# Group 1 User-agent: Googlebot Disallow: /nogooglebot/ # Group 2 User-agent: * Allow: / Sitemap: https://www.infiltrasi.com/sitemap.xml
Latest News
Thursday, May 17, 2018

Teroris Diduga Punya Jaringan dengan Sejumlah Politisi



Penulis: Tatang Istiawan (Tokoh Pers Jawa Timur)


Para teroris Indonesia,

Apakah Anda tahu, Tri Murtiono, pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya, rela mengajak istri dan anaknya, untuk melakukan aksi pemboman di Polrestabes Surabaya. Apakah ini doktrin kelompok teroris lokal yang memiliki jaringan dengan ISIS?

Anda perlu tahu bahwa dimata keluarganya, pria 50 tahun ini dikenal memiliki paham radikal. Terutama sejak 10 tahun terakhir.

Tri Murtiono bersama istrinya, Tri Ernawati (43), diakui oleh anggota keluarganya memiliki pemahaman agama yang cenderung radikal. Berdasarkan pengakuan Heri (45), kakak Tri Ernawati, sejak 10 tahun lalu, Tri Murtiono selalu menganggap duniawi itu haram.

Heri, mengaku selalu diceramahi soal agama beraliran keras. Bahkan datang ke mal dianggap haram. Ini pengakuan Heri kepada wartawan di rumah orang tua Tri Ernawati di Jalan Krukah Selatan, Ngagel Rejo, Senin lalu (14/5/2018).

Para teroris Indonesia,

Dalam riset yang diterbitkan bentuk buku berjudul “Wajah Para Pembela Islam” (2010), Setara Institute Jakarta menyebutkan bahwa berbagai kelompok Islam radikal, pernah menyusun strategi dan taktik yang lebih canggih dalam pergerakannya.

Strategi kelompok Islam radikal, bertujuan untuk menghancurkan kelompok Islam lainnya. Memahami strategi dan taktik kaum radikal penting bagi pemerintah, para ulama, organisasi, serta masyarakat secara umum. Terutama untuk kewaspadaan. Strateginya adalah Aliansi Politik. Artinya kelompok radikal membangun dukungan politik dengan politisi atau penguasa. Biasanya dilakukan saat ada momen politik pemilu atau pilkada serentak 2018. Ada hubungan simbiosis mutulisme dalam aliansi ini.

Bahkan juga mencari dukungan dari Tokoh dan Ormas Islam Moderat. Maklum jumlah mereka sedikit, maka kelompok intoleransi ini membangun hubungan dengan tokoh agama atau ormas yang moderat. Mereka mengembangkan berbagai taktik, di antaranya adalah aktif melobi tokoh dan para habib serta berbagai ormas Islam untuk berjuang bersama-sama mereka.

Konon, sejak tahun 2005, kelompok radikal memandang memerlukan dukungan lembaga ulama yang memiliki otoritas tertinggi di Indonesia seperti MUI. Permasalahannya apakah selama ini, pengurus MUI pusat tergerak?

Bahkan, mereka punya taktik masuk menjadi pengurus ke MUI dan mendesakkan agenda radikal mereka atas nama MUI.

Termasuk aksi Hukum dan Aksi Jalanan. Malahan blakangan ini, kelompok Islam radikal konon juga mengembangkan strategi advokasi yang memadukan advokasi non-litigasi (di luar pengadilan) dengan advokasi litigasi (lewat pengadilan). Mereka sadar bahwa tanpa sokongan produk hukum, perjuangan mereka akan sulit berhasil. Namun, mereka juga sadar bahwa untuk menghasilkan sebuah produk hukum yang pro agenda perjuangannya, diperlukan aksi-aksi jalanan agar bisa menekan aparat hukum dan pemerintah.

Bahkan sejak lama kelompok Islam radikal sudah mengembangkan strategi membangun jaringan aksi antar kota. Kelompok radikal ini konon berusaha agar setiap aksinya didukung oleh kelompok lainnya. Tujuannya satu, agar isu yang diperjuangkan menjadi lebih kuat gaungnya dan bisa menjadi agenda perjuangan bersama.

Ini karena mereka berpikir, dengan semakin bergaungnya aksi, dan makin banyaknya kelompok lain yang memperjuangkan, akan makin besar pula kemungkinannya untuk berhasil. Oleh karena itu, kelompok ini membangun taktik jaringan aksi antarkota.

