karena tradisi mereka itu ditegur...akhirnya mereka melakukan demonstrasi terhadap dokter muda itu...Sebuah demo yang pernah menjadi buah bibir orang Ende selama beberapa dekade...karena kediaman dokter muda itu akhirnya menjadi sasaran (maaf) faeses manusia. Ceritera Helena, dokter itu selamat karena bisa diselundupkan oleh suami Helena ke rumahnya disebelah kediaman dokter tersebut...
0 Reviews:
Post a Comment