ilustrasi
Sebuah pandangan media asing tentang bagaimana respon masyarakat Indonesia lebih baik daripada respon sebagian besar warga di seluruh Dunia. (Diterjemahkan dari thediplomat.com)
Oleh : Shane Preuss, 24 April 2020.
Ya. Pemerintah Indonesia tersandung, namun kebangkitan gerakan masyarakat sipil telah terjadi.
"Para turis beruntung bisa meninggalkan Indonesia. Ada jutaan WNI yang tidak ada jalan keluar". Ini adalah kesimpulan dari laporan ABC News (media Australia) pada akhir Maret terhadap situasi yang dihadapi Indonesia terkait pandemi Covid-19.
Laporan tersebut berfokus pada "adegan mengerikan" dari "meningkatnya jumlah orang yang mengalami kegagalan pernapasan" juga menyoroti masalah kemiskinan dan tekanan yang ditimbulkan oleh virus pada sistem kesehatan negara itu. Kesan keseluruhan adalah bahwa ini adalah negara yang hancur.
Laporan dan analisis berikutnya dari media Australia menyoroti rendahnya tingkat pengujian di Indonesia serta kesalahan langkah yang dilakukan pemerintah dalam tanggapan awal terhadap krisis. Walaupun bukan Indonesia saja. Pemerintah di seluruh dunia, bahkan WHO-pun salah meperhitungkan ancaman ini.
Indonesia, negara dengan populasi terpadat keempat di dunia dan rumah bagi wilayah perkotaan terbesar kedua di dunia, Jabodetabek, tentu saja menghadapi tantangan yang sangat besar. Pentingnya menyeimbangkan ekonomi dan kesehatan masyarakat juga merupakan ketegangan yang terasa lebih akut di negara-negara berkembang, di mana penurunan ekonomi dirasakan lebih kuat.
Namun, apa yang dilewatkan media Australia adalah ketahanan masyarakat Indonesia. Ada kecenderungan untuk menggambarkan negara ini sebagai negara yang malang dan tak berdaya. Video laporan ABC News di atas diedarkan pada grup-grup WhatsApp orang Indonesia, dengan nada merendahkan terkait bagaimana mereka dilihat oleh negara lain.
Walaupun negara ini jelas menghadapi tantangan penting, perlu diingat bahwa orang Indonesia telah mengatasi banyak cobaan besar sebelumnya: bencana alam yang menghancurkan, pemerintahan kolonial selama berabad-abad, perjuangan untuk kemerdekaan, konflik sipil, dan kekacauan yang terjadi setelah krisis keuangan Asia 1998, yang menyebabkan kejatuhannya kediktatoran dan reformasi sistem politik dan ekonomi negara.
Melalui semua ini, bukti menunjukkan bahwa orang Indonesia telah belajar untuk bersatu ketika masa-masa sulit, rasa tanggung jawab dan sukacita dalam membantu satu sama lain saat dibutuhkan.
Dalam Legatum Prosperity Index 2019, Indonesia berada di peringkat kelima di dunia untuk modal sosial dan peringkat pertama untuk partisipasi masyarakat sipil dan sosial, dengan tingkat relawan tertinggi dibanding negara mana pun. Dalam World Giving Index oleh Charities Aid Foundation (Yayasan Amal Dunia) tahun 2018, masyarakat Indonesia juga menduduki peringkat teratas dalam frekuensi menyumbang dan menjadi sukarelawan.
Karena itu tidak mengherankan melihat banyak kampanye crowdfunding yang telah diluncurkan pada platform lokal seperti kitabisa.com untuk membantu mereka yang membutuhkan. Termasuk di dalamnya mengumpulkan dana untuk mendukung pekerja sektor informal, seperti penjual jajanan, pemulung, dan pengemudi ojek, dan untuk membeli alat pelindung diri (APD) untuk petugas kesehatan.
Pada akhir Maret, 15.000 mahasiswa kedokteran dari 158 universitas juga telah mendaftar untuk menjadi sukarelawan.
Tingkat inovasi di Indonesia juga diremehkan, dengan universitas dan perusahaan teknologi berkontribusi besar terhadap perjuangan negara melawan COVID-19. Sebagai contoh, Universitas Indonesia telah mengembangkan bilik disinfeksi berbasis ultraviolet untuk peralatan medis, dan sedang melakukan penelitian dan pengembangan APD, alat rapid test COVID-19, dan alat perawatan.
Institut Teknologi Sepuluh November(ITS) juga bekerja sama dengan Rumah Sakit Universitas Airlangga untuk mengembangkan ruang desinfektan yang menggunakan ozon (O3) ketimbang disinfektan kimia yang tidak aman, serta robot yang dapat digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh dengan pasien, memantau kondisi mereka, dan mengirimkan barang-barang seperti makanan dan pakaian. Banyak perusahaan manufaktur juga mulai memproduksi APD dan pembersih tangan, sementara yang lain bermitra dengan berbagai universitas untuk memproduksi ventilator.
Indonesia juga merupakan rumah bagi perkembangan pesat startup dan sektor digital. Aplikasi online lokal untuk belanja, pendidikan, kesehatan, dan travel telah memungkinkan masyarakat untuk mempertahankan kemiripan hidup normal. Fitur pengiriman makanan oleh aplikasi Indonesia Gojek dan aplikasi Grab yang berbasis di Singapura memungkinkan pengemudi dan penjual makanan mempertahankan pendapatan mereka, sementara banyak platform e-commerce lokal, seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Blibli, memampukan untuk pembelian dan pengiriman barang dan bahan makanan.
Bidang Telemedicine juga sedang meningkat, dimana pemerintah melirik sektor ini untuk membantu sistem perawatan kesehatan. Alodokter, salah satu aplikasi telemedicine paling populer di negara itu, mampu menarik 900.000 pengguna untuk layanan baru konsultasi COVID-19 online dalam waktu seminggu setelah peluncurannya di bulan Maret. Sebagai tambahan pilihan konsultasi kesehatan online, aplikasi Halodoc juga telah berkolaborasi dengan lebih dari 20 rumah sakit di Jabodetabek dan Karawang, Jawa Barat, untuk memungkinkan orang menjadwalkan Rapid test atau PCR test COVID-19. Resep dari konsultasi online juga dapat dibeli dan dikirim melalui Gojek.
Sementara pemerintah Indonesia, seperti juga semua pemerintah, terus berjuang dengan besarnya tantangan, justru inisiatif dari bawah ke atas ini menunjukkan sisi lain dari bagaimana masyarakat negara tersebut berespon terhadap COVID-19.
Masyarakat Indonesia akan menghadapi krisis COVID-19 dengan rasa percaya diri bersama, dan itu adalah sesuatu yang berharga untuk disorot.
Shane Preuss adalah ekspatriat Australia yang berprofesi sebagai copy editor dan konsultan bahasa di The Jakarta Post
Sumber: thediplomat
0 Reviews:
Post a Comment