Catatan dari sang pengagum
Ansy Lema. Nama itu pertama kali terdengar beberapa tahun silam, di sebuah kampung di ujung Timur negeri. Saya lupa kapan persisnya. Maklum, jedah waktu yang cukup lama ditambah pulak usia yang semakin uzur, membuat memori otak hampir penuh, sulit menampung ingatan secara detil.
Waktu itu, salah satu pengamat politik favorit warga kampung adalah Ansy Lema. Bukan karena parasnya yang aduhai, atau style modis yang kadang bikin nona-nona susah tidur, tetapi soal gaya komunikasi politiknya di panggung debat.
Sistematis, terukur, pemilihan diksi yang renyah plus konten argumentasi yang berbobot, setidaknya menjadi rujukan warga kampung. Maklum, meski di kampung, para penghuninya dibekali amunisi pendidikan yang cukup. Para sarjana pun membludak. Jangan heran kalau topik bincang-bincang tiap paginya seputar konstelasi politik tanah air.
Saya punya satu kerinduan, semoga semesta mempertemukan saya dengan orang ini. Paling kurang sekedar liat muka langsung, kalau pun lebih, yah salaman. Memang agak lugu, polos, jika kembali diingat. Tetapi ini murni kerinduan. Ada semacam kebanggaan tersendiri ketika bisa menyaksikan orang muda dari timur tampil apik di Tivi, sesekali bikin lawan debat mati kutu.
Saya lalu diam-diam mencari tahu latar belakang kehidupan Ansy Lema. Saat itu sudah masuk semester tiga di salah satu perguruan tinggi di timur sana. Yang pertama saya dapat adalah: Ansy Lema jebolan Seminari Pius XII Kisol. Latar pendidikan Seminari inilah yang bikin saya tak lagi heran, kenapa Ansy Lema begitu fasih tapi santai dalam bertutur.
Tak berhenti di situ. Saya pun melacak perguruan tinggi mana yang mensponsori cara berpikirnya. Berkat bantuan google saat itu, saya menemukan dua nama perguruan tinggi. Universitas Nasional dan Universitas Indonesia. Ansy Lema menyelesaikan studi ilmu politiknya di UNAS, salah satu kampus pergerakan yang disegani, dan melanjutkan pendidikan magister Hubungan Internasioanal di Universitas Indonesia. Kalau UI, pasti namanya cukup akrab ditelinga.
Rasa ingin tahu saya terjawab. Gairah menonton Tivi ketika Ansy Lema diundang sebagai pengamat politik pun semakin meninggi. Beberapa kali dengan teman-teman kos sambil menikmati kopi seduhan mama kos, menyaksikan Ansy Lema tampil di Tivi. Sesekali sambil menghayal "kapan kita bisa masuk Tivi?' Hidup memang misteri, semua Tuhan su kasi jatah. Lu sonde bisa harap lebih kalo Tuhan sonde kasi restu. Begitulah cara kami membunuh mimpi yang kelewat tinggi. Hhh
Tahun 2015 saya menyelesaikan studi. IPKnya pas-pas. Bisa dimengerti, kuliah Senin-Kamis. Itu pun sering ketiduran di kelas karena malamnya begadang. Tapi Puji Tuhan, DIA su tolong beta ulang-ulang. Hampir gagal skripsi, tak jadi wisuda dan banyak lagi masalah lain selain persoalan asmara.
Tak lama setelah ambil ijazah, saya memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Kata orang-orang di kampung, kalau mau uji nyali tentang kehidupan yang sesungguhnya, yah di Jakarta. Saya terima tantangan itu. Di Jakarta, dengan segala keluguan dan kepolosan, saya coba bertahan. Apapun yang dikrjakan, selagi halal, kita hajar saja. Tak ada juga yang peduli dengan lu. Intinya jangan lupa minta bantuan Tuhan untuk temani lu pung perjalanan hidup.
Suatu ketika, entah setan mana yang tolak, saya tetiba mengikuti sebuah seminar di seputaran Jakarta Pusat. Di luar dugaan, salah satu narasumber adalah orang yang pernah saya lihat di Tivi, dulu. Ansy Lema. Tidak mungkin Teodorus. Saya mulai semangat, coba mengikuti alur seminar, menyimak setiap gagasan yang ia sodorkan. Gayanya sama persis kalau sedang bicara di Tivi. Kontennya pun berkelas.
Saya kemudian berniat untuk membangun komunikasi yang lebih intens dengan bang Ansy selepas seminar. Awalnya agak ragu, takut tak digubris. Ternyata persepsi saya salah. Pertama kali ketemu langsung nyambung. Topik pembicaraannya pun tidak main-main. Untuk ukuran saya, cukup berat. Otak saya pun dipacu untuk berpikir berkali-kali.
Dari situlah komunikasi dengan bang Ansy Lema mulai terbangun. Dia tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pengamat politik atau dosen, tetapi sebagai 'kawan' diskusi. Di sana saya menangkap semangat kerendahan hati dari seorang Ansy Lema. Dia tidak terjebak dalam ego intelektual meskipun jam terbangnya cukup tinggi.
Topik seputar politik nilai, menjadi sorotan khusus Ansy Lema. Memang, hal itu yang sering disentil bang Ansy ketika bicara di publik. Politik kita hari ini kandas digembos pragmatisme. Ruang publik kita akhirnya diisi oleh perdebatan formalistik yang jauh dari substansi politik itu sendiri. Saya pun mengerti, kenapa orang ini begitu dekat dengan Ahok dan manjadi juru bicaranya.
Saya tak perlu gambarkan ulang siapa itu Ahok. Kalau ada yang tidak tahu, mending ke laut saja. Hhh. Saya pun akhirnya juga mengerti mengapa ia mau terjun ke dunia politik praktis saat ini sebagai calon Anggota DPR RI dapil NTT 2. Pertama kali mendegar kabar tersebut, saya senyum-senyum bangga. Politik kita perlu diisi oleh orang-orang yang ketat dalam berpikir, ikhlas dalam berpihak. Setidaknya warna politik inilah bisa terpancar di tengah carut-marut kehidupan politik tanah air. **