Ketua KPK Agus Rahardjo
JAKARTA - Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) mencatat setidaknya terdapat sembilan persoalan dalam naskah revisi UU KPK yang dapat melumpuhkan lembaga antirasuah itu.
Ketua KPK Agus Rahardjo pun akan menyurati Presiden Jokowi agar tak terburu-buru membahas revisi UU tersebut.
"Terdapat sembilan persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK," kata dia dalam konferensi pers di gedung KPK, Kamis (5/9).
Persoalan-persoalan itu adalah, pertama, independensi KPK terancam. Pasalnya, dalam naskah revisi itu KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun; KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat.
Selain itu, Pegawai KPK dimasukkan dalam kategori Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.
Kedua, pembatasan penyadapan. Bahwa, penyadapan dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK dan dibatasi dalam tempo 3 bulan.
Sementara, pemilihan Dewan Pengawas KPK dilakukan oleh DPR dan menyampaikan laporan ke dewan, serta kasus korupsi canggih butuh waktu panjang dalam persiapannya.
"Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK," ucap Agus.
Ketiga, Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR. Keberadaan lembaga baru ini dinilai menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena penyadapan, penggeledahan dan penyitaan harus mendapat izin dewan ini.
Keempat, pembatasan sumber Penyelidik dan Penyidik KPK. Bahwa, Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan Penyidik PNS.
Menurut KPK, hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut KPK berhak mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
"Hal ini berisiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara," tutur Agus.
Kelima, penuntutan perkara korupsi harus dilakukan lewat koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
"Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara," tutur Agus.
Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria dalam penanganan kasus korupsi. Pasalnya, tidak ada lagi ketentuan seperti Pasal 11 huruf b UU KPK saat ini, bahwa kategori kasus yang ditangani KPK adalah yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.
Ketujuh, pemangkasan kewenangan KPK mengambil alih perkara di tahap penuntutan. Dalam naskah yang baru, pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan.
Kedelapan, penghilangan kewenangan-kewenangan strategis KPK pada proses penuntutan. Yakni, pelarangan ke luar negeri, permintaan keterangan perbankan, penghentian transaksi keuangan yang terkait korupsi, permintaan bantuan Polri dan Interpol.
Kesembilan, pemangkasan kewenangan KPK mengelola Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Dalam naskah revisi UU KPK, pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi.
"Hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara," imbuh Agus.
Atas persoalan itu, Agus mengaku akan menyurati Jokowi sebagai langkah konkret agar tidak terburu-buru dalam mengeluarkan Surat Presiden yang terkait dengan RUU KPK.
"Sebelum mengirim surpres (surat presiden, tanda persetujuan pembahasan revisi di dewan), Presiden mendengarkan dulu para ahli, akademisi perguruan tinggi dan banyak pihak," kata Agus.
Selain akan membahas mengenai RUU KPK, Agus menuturkan melalui surat itu, komisi antirasuah ini juga akan memberikan evaluasi terkait dengan 10 calon pimpinan KPK.
Sebelumnya, DPR telah mengesahkan RUU KPK inisiatif DPR dalam rapat paripurna, Kamis (5/9) dan telah mengirimkan draf revisi UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Korupsi ke Presiden RI Joko Widodo. (mjo/arh)