LONDON - Diplomasi senyuman yang dilakukan adik diktator Korea Utara (Korut) Kim Jong-un; Kim Yo-jong, selama berkunjung ke Korea Selatan tak hanya menyita perhatian media internasional, tapi juga pembelot.
Di mata pembangkang, perempuan muda itu adalah simbol sebuah rezim mengerikan yang membungkusnya dengan senyuman ramah.
Kim Yo-Jong menjadi pemimpin delegasi Korut saat menghadiri Upacara Pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan. Diplomasinya sukses meredam ketegangan di semenanjung Korea.
Selama berkunjung ke Pyeongchang, Korea Selatan, dia duduk hanya beberapa meter dari Wakil Presiden Amerika Serikat (AS). Namun, keduanya tak saling menyapa dan cenderung membuang muka satu sama lain.
Para komentator Korea Selatan dan media menjuluki Kim Yo-jong sebagai “Ivanka Trump-nya Korea Utara”. Dia adalah orang pertama dari dinasti Kim yang menginjakkan kakinya ke Korea Selatan sejak Perang Korea berakhir.
Seorang pembelot yang diidentifikasi sebagai John Choi mengatakan kepada Open Doors—sebuah badan pengawas penganiayaan terhadap umat Kristen—bahwa Kim Yo-jong tidak mencontohkan rezim baru Korea Utara yang lebih positif.
“Kim (Yo-jong) mungkin wajah Korea Utara yang paling ramah, namun masih merupakan lambang rezim yang mengerikan,” katanya.
“Dan apa yang harus Anda lihat saat melihat senyum Kim Yo-jong? Untuk yang utama, senyumnya mewakili sebuah rezim yang sangat membutuhkan kelangsungan hidup,” ujarnya.
”Suatu hari Korea Utara mengancam dunia dengan perang nuklir, esok harinya mereka mengirim 22 atlet dan 229 pemandu sorak ke acara olahraga terbesar di dunia. Itu menceritakan banyak hal tentang karakter rezim tersebut,” imbuh dia.
Pembelot yang sekarang tinggal di Inggris itu mengatakan bahwa bahkan warga sipil Korea Utara sendiri tidak tertipu oleh senyum Kim Yo-jong di depan kamera.
“Sebenarnya, banyak kaum muda di dalam negeri saat ini mengerti bagaimana kehidupan di bawah demokrasi jauh lebih baik daripada di bawah kediktatoran. Orang biasa tidak begitu antusias dengan Olimpiade,” paparnya.
”Mereka lebih memperhatikan makan malam besok dan memberi makan anak-anak mereka. Mereka tahu bahwa negara mereka mungkin telah menegosiasikan dukungan ekstra, namun semua dukungan itu akan masuk ke kelas penguasa,” sambung John Choi.
”Itulah yang mereka lihat saat mereka melihat senyum Kim Yo-jong; kelas penguasa yang hanya mengurus dirinya sendiri,” imbuh dia.
John, yang menulis untuk Open Doors, juga menyoroti perlakuan mengerikan terhadap orang-orang Kristen di negara pimpinan Kim Jong-un tersebut.
“Open Doors memperkirakan ada sekitar 50.000 dan 70.000 orang Kristen di kamp-kamp tersebut. Banyak dari mereka tidak bertahan. Kekristenan masih dipandang sebagai kejahatan politik,” katanya, seperti dikutip dari Daily Star, Minggu (25/2/2018).
(mas/inf)