ilustrasi
Oleh: Saiful Rahim
Kita harus berunjuk rasa atau setidak-tidaknya bikin spanduk dan pasanglah di depan warung kopi Mas Wargo ini,” kata seseorang yang masuk ke warung dengan nafas megap-megap.
“Setuju! Aku sarankan tulisan di spanduknya adalah: “Sekarang semua tunai. Besok lusa boleh utang,” sambut orang yang duduk di dekat pintu masuk, seraya bergeser memudahkan orang yang baru datang itu masuk dan mencari tempat duduk.
“Wah, kalau bunyi spanduknya seperti itu sih keenakan Dul Karung, dong. Besok atau lusa, dia bisa ke sini membawa sanak famili sekampung penuh untuk merayakan hari kemerdekaan berutang,” sambar orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang.
Bahana suara tawa pun meledak dari mulut setiap hadirin. Kecuali mulut Dul Karung dan Mas Wargo.
“Saudara-saudara salah! Waktu yang disebut besok dan lusa itu sesungguhnya tidak ada,” sela orang yang menyarankan isi tulisan di dalam spanduk.
“Maksud Bung apa?” tanya orang yang duduk di ujung sebelah kiri bangku panjang dengan tekanan nada yang tinggi.
“Sekarang kan hari Minggu? Nah, setelah hari Minggu lalu hari apa?” tanya orang yang menyarankan teks spanduk itu lagi dengan nada ucap yang tenang dan santun.
“Ya hari Senin dong! Anak yang belum lahir pun tahu kalau itu sih!” kata orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang dengan nada tinggi.
“Nah! Hari Senin kan? Bukan hari besok lusa!” sambar orang yang menyarankan teks spanduk dengan nada santun.
“Jadi kalau tulisan di spanduk itu berbunyi: ‘Sekarang semua harus tunai, besok lusa boleh utang.’ Berarti tidak ada hari untuk berutang, karena tidak ada hari yang bernama “Hari besok lusa” seperti yang tertulis di spanduk tersebut,” kata orang yang menulis teks spanduk. Kali ini dia mendapat anggukan kepala dari hampir semua hadirin.
“Sebenarnya ketika saya masuk ke warung kopi dan mengajak berunjuk rasa atau membuat spanduk, tujuannya bukan begitu hebat. Ketika tadi saya sedang berjalan di seberang, melihat warung kopi ini ramai, tiba-tiba saya ingin mencoba apa enaknya sih? Kok ramainya bukan main? Tetapi ketika saya menyeberang jalan, susahnya bukan main juga. Mobil dan motor saling serobot seperti sengaja bikin saya takut. Karena itu ketika masuk ke warung, saya langsung mengajak hadirin berunjuk rasa atau memasang spanduk agar lalu lintas tertib, sehingga orang yang melintas di sana, tidak takut ditabrak mobil atau motor. Eee hadirin warung kopi ini malah berbicara soal utang piutang. Bahkan teks spanduk yang saya sarankan agar orang-orang menyeberang jalan tidak takut pun mereka kaitkan juga ke soal utang piutang,” keluh orang yang mampir di warung kopi Mas Wargo dari seberang jalan raya yang melintang di depannya.
“Mungkin sebentar lagi mobil dan motor yang berliweran di jalan raya akan berkurang,” kata orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang.
“Dari mana Anda mendapat pikiran aneh seperti itu?” tanya orang yang duduk di kiri Dul Karung .
“Aku baca berita di koran, katanya Pemda dan DPRD DKI sudah bersepakat akan menaikkan pajak pengelolaan parkir mobil dan motor secepatnya,” kata orang duduk tepat di kanan Dul Karung.
“Pajak pengelolaan parkir dinaikkan, tarif parkir otomatis ikut naik . Tetapi jangan mimpi, apalagi mengira, pemilik mobil dan motor akan sampai hati memenjarakan kendaraannya di rumah. Kita malah justru harus kuatir suatu hari kelak para pemilik kendaraan bermotor itu terkena serangan virus yang membuat orang tidak mau berhenti mengendarai mobil atau motor keliling kota. Covid-19 yang sekarang menggoncang dunia, kan akibat virus Corona. Dan Corona itu pernah menjadi merek mobil yang digila-gilai banyak orang,” kata Dul Karung seraya meninggalkan warung kopi Mas Wargo dengan begitu saja. (***)