Marina Catarina Sumarsih alias Sumarsih
INFILTRASI - Langkah dan tubuh Marina Catarina Sumarsih alias Sumarsih terlihat lemah di usianya yang tidak muda lagi, 66 tahun. Namun suaranya masih berapi-api saat bicara soal pelanggaran HAM di tahun 1998, terutama soal peristiwa Semanggi I yang menewaskan anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan.
Sejak saat itu pula ia berjuang untuk mengungkap pelaku penembakan puteranya di peristiwa itu. Sumarsih aktif dalam Gerakan Kamisan yang menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sejak Januari 2007.
Ia juga adalah salah satu presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSSK) yang juga sudah bertemu dengan Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Mei, guna menyampaikan pengakuan keberadaan pelanggaran HAM dan berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM kepada Jokowi.
Sumarsih mengaku sudah menyampaikan kasusnya kepada sejumlah presiden. Namun, prosesnya jalan di tempat. Ia mengaku mulai kehilangan harapan untuk mengungkap kasus penembakan anaknya dan korban lainnya di peristiwa Semanggi I, Semangi II, dan Trisakti.
Menurutnya, siapa pun presiden Indonesia bisa saja berjanji. Tapi tidak ada satu pun yang merealisasikannya.
"Semua presiden berjanji," ucap Sumarsih, di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di Senen, Jakarta Pusat, pada Rabu (14/11).
"Dari Pak Habibie, waktu 1998 itu berjanji akan menyelesaikan kasus. Terus Presiden SBY, kami juga pernah diterima dan berjanji ini kasus Semanggi I, Semanggi II, Trisakti diselesaikan sesuai undang-undang yang berlaku. Tapi ternyata kenyataannya juga sampai akhir pemerintahannya tidak diselesaikan," tutur dia.
Kecewa Jokowi
Sumarsih juga mengaku kecewa dengan janji penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang disampaikan Presiden Jokowi. Selain tak memenuhi janjinya, Jokowi disebut malah mengangkat perwira militer yang diduga terlibat dengan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Kemanan, yakni Wiranto.
Diberitakan sebelumnya, selain pernah bertemu keluarga korban pelanggaran HAM dan kelompok Aksi Kamisan di Istana, Jokowi juga sempat memasukkan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu yang tercantum dalam Nawacita.
"Saya ini seharusnya sudah putus asa ketika Pak Wiranto sudah bergandengan mesra duduk berdampingan dengan Jokowi. Orang terlibat juga dalam kejahatan HAM duduk berdampingan bahkan diberi jabatan strategis oleh Jokowi," kata Sumarsih.
Hal itu, lanjut dia, membuat para pelanggar HAM berlindung di bawah kekuasaan Jokowi dan kasusnya terbengkalai.
"Kan para pelanggar HAM itu berlindung di bawah ketiak Pak Jokowi. Bagaimana Hanura Pak Wiranto langsung mendukung. Kemudian PKPI yang didirikan Pak Sutiyoso. Ya di samping. [Jokowi] takut karena para penjahat HAM ini sudah gerilya mencari perlindungan," ungkap Sumarsih.
Sebelumnya, Jokowi mengaku tetap berkomitmen untuk menangani permasalahan HAM itu. Bentuknya, penerbitan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2015-2019.
"Kami juga harus memberikan perhatian kuat pada upaya penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM," kata Jokowi saat berpidato di sidang tahunan DPR, di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (16/8).
(ani/arh/inf)