ilustrasi
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Madani Penyelamat KPK menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) yang sedang berjalan atas inisiatif DPR RI.
Koalisi mengatakan ada potensi transaksi politik antarpartai di DPR dalam revisi yang digulirkan di akhir masa kerja DPR.
"Kita patut duga sedang terjadi transaksi DPR dan pemerintah," kata analis politik Arif Susanto mewakili Koalisi di Jakarta, Senin (9/9).
Dugaan transaksi politik salah satunya berdasarkan prosedur pengajuan produk legislasi yang dianggap cacat.
Menurut Arif Revisi UU KPK seharusnya dimasukkan terlebih dulu dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Bukan langsung diajukan dan disepakati di rapat paripurna.
"Persis menjelang akhir jabatan mereka, mereka masukkan kembali tidak melalui prolegnas, tapi tiba-tiba saja disepakati di paripurna," kata dia.
Selain dari sisi prosedur yang cacat, Koalisi juga menyoroti pengebutan revisi UU KPK yang berbarengan dengan revisi Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3).
Revisi UU KPK, kata Arief, didorong oleh dua partai besar yakni PDI Perjuangan dan Golkar. Sementara UU MD3 dikejar oleh partai-partai di luar pemerintahan, salah satunya Gerindra.
Hal tersebut patut diduga sebagai transaksi antarpartai.
"Ketika usaha revisi UU KPK antara 2011 2012, itu salah satu partai yang sangat keras menentangnya adalah PDIP. Tahun 2017, salah satu partai yang sangat keras menentangnya adalah Gerindra. Sekarang semua partai menyepakati. berarti tidak ada satu posisi yang konsisten persis menunjukkan semua tidak lebih dari membangun posisi tawar," ujar dia.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari meminta DPR menghentikan pembahasan revisi UU KPK dan kembali menyelesaikan prolegnas.
Ia juga meminta Presiden Jokowi untuk mengambil langkah tegas. Sebab Revisi UU KPK atas inisiatif DPR tak akan gol jika tanpa persetujuan presiden.
"Presiden segera bersikap menolak rencana revisi UU KPK inisiatif DPR RI, dengan tidak mengeluarkan surat presiden," tuturnya.