Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji
JAKARTA - Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji mendukung apabila KPK memerlukan Dewan Pengawas yang berguna untuk mengawasi kerja KPK tiap saat. Hal itu ia sampaikan untuk merespons salah satu pasal krusial dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terkait pembentukan dewan pengawas.
Indriyanto menjelaskan di tengah iklim demokrasi yang berjalan di Indonesia saat ini, sangat wajar bila tiap lembaga negara, terlebih lagi lembaga 'superbody' seperti KPK membutuhkan pengawasan yang melekat.
"Tentang Dewan Pengawas adalah sesuatu yang wajar. Karena pada negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK, disyaratkan ada badan pengawas yang independen, MA dengan KY, Polri dengan Kompolnas, Kejaksaan dengan Komjak," kata Indriyanto dalam keterangan resmi yang diterima media ini, Sabtu (7/9).
Indiyanto sendiri menilai revisi UU KPK oleh DPR ini sudah memenuhi pendekatan filosofi keadilan restoratif. Pendekatan ini, kata dia, menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan dan tidak semata-mata soal memberikan efek jera.
Menurutnya, pola dan cara penindakan dengan efek jera tidak memberikan manfaat pengembalian optimal keuangan negara saat berkaca pada kasus korupsi yang ditangani KPK sampai hari ini.
"Karena itu filosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis yang utama," kata dia.
Tak hanya mendukung Dewan Pengawas, Indriyanto juga menyoroti proses penghentian penyidikan atau biasa disebut SP3 yang selama ini tak dimiliki KPK.
Kewenangan mengeluarkan SP3 ini, kata dia, bertujuan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan. SP3 juga bisa diterapkan dalam kondisi yang sifatnya limitatif dan eksepsional.
"Misalnya saja seorang ditetapkan tersangka saat proses penyidikan dan kemudian menderita sakit yang secara medis dinyatakan unfit to stand trial secara permanen [tidak layak diajukan ke pengadilan maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya," kata dia.
Di sisi lain, Indriyanto menekankan munculnya penolakan dari masyarakat sipil atas revisi UU KPK semata-mata karena perbedaan persepsi. Masyarakat sipil itu, kata dia, masih memiliki persepsi bahwa pemberantasan korupsi harus dengan pendekatan efek jera.
Menurutnya, draf revisi UU KPK yang disusun oleh DPR tanpa menghilangkan pola penindakan KPK sudah sesuai untuk prospek ke depan. Ia menyatakan tidak perlu dicurigai dan khawatir dengan rencana revisi UU KPK tersebut.
"Ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu melalui otoritas yudikatif dan tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini," ujarnya.