Maka itu, saya bersama teman-teman, menganalisis hubungannya dengan kejadian aksi 212 dan 215. Kadang timbul pertanyaan apakah ada kesesuaian atau tidak?. Fenomena kasus penistaan agama di Jakarta hanyalah salah satu tragedi politik yang dimainkan oleh beberapa kelompok radikal untuk terus tetap bergema.

Gaungnya akan terus dipelihara dengan berbagai aksi untuk mendapatkan simpati dari kelompok masyarakat Islam lainnya. Tema penistaan agama, ancaman PKI, ancaman Syiah adalah isu yang "marketable" untuk meraih simpati masyarakat. Sayang belum ada yang melakukan investigasi atau penelitian kelompok radikal yang menebar teror bom bunuh diri punya kedekatan dengan kelompok berpikir radikal.

Para teroris Indonesia,

Salah satu bentuk eksistensi gerakan radikalisme adalah memperluas populasi. Ini bisa disimak dalam aksi 411, 212 dan angka-angka selanjutnya adalah gerakan orang mayoritas, yaitu orang Islam. Namun mengapa yang mayoritas melakukan demonstrasi, bukankah itu adalah kebiasaan orang minoritas di suatu negara. Dimana persoalanya. Mengingat sampai NKRI merdeka ke 72 tahun, aksi-aksi radikal belum kelihatan. Justru terjadi dengan mengambil momen pilkada DKI 2017. Pada periode satu tahun itu, aksi radikal menggunakan bom juga bermunculan.

Benarkah kejadian kejadian yang berbeda ini bisakay dianggap gerakan mencari panggung? Benarkah aksi aksi kelompok radikal pemikiran dan kelompok radikal teroris untuk menarik sekaligus mempertahankan followernya?. Walahualam.

Saya bertanya-tanya, gerakan aksi 212 untuk mengajak partisipan lainnya, sehingga aksi-aksi bisa eksis terus. Saya mencermati dengan banyaknya peserta aksi dan kemudian aksinya diliput, untuk mengukur respon masyarakat dan pemerintah.

Saya mengamati, ada indikasi gerakan ini sepertinya berusaha mengubah dasar negara dan kebudayaan yang sudah melekat berpaham kebangsaan menjadi dasar diluar Pancasila.

Menurut Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.

Dan ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka usung. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang dianggap benar. Terutama dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.

Teori ini sedikit banyak pembenarannya tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana seperti hari minggu dan Senin lalu, dengan aksi-aksi pemikiran radikal saat pilkada DKI 2017. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu juga di Indonesia, pernah terjadi konflik antaragama di Poso dan di Ambon. Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering kali menjadi pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian.

Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan semuanya berakar pada radikalisme dalam penghayatan agama.

Nah, secara teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia ini diubah dan ditata sesuai dengan doktrin agamanya.

Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh sebagian umat seharusnya tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen kita semua. Terutama untuk membangun bangsa yang modern, yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai.

Dalam paham kebangsaan, pluralisme sebenarnya simbol bagi susksesnya kehidupan masyarakat yang majemuk. Karena itu, agama yang dimiliki oleh masing-masing umat tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak melampaui batas. Sebab, bagaimanapun agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual umat, tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan dunia yang damai. Masalahnya, kadang ada kaum radikalis agama mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk kekerasan, seperti bom bunuhdiri di 3 gereja di Surabaya, pada hari Minggu yang lalu. Bom bunuh diri di gereja semacam ini bisa menjadi ancaman besar bagi pluralisme di Indonesia.

Menurut saya, contoh dari radikalisme itu salah satunya peristiwa Bom Bali. Pelaku beralasan bahwa untuk memusnakan bentuk penyimpangan dalam Islam. Itu dikerenakan pakaian-pakaian yang digunanakan para turis Bali, kurang pantas. Akhirnya, mereka merasa terpanggil untuk menegakkan kebenaran. Artinya, pelaku bom di Bali, merasa paling benar dan tidak mengakui kebenaran orang lain.

Dengan kasus ini, bisa diasumsikan gerakan radikalisme disebabkan oleh faktor ideologi dan faktor non-ideologi seperti ekonomi, dendam, sakit hati, ketidakpercayaan dan lain sebagainya. Diantara variabel ini, faktor ideologi yang sangat sulit diberantas dalam jangka pendek. Faktor ini memerlukan perencanaan yang matang karena berkaitan dengah keyakinan yang sudah kokoh dipegang dan emosi keagamaan yang juga kuat.

Secara teoritis, terorisme yang disebabkan faktor ideologi ini hanya bisa diberantas secara permanen melalui pintu masuk pendidikan (soft treatment) . Terutama menggunakan cara deradikalisasi secara evolutif. Dan melibatkan semua elemen di masyarakar.

Sedangkan pendekatan keamanaan (security treatment), menurut saya hanya bisa dilakukan sementara untuk mencegah dampak serius yang ditimbulkan sesaat.

Saya mencatat dalam aksi 212, calon gubernur DKI Jakarta inkumben Basuki Tjahaja Purnama dituding menista agama. Dan perlawanan terhadap Ahok, dilakukan secara masif.

Aksi oleh gerakan berpikir radikal juga mengkritisi bahwa pemerintah yang dinilai tak taat hukum.

Ancaman gerakan inu, minta Ahok dicopot sebagai calon gubernur. Dan bila tidak jadi tersangka, maka ada kekuatan yang tidak kelihatan. Akhirnya, tak sampai dua pekan, Ahok jadi tersangka. Dan kemudian ada demo lanjutan untuk mendesak agar Ahok dipenjara setelah ditetapkan tersangka.

Aksi ini telah menimbulkan polemik. Salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia mengkritik rencana aksi tersebut. Ormas itu adalah Nahdlatul Ulama (NU).

Para teroris Indonesia,

Menurut penelitian Bagus, dari UI, Pelaku teror juga bisa dikenali dari ciri-ciri cara berpikirnya. Antara lain, pelaku teror merasakan kekalutan dalam dirinya, seperti marah terhadap situasi saat ini, merasa dunia berjalan secara tidak baik, menganggap orang lain tak bisa melakukan apa pun, dirinya merasa diabaikan, serta dirinya merasa tidak adil dan tak berdaya terhadap situasi pemerintahan Jokowi.

Adalah Khoirul Ghozali, Pendiri Pondok Pesantren Al Hidayah Medan. Khoirul pernah dijatuhi vonis enam tahun penjara suntuk kasus perampokan Bank CIMB Niaga. Duit Rp 400 juta ini dirampok bersama kawanan sebanyak 16 orang. Duit inu akan digunakan untuk mendukung aksi teror.

Setelah bebas, Khoirul, mengikuti program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pesantren Al-Hidayah adalah pesantren pertama dan satu-satunya di Indonesia yang fokus menangani pendidikan anak-anak mantan teroris.

Dan di pesantren yang berdiri di atas tanah seluas 30-an hektare ini, Khoirul melakukan kegiatan pelatihan kemandirian ekonomi, termasuk bertani, pertukangan dan peternakan.

Khoirul mengatakan,faktor ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan ekonomi politik sampai aspek psikologis membuat seseorang menjadi teroris.

Khoirul Ghozali mengatakan, faktor-faktor itu yang mendorong dia dan kawan-kawannya melakukan tindakan radikal dengan kekerasan. Dan agama menjustifikasi tindak kekerasan itu.

Kepada anak-anai muda yang mengikuti kegiatan seminarnya, Khoirul menjelaskan ada lima hal yang menjadi alasan seseorang menjadi pelaku tindak pidana terorisme dengan kekerasan.

Pertama, keberanian menafsirkan Al Qur’an dan hadist berdasarkan pemikiran sendiri. Artinya, ia didoktrin untuk berani menafsiran ayat Al Qur’an seenak perut kita sendiri.

Kedua, seseorang menjadi teroris, karena paham takfiri. Mudah mengkafirkan orang lain, bukan hanya orang-orang non-muslim, tetapi juga orang muslim yang berada di luar kelompoknya.

Ketiga, karena menganut hakimiah, maksudnya mudah menuduh, mudah menghakimi. Oleh karena itu, polisi, tentara, dianggap sebagai toghut (berhala). Jadi, pemerintah termasuk Pegawai Negeri Sipil, termasuk polisi, termasuk tentara yang tidak melaksanakan hukum Islam dianggap toghut.Pemerintah ini dianggap pemerintah ilegal, tidak sah.

Keempat, menafsirkan jihad filsabilillah adalah harus dengan jalan kekerasan. Jalan perang. Pokoknya semua ayat-ayat dalam kitab suci yang relevan dengan jihad ditafsirkan boleh dilakukan dengan perang. Dan anak-anak mudah menerima paham kekerasan, karena itu kekerasan banyak dilaksanakan oleh anak-anak muda.

Kelima, resistensi kepada pemerintah. “Pemerintahan yang tidak menjalankan syariat Islam harus ditentang. Subhanalloh. (tatangistiawan@gmail.com)

************
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Teroris Diduga Punya Jaringan dengan Sejumlah Politisi Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi