MILAN - Korban tewas akibat pandemi virus Corona jenis baru, Covid-19 di Italia telah menembus angka 10 ribu jiwa, Sabtu (28/3). Jumlah ini adalah sepertiga dari seluruh korban tewas di dunia. Fakta ini menjadikan Italia sebagai negara dengan korban meninggal terbesar, sekitar tiga kali lipat dari jumlah korban tewas di China, tempat Covid-19 pertama kali ditemukan.
Para pejabat mengatakan, 889 lebih banyak orang meninggal dalam 24 jam sebelumnya. Ini adalah penghitungan harian tertinggi kedua sejak epidemi muncul pada 21 Februari. Kasus yang dikonfirmasi meningkat sekitar 6.000 menjadi 92.472, jumlah kasus kedua tertinggi di dunia di belakang Amerika Serikat.
Para pejabat mengatakan, jumlah itu akan lebih buruk tanpa kebijakan lockdown secara nasional. “Tanpa langkah-langkah ini, kita akan melihat angka yang jauh lebih buruk dan layanan kesehatan kita akan berada dalam keadaan yang jauh lebih dramatis,” ujar Angelo Borelli, kepala Perlindungan Sipil Italia, seperti dikutip dari Reuters.
“Kami akan berada dalam situasi yang tidak berkelanjutan,” lanjut Borelli, yang membacakan angka setiap hari kepada media dan warga Italia yang cemas.
Italia, negara Barat pertama yang memberlakukan pembatasan ketat terhadap pergerakan masyarakat, setelah mengetahui adanya wabah Covid-19 di wilayah mereka lima pekan lalu. Sejak itu, Italia kian memperketat aturan lockdown.
Kian banyaknya jumlah korban tewas juga menutup kemungkinan pembukaan lockdown pada pekan depan. "Ada elemen yang membuat kami percaya bahwa rencana berakhirnya ketentuan (pembatasan) pada 3 April harus ditunda," kata Menteri Perindustrian Italai, Stefano Patuanelli kepada stasiun televisi Italia Rai.
Giuseppe Provenzano, Menteri Italia untuk wilayah selatan menyatakan kekhawatiran tentang potensi ketegangan sosial dan kerusuhan sipil di daerah yang lebih miskin, jika epidemi bergerak ke selatan.
"Saya khawatir, bahwa kekhawatiran yang memengaruhi sebagian besar populasi atas kesehatan, pendapatan, dan masa depan, dengan kelanjutan krisis, akan berubah menjadi kemarahan dan kebencian," jelas Provenzano kepada surat kabar La Repubblica